Masa Depan Program BBM Satu Harga
Kabar mengenai kerugian Pertamina sebesar Rp 12 Triliun pada semester pertama Tahun 2017 ini menimbulkan pertanyaan: bagaimanakah kelanjutan program BBM satu harga di seluruh Indonesia? Pertanyaan ini mengemuka karena kebijakan tersebut, meskipun dinilai bertujuan bagus namun oleh beberapa pihak dianggap tidak realistis. Penyebabnya adalah besarnya biaya distribusi yang harus ditanggung Pertamina. Karena dianggap tak realistis ini, Wakil Ketua DPR Fadli Zon pernah melontarkan pernyataan skeptis mengenai keberlajutan program ini.
Beban Pertamina
Menteri ESDM, Ignasius Jonan, dalam sebuah wawancara di Metro TV pada bulan Juni lalu menyatakan bahwa Pertamina bisa menanggung besaran ongkos distribusi tambahan untuk program ini. Menurutnya, besar beban biaya anggaran itu selama ini hanya sekitar Rp 1 triliun per tahun untuk wilayah Papua. Dengan target 16 wilayah yang disasar, tambahan biaya distribusi per tahun hanya akan mencapai Rp 3-4 triliun. Dengan mengacu pada keuntungan Pertamina pada tahun 2016 yang sebesar Rp 40 triliun, beban tambahan distribusi itu tidak akan membebani Pertamina.
Kabar mengenai kerugian Pertamina itu sendiri sampai saat ini tidak jelas disebabkan oleh sektor mana; apakah memang karena beban program BBM satu harga tersebut, atau karena aspek lain seperti piutang atau meningkatnya alokasi investasi pengembangan bisnis. Meskipun demikian, terdengar kabar bahwa Presiden Jokowi telah memerintahkan pembantunya untuk menganalisis ulang program tersebut. Rumor itu menguatkan dugaan bahwa memang beban program BBM satu harga itulah yang menjadi penyebab atau salah satu penyebab kerugian Pertamina.
Kebijakan BBM satu harga sendiri dilakukan melalui Peraturan Menteri ESDM No.36 Tahun 2016. Dalam Permen ESDm tersebut dinyatakan bahwa program itu berlaku mulai 1 Januari 2017. Jenis BBM yang diseragamkan harganya adalah solar, minyak tanah dan premium penugasan. Rantai penyalurannya relatif sederhana yaitu dari Badan Utama Penugasan, penyalur dan kemudian konsumen. Untuk mendukung program itu, badan Utama Penugasan harus membangun infrastruktur dan fasilitas penyaluran. Mereka jugalah yang menentukan penyalur-penyalurnya.
Disebutkan pula bahwa penyalur tidak dibebani biaya distribusi. Jadi Pertaminalah yang menanggungnya. Kata Jonan, pembiayannya akan berupa subsidi silang. Artinya, keuntungan di sektor atau wilayah lain akan dibuat untuk subsidi beban tambahan biaya distribusi tersebut.
Dengan skema itu terlihat bahwa program satu harga BBM di seluruh Indonesia akan menjadi beban bisnis Pertamina. Beban ini akan makin besar seiring dengan meluasnya sasaran program. Jika ini terus terjadi, maka dapat dimaklumi jika keuntungan Pertamina terus tergerus dan bisa jadi akan mengalami kerugian.
Peninjauan Ulang
Menurut hemat penulis, peninjauan ulang program ini memang harus dilakukan. Namun, seperti pendapat beberapa kalangan, sedapat mungkin jangan sampai dihentikan. Bagaimanapun, kebijakan ini memang merepresentasikan keadilan sosial. Tidak adil namanya jika dalam satu negara harga BBM yang dijual oleh BUMN harganya tidak sama. Membiarkan Pertamina tidak mendukung program ini karena secara bisnis tidak menguntungkan juga tidak bijaksana.
Masalahnya adalah selama ini menguat pula tuntutan BUMN termasuk Pertamina sebagai badan usaha yang secara bisnis harus menguntungkan. Tuntutan untuk menyeragamkan harga di seluruh Indonesia tanpa insentif dan kesiapan insfrastruktur sama saja mengembalikan fungsi Pertamina lebih kepada badan layanan publik daripada badan usaha. jika memang hendak diarahkan ke arah badan layanan publik, maka memang di masa depan keuntungan dan perkembangan bisnis Pertamina tidak boleh dituntut seperti yang terjadi selama ini. Namun, jika Pertamina tetap pula diminta pertanggungjawaban sebagai badan usaha, maka seharusnya ada beberapa perubahan.
Dalam hemat penulis peninjauan ulang harus diarahkan pada minimalisasi beban biaya distribusi yang ditanggung Pertamina untuk program ini. untuk itu bisa dilakukan melalui beberapa hal. Pertama, adalah menggeser beban biaya tambahan distribusi menjadi tanggungan negara melalui APBN, dan bukan melalui konsep subsidi silang seperti selama ini. Hal ini harus dilakukan karena infrastruktur untuk menunjang program ini. Jadi, beban tambahan untuk distribusi ini harus diperhitungkan dalam penganggaran subsidi energi. Program pemerintah ini harus didukung oleh legislatif. Fadli Zon yang sempat pesimis dengan program ini bisa membantu.
Kedua, ke depan, dengan subsidi tambahan dari APBN, Pertamina bisa membangun infrastruktur dan fasilitas penunjang yang memadai sehingga program ini makin lama makin rasional secara bisnis. Dengan demikian, program ini akan punya kesinambungan dengan tidak terus memakai subsidi dari APBN. Untuk itu, perlu pula hal ini didukung oleh kementerian atau lembaga terkait seperti Kementerian PUPR misalnya.
Perubahan regulasi perlu dilakukan untuk mewadahi dua langkah solusi tersebut. Jika selama ini program BBM Satu Harga hanya diatur melalui Permen ESDM, ke depan perlu regulasi yang lebih kuat. Peraturan presiden atau peraturan pemerintah menurut hemat kami aka lebih menjamin. Tanpa regulasi yang kuat, faktor pembiayaan terutama akan terus menjadi beban Pertamina dan kesinambungan program bisa terganggu.
Sumber gambar:
http://bisnis.liputan6.com/read/2629005/harga-bbm-di-papua-dulu-rp-100-ribu-kini-rp-6450-per-liter
https://www.google.co.id/search?q=bbm+satu+harga&client=ms-android-coolpad&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwiOpv3J1p_WAhWIPo8KHVOXCtcQ_AUILSgC&biw=360&bih=512#imgrc=UE6Rzjs7SVWy7M%3A