Kebebasan berkespresi setiap warga negara dalam menyampaikan aspirasi diberi ruang seluas-luasnya di era demokrasi saat ini. Banyak cara dilakukan oleh warga negara agar aspirasinya mampu didengar dan diwujudkan oleh para policy maker.
Salah satu wujud ekspresi tersebut yaitu momentum bulan Mei sebagai hari buruh nasional dijadikan wadah bagi para buruh untuk menyuarakan tuntutan-tuntutan mengenai hak dasar pekerja seperti persoalan upah dan jaminan tenaga kerja.
Relasi pekerjaan yang dibangun antara pekerja dan pemberi kerja cenderung bersifat kekerabatan dan tidak memiliki kesepakatan yang pasti. Pemberian pekerjaan oleh majikan cnederung eksploitatif, over time dan selalu memiliki resiko untuk kehilangan pekerjaannya karena kesalahan yang bersifat subjektif yang dapat dituduhkan oleh si pemberi kerja.
Faktor tersebut merupakan penyebab lemahnya bargaining position buruh dari pekerja sektor formal (pemerintahan, pendidikan, kesehatan,NGO dan lembaga berbadan hukum lainnya) membuat ajang satu tahunan tersebut seperti tidak ada titik terang bagi masa depan buruh.
Secara konseptual, buruh yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah pekerja informal dapat mewakili pekerja keluarga tidak diupah (unpaid family workers), pekerja mandiri (own account workers), pekerja lepas dan outsourcing.
Sektor informal belum menggunakan bantuan ekonomi dari pemerintah meskipun bantuan itu telah tersedia dan sektor yang telah menerima bantuan ekonomi dari pemerintah namun belum sanggup berdikari (Setyawardhani,2012).
Dapat disimpulkan bahwa pekerja informal ini bekerja tidak berdasarkan kontrak kerja resmi dan masih membutuhkan bantuan dari pemerintah selaku pihak yang memberikan jaminan terhadap tenaga kerja yang layak.
Jumlah buruh informal lebih dominan yaitu 73,98 juta dari 127,07 juta orang yang bekerja pada tahun 2018 (BPS, 2018) menuntut pemerintah untuk memperhatikan nasib mereka. Denhart & Denhart dalam bukunya New Public Service (2007) menyatakan peran pemerintah yaitu melayani warga negara melalui negoisasi dan sebagai perantara diantara sejumlah kepentingan warga negara dan kelompok masyarakat, serta meciptakan nilai saling berbagi.
Sehingga tenaga buruh tidak terus menerus diekspolitasi tanpa mendapatkan jaminan atau asuransi yang seharusnya diperoleh terutama jaminan terhadap kebutuhan layanan dasar.
Memang diakui, kualitas sumberdaya manusia buruh masih satu level di bawah mereka yang bekerja pada sektor formal. Karena sektor formal mengharuskan spesialisasi pekerjaan sehingga memerlukan adanya jenjang pendidikan yang memadai. Oleh karenanya perbedaan kualitas tersebut membuat negara harus menjamin kebutuhan layanan dasar dari buruh. Kebutuhan layanan dasar yang dimaksud yaitu layanan kewarganegaraan, layanan sosial, layanan pendidikan dan layanan kesehatan.
Kebutuhan kewarganegaraan mencakup hak pelayanan yang sama terhadap akses pelayanan dasar sesuai hukum atau norma yang berlaku tanpa membedakan golongan, jabatan, materi, agama, suku.
Selanjutnya, kebutuhan sosial menyangkut kesejahteraan tenaga kerja, hak untuk hidup secara layak. Wujud dari pada jaminan sosial ini terdapat pada UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Tujuannya tidak jauh berbeda dengan program Jamsostek yakni adanya jaminan agar kebutuhan dasar hidup dapat diterima buruh/tenaga kerja. Bedanya, program ini berlaku bagi semua penduduk. Tidak semata untuk buruh.
Secara politis buruh belum mampu memposisikan diri sebagai salah satu pemangku kepentingan utama (stakeholder). Implikasinya adalah pelanggaran berbagai hak normatif buruh seperti upah rendah, minimnya alat pelindung diri (APD), rendahnya kualitas alat kerja, buruknya fasilitas kerja, dan pelanggaran keselamatan dan kesehatan kerja. Seharusnya posisi buruh dan pengusaha atau pihak pemberi kerja sederajat sehingga tenaga dan jasa yang mereka keluarkan harus dihargai dengan upah dan balas jasa yang setimpal.
Layanan dasar berikutnya yaitu pendidikan dan kesehatan. Layanan tersebut selain menjadi kebutuhan pokok untuk menjadi manusia yang bermartabat juga berdampak pada indeks pembangunan manusia (IPM). Menurut UNDP (2018) IPM Indonesia tahun 2017 berada di peringkat 116 dari 189 negara dengan nilai 0.694 lebih rendah dibanding China peringkat 86 (0.752) dan Filipina peringkat 113 (0.699).
Artinya pemerintah turut menjamin tingkat pendidikan warga negara sesuai amanat UUD 1945 mencerdaskan kehidupan bangsa yang tak hanya menyediakan akses dan infrastruktur pendidikan tetapi juga menstimulus agar lama sekolah tidak mandeg pada angka 12 tahun saja melainkan hingga pendidikan tinggi.
Layanan kesehatan juga menjadi urusan penting agar warga memiliki kemampuan hidup sehat secara preventif bukan sekedar reaktif. Jadi fungsi rumah sakit selain untuk emergency response juga berperan aktif mencegah orang agar tidak sakit. Sehingga layanan kesehatan selalu aktif diberikan oleh pihak penyelenggara kesehatan kepada warga negara yang rentan.
Pada akhirnya jika kebutuhan layanan dasar terpenuhi maka kesejahteraan warga negara mampu diwujudkan khususnya bagi buruh informal yang pendapatannya tidak menentu. Pemerintah secara otoritas memiliki wewewang penuh terhadap penyelenggaran layanan dasar yang berkeadilan. Oleh karena itu dibutuhkan perencanaan sebagai pedoman pelaksanaan jaminan layanan dasar bagi buruh agar sederajat dalam konteks kehidupan yang bermartabat.
Dengan dijaminnya layanan dasar maka tenaga kerja di sektor informal ini tetap mampu hidup secara layak. Menurut Diana Conyers (1982) negara sedang berkembang membutuhkan perencanaan sosial karena masih terdapat ketimpangan ekonomi. Perencanaan sosial tersebut diperuntukkan bagi pihak yang termagirnalkan secara ekonomi tetap mendapat hak-hak dasarnya.
Akhirnya, kemauan politik dari pemangku kepentingan untuk menciptakan social order menjadi tantangan untuk memberikan perhatian mereka kepada nasib buruh di Indonesia.