Kalimat itu adalah ucapan yang populer dari Jokowi kala berkunjung ke daerah untuk aktivitas yang sifatnya ceremonial. Diucapkan dalam langgam jawa dengan ciri tawa yang khas, Jokowi kerap membagi-bagikan sepeda dengan syarat terlebih dahulu calon penerima sepeda mampu menjawab pertanyaan terkait wawasan nusantara. Mulai dari penyebutan isi pancasila, nama-nama pulau, nama-nama suku, hingga nama-nama menteri di Kabinet Indonesia Kerja.
Peristiwa itu rutin kita saksikan 3 (tiga) tahun terakhir di pelbagai pemberitaan media, linimasa media sosial hingga video yang beredar pada grup-grup whatsapp. Kita kerap menyaksikan pula, bagaimana kebahagiaan seluruh masyarakat yang menyaksikan Jokowi membagi-bagikan sepeda disambut riuh tepuk tangan dan tawa.
Secara semiotik ini sangat penting bagi personal branding Jokowi. Sebab, Jokowi mampu mengkonstruksikan diri, bahwa Ia adalah sosok dekat dengan rakyat. Tidak hanya itu, pemanfaatan sepeda yang rutin dibagikan Jokowi juga membentuk citranya sebagai sosok yang sederhana dan merakyat.
Pada posisi ini Jokowi selalu berhasil merebut perhatian milenial. Sama seperti kala Jokowi memakai sepatu sneakers, mengendarai sepeda motor hingga mengenakan jaket bomber yang juga tidak luput dari pembahasan warganet. Lebih lagi, Jokowi merupakan pengguna aktif media sosial, seperti; Instagram, twitter, facebook dan vlog (video-blogging).
Semiotika
Kita jamak menyaksikan photo booth berbentuk karakter Jokowi sedang mengendarai sepeda pada pelbagai bandara di Indonesia. Gambar itu mengkonstruksikan Jokowi yang mengenakan sepatu semi kasual hitam bersol putih, celana panjang hitam, dan kemeja putih lengan panjang tergulung hingga siku yang nyaris sama dengan karakter Jokowi dalam wujud asli.
Secara empirik bila kita mengobservasi lebih lama di bandara, banyak orang yang rela antri untuk sekadar berfoto dengan posisi; Jokowi mengendarai sepeda dan para pengunjung bandara duduk untuk dibonceng. Pun pengunjung tersebt tak sungkan membagikan foto tersebut di ragam media sosial yang mereka miliki.
Konstruksi semiotika dari gambar Jokowi membonceng rakyat adalah sugesti terhadap masyarakat yang ingin selalu dibawa dan diarahkan pemimpinnya dalam proses perjalanan pembangunan bangsa.
Merujuk pada citra Jokowi selama ini sangat identik dengan pembangunan infrastruktur, baik ; jalan tol, bandara hingga pembangkit listrik. Pembangunan yang sifatnya tidak mekanik dan membutuhkan sinergitas saling mendukung antara pemimpin dan yang dipimpin.
Layaknya sepeda yang memiliki rantai, pedal, roda depan-belakang dan stang menjadi satu kesatuan yang saling mendukung satu sama lainnya. Satu saja bagian organ sepeda yang rusak maka kita tidak akan bisa mengendarainya secara maksimal.
Lebih lagi, dalam mengendarai sepeda kita dituntut memiliki keseimbangan untuk mengatur laju kecepatan yang kendalinya membutuhkan kerja keras dan stamina yang kuat agar kita bisa menikmati setiap perjalanan. Pesan lain yang bisa kita lihat dalam mengendarai sepeda adalah agar kita bisa melihat segala persoalan secara luas.
Ma’ruf Amin
Kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden akan dimulai pada tanggal 23 September 2018 – 13 April 2019 nanti. Setelah sebelumnya KPU melakukan pencabutan nomor urut calon (21/9) yang menetapkan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin bernomor urut 1 (satu) sementara pesaingnya pasangan Prabowo-Sandiaga Uno mendapatkan nomor urut 2 (dua).
Jika kita flashback sedikit, pilihan Jokowi terhadap Ma’ruf Amin untuk mendampinginya maju di Pilpres 2019 bukan tanpa alasan yang kuat. Dengan latar belakang Ma’ruf amin seorang Rais ‘Aam Syuriah pada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dari 2007 hingga saat ini.
Ma’ruf Amin diyakini bisa membantu Jokowi dalam mempersatukan masyarakat yang sempat terpecah karena isu identitas yang mencuat beberapa waktu terakhir.
Tidak hanya itu, secara politik pun Jokowi sangat paham bahwa untuk melawan isu-isu negatif yang dialamatkan pada dirinya, yang dianggap tidak dekat dengan kelompok muslim. Pilihan untuk berpasangan dengan seorang kiyai sepuh NU tersebut tentu secara otomatis mengkonstrusikan Jokowi sebagai sosok yang dekat dengan ulama.
Mengingat sosok Jokowi dianggap sebagai representatif kelompok nasionalis sementara sosok Ma’ruf Amin sebagai representatif kelompok religius dianggap sebagai pasangan yang ideal untuk memimpin Indonesia kedepan.
Pun pilihan Jokowi terhadap Ma’ruf Amin tidak hanya berkaitan untuk agenda kampanye politik semata. Tapi kedepannya, bila Jokowi terpilih kembali untuk kedua kalinya, Ia bisa menjalankan visi misi, program dan nawacitanya selama ini dengan lebih sederhana karena bebas dari tudingan negatif yang berkaitan dengan politik identitas.
Secara semiotika, bila kita kembali pada bahasan analogi sepeda dalam sebuah sistem yang utuh dalam kerangka kebijakan. Jokowi dan Ma’ruf Amin merupakan kesatuan yang saling mendukung dalam mengayuh, menahan dan mengatur keseimbangan dalam proses pembangunan pun menjaga keragaman dalam rangka menatap ke-Indonesia-an yang lebih luas lagi kedepannya.
Sebab, tanpa sinergitas dalam menjaga keseimbangan akan sulit untuk menjalankan roda pemerintahan yang kaya akan subkultur dan etnisitas yang beragam, adat istiadat yang berbeda, agama yang plural dan kesenjangan sosial ekonomi-sosial yang masih memicu kerentanan demi kerentanan. Bangsa ini masih membutuhkan tambahan stamina spiritual dan saling pengertian satu dengan yang lainnya.
Sebab, satu saja keragaman yang koyak karena perpecahan berarti telah melukai cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia. Inilah yang diyakini oleh Jokowi dalam memilih sosok Ma’ruf Amin menjadi pendampingnya. Memastikan sepeda itu dapat melaju dengan baik dan kita dapat menatap kedepan. Memang sederhana, namun sangat berarti…