Kamis, April 25, 2024

Masa Depan Aceh dan Kenduri Kebangsaan

Gantyo Koespradono
Gantyo Koespradono
Mantan Jurnalis, Pemerhati Sosial dan Politik.

Membicarakan Aceh tak pernah selesai. Tiga pekan yang lalu di grup WA beredar foto spanduk bertuliskan “Selamat dan Sukses kepada Pemerintah Aceh atas Prestasi Menjadi Juara Bertahan sebagai Provinsi Termiskin se-Sumatera”.

Benarkah Aceh adalah provinsi termiskin di Sumatera? Tampaknya begitu. Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh belum lama ini merilis data terbaru mengenai kemiskinan di Sumatera.

Aceh disebut masih menempati sebagai provinsi termiskin di Sumatera dan nomor enam se-Indonesia. Per September 2019, jumlah penduduk miskin di Aceh mencapai 810.000 orang atau 15,01%

Namun, menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, Wahyudin, angka kemiskinan tersebut berkurang sebanyak 9 ribu orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2019 yang jumlahnya 819 ribu orang atau 15,32%.

Berbagai suara minor pun bermunculan ketika fakta membuktikan kemiskinan masih mengancam provinsi serambi Mekah itu. Intinya, suara-suara tersebut menjawab pertanyaan mengapa kemiskinan akut terjadi di provinsi itu?

Ada yang bilang kemiskinan di sana lantaran efek otonomi daerah. Masyarakat di sana “sok” menerapkan hukum agama, tapi keblabasan. Andai saja masyarakat dan aparat di sana berpikiran maju, sangat mungkin banyak investor yang akan berinvestasi di provinsi ini, sehingga membuat masyarakat di sini sejahtera.

“Teman saya yang sebelumnya tinggal di Medan minta pulang setelah tiga bulan bekerja di Aceh,” kata anggota grup WA yang para anggotanya sering menshare berita-berita politik.

Yang lain menimpali, pemerintah daerah di sana mengeluarkan kebijakan yang membuat takut investor. Ya wajarlah kalau Aceh nggak maju-maju. Pihak-pihak yang bikin ekonomi berjalan di sana kabur ke provinsi lain.

Padahal, masih menurut suara yang berkembang, dana otonomi khusus (otsus) buat Aceh, lumayan besar. Kabarnya Aceh ingin menjaring wisatawan asing, tapi fasilitasnya tidak pernah dibenahi.

“Keadilan” (hukum cambuk) hanya berlaku buat rakyat biasa dan tidak pernah diterapkan buat pejabat yang jelas-jelas melanggar hukum dan menilep dana otsus.

Benarkah dana otsus buat Aceh besar? Ini faktanya. Tahun 2020, Aceh memperoleh dana otsus Rp 8,374 triliun, tidak jauh berbeda dengan tahun 2019 yang Rp 8,357 triliun.

Anggota DPD Fachrul Razi menjelaskan rata-rata pertumbuhan dana otsus Aceh mencapai 4,3 persen dari tahun 2015-2019.

Lazimnya, dana itu digunakan untuk mendanai pembangunan dan pemeliharaan insfrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan serta pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan.

Lalu mengapa program pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi rakyat di Aceh seolah berjalan di tempat?

Pertanyaan inilah yang membuat para tokoh nasional asal Aceh, termasuk Forbes (Forum Bersama) anggota DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) galau, “Aceh, kok, begini terus?”

Beberapa anggota Forbes asal Aceh pun kemudian “ngeriung” demi masa depan Aceh. Di Jakarta, mereka bertemu dengan sejumlah tokoh, dan pengurus Yayasan Sukma Bangsa.

Untuk diketahui, Yayasan Sukma Bangsa punya sekolah Sukma Bangsa di Bireuen. Sekolah ini punya kurikulum khusus, sehingga para lulusannya memiliki cinta kepada Aceh dan bangsa.

Hasil “ngeriung”, mereka bersepakat akan menghelat kegiatan bertajuk “Kenduri Kebangsaan” di Bireuen pada 22 Februari 2020 mendatang.

Informasi yang saya peroleh, sebanyak 6.000 orang akan hadir, termasuk 10 menteri Kabinet Indonesia Maju. Tidak tanggung-tanggung, 20 ekor lebih sapi akan dipotong untuk kebutuhan kenduri.

Dalam kenduri yang menurut rencana akan dihadiri Presiden Joko Widodo itu, panitia bakal menyiapkan panggung megah dan modern seukuran setengah lapangan sepak bola. Akan diisi pula dengan peusijuek, pertunjukan seni, dialog publik, dan kuliah umum.

Ada tiga tema besar yang akan diusung dalam Kenduri Kebangsaan, yaitu pertama terkait dengan keislaman; kedua keacehan, dan ketiga keindonesiaan.

Ketua Forbes Nasir Djamil menjelaskan, perhelatan tersebut digelar sekaligus sebagai forum silarurahmi dan rekonsiliasi untuk mendorong kemajuan Aceh.

Sejarah membuktikan, tiga tema itu tidak bisa dipisahkan dari Aceh. Dalam soal keislaman misalnya, pada suatu masa, Aceh dikenal sebagai wilayah yang menjadi pusat kejayaan peradaban Islam di Asia Tenggara.

Aceh banyak menyimpan bukti kebesaran sejarah Islam. Namun, sayangnya “kebesaran” tersebut tidak terurus, bahkan ditelantarkan.

Soal keacehan, siapa yang tidak kenal dengan budaya Aceh yang begitu indah dan luhur. Namun, belakangan, berdasarkan informasi yang saya peroleh dari teman-teman dari Aceh, budaya luhur itu terkikis oleh zaman dan konflik berkepanjangan.

Di Aceh ada tradisi sayam. Sayam dikenal sebagai sebuah kearifan masyarakat Aceh dalam menyelesaikan sengketa berdarah. Sayam sering juga disebut sebagai diyat, yakni uang pengganti tumpahnya darah.

Fakta tidak bisa ditutup-tutupi bahwa konflik — di dalamnya banyak orang Aceh yang meninggal dunia — pernah terjadi di Aceh.

Kini konflik itu sudah tidak ada lagi. Namun, menurut Nasir Djamil, pascakonflik, di Aceh masih ada milisi. Pasca konflik, masyarakat Aceh, khususnya di Aceh bagian tengah pernah mendengar janji bahwa mereka akan direkrut menjadi tentara. Namun, sampai sekarang, janji itu tidak pernah terealisasi.

Masyarakat Aceh yang tinggal di utara bahkan sampai sekarang masih menganggap bahwa konflik itu tetap ada. Pasalnya, pasca konflik, mereka menganggap tidak ada masa pemulihan.

Artinya ibarat orang sakit, mereka belum sembuh. Penyakit itu masih bercokol di tubuh mereka. Masyarakat Aceh yang pernah mengalami konflik, disebut-sebut ada 10.000-an. Mereka tidak mendapat kompensasi apa-apa.

Persoalan-persoalan seperti itu sebenarnya bisa diselesaikan lewat tradisi sayam. Namun, ya itu tadi, sayam sepertinya sudah hilang, padahal lewat sayamlah semua masalah bisa diakhiri karena di dalamnya ada permintaan maaf dan pengampunan. Total.

Pada dahulu kala, saat sayam digelar, lazimnya dibarengi dengan potong lembu (sapi), semua bersukaria melupakan luka-luka masa lalu yang tidak elok untuk dikenang.

Nah, dalam semangat seperti itulah Kenduri Kebangsaan digelar. Sebagaimana telah saya sebut di atas, dalam kenduri nanti, panitia akan memotong sedikitnya 20 ekor sapi.

Menghadapi Kenduri Kebangsaan, para tokoh Aceh yang selama ini merantau ke Jakarta dan telah meraih sukses bersepakat akan pulang kampung. Mereka bersepakat akan mengembalikan kejayaan Aceh.

Mereka akan melakukan kenduri bukan untuk meratapi masa lalu, melainkan untuk melihat masa depan Aceh, masa depan Indonesia.

Semoga pasca Kenduri Kebangsaan, di Aceh tidak ada lagi spanduk ucapan selamat datang yang kalimatnya nyinyir lantaran Aceh terus terbelakang dan warganya ogah diajak maju.[]

Gantyo Koespradono
Gantyo Koespradono
Mantan Jurnalis, Pemerhati Sosial dan Politik.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.