Kamis, April 25, 2024

Manuver Pesantren dan Sistem Pendidikan Laten

khusnul maarif
khusnul maarif
Mahasiswi

Sejenak singgah dari hiruk pikuk pilpres 2019. Kita masih punya secarik mimpi untuk mewujudkan Indonesia yang berintegritas. Di luar sana masih banyak benih kemakmuran Indonesia yang sudah seharusnya diberi perhatian masif oleh penguasa negeri ini. saat ini kita hanya berputar pada poros yang stagnan.

Nah itu saja  gambaran sistem pendidikan kita. Seperti yang dieluhkan menteri keuangan Sri Mulyani beberapa waktu lalu “Indonesia menghabiskan 20 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan, sama seperti Vietnam.

Akan tetapi, hasilnya sangat berbeda,”Indonesia memang masih jauh tertinggal di bawah Vietnam berdasarkan rangking PISA (Program for International Student Assessment) 2015. Intinya, dana APBN belum dimaksimalkan untuk menggubah wajah pendidikan kita.

Pada bulan-bulan kampanye seperti ini kita akan dimanjakan dengan sebongkah janji manis hingga tawaran fantastis. Berobat gratis, sekolah gratis, bahkan susu gratis katanya, Nyatanya masih banyak anak jalanan yang melakukan tindakan kriminal, masih juga belum terjamah anak-anak di Indonesia timur. Intinya, subsidi pemerintah yang 400 triliun untuk pendidikan Indonesia benar-benar masih terasa campah.

Lagi-lagi kita masih menganggap bahwa proses pendidikan dari bangku sekolah disiapkan sedemikian rupa hanya untuk menggeluti dunia kerja dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi individu. Ini adalah salah satu penanaman mindset berfikir yang gagal di Indonesia. Alih-alih mereka menganggap sekolah hanya sebagai batu loncatan menuju dunia kerja.

Beberapa waktu yang lalu saya juga dibuat haru dengan prestasi sejumlah santri tanah air yang telah berhasil mengharumkan Indonesia di muka dunia. Mereka adalah santri asal Jawa timur yang mebidik piala juara 1 dalam International School Arabic Debating Championship dan Olimpiade matematika di Hongkong.

Saya paham betul rasanya jadi santri, lilitan kesederhanaan yang saya hadapi sebagai seorang santri ternyata mampu merubah cara berfikir saya untuk mempeng dan nekad. Selanjutnya dengan izin para kyai saya rasa adik-adik kita tadi mampu menggapai prestasi yang luar biasa.

Sebuah cerita yang membuat saya terenyah dan kembali tertarik untuk mengingat dunia pendidikan pesantren. Kisah ini saya dapat dari salah satu pesantren di tanah jawa yang memberikan sasaran pendidikan yang kompleks.

Sejauh mata memandang anda tahu mereka anak-anak daerah timur Indonesia yang masih sangat jauh mengenal pendidikan formal. Jangankan untuk mengikuti kompetisi tingkat dunia, untuk sekedar menggunakan telepon seluler saja mereka harus berjalan kaki selama 4 hari.

Sebut saja Yohana (yang kini diubah menjadi umi kulsum) jenuh dengan keadaan yang ada di kampungnya. Yohana memang  lebih beruntung di antara teman-temannya. Selain putri dari kepala suku, dia juga anak pertama dari 16 istri Ayahnya. Kisah gadis timur ini dimulai saat ada seorang relawan yang datang di kampungnya untuk sosialisasi seputar gizi buruk di daerahnya.

Akan tetapi, Yohana mendapatkan jawaban atas kerisauan hatinya. Relawan itu adalah Zubaidah yang datang dari daerah yang tak jauh dari kampungnya, akan tetapi ia berpendidikan. Yohana mempunyai kegundahan yang besar dan ingin seperti Zubaidah.

Yohana bertanya pada Zubaidah kemana ia belajar agama, selanjutnya ia menunjukkan tanah jawa sebagai tempat menimba ilmu agama. Ayahnya sang kepala suku yang bijak mengizinkan niat baik putrinya, ia juga berkenan menghantarkan langsung putrinya sowan ke ndalem pesantren yang dituju. Kini Yohana telah tinggal selama sembilan tahun di pesantren.

Dengan kemurahan hati sang kyai Yohana dibebaskan dari semua tanggungan termasuk living coast. Dengan tekad Yohana yang tulus dan telaten mengkaji agama khususnya bidang tafsir Qur’an Sang kyai berharap Yohana dapat menjadi wasilah yang menghantarkan masyarakat di sana untuk mengenal agama islam juga keilmuan. Tekad dan ketekunan memang dan pernah menghianati hasil. Yohana kini telah mengajak beberapa anak-anak di kampungnya untuk belajar di pesantren.

Pada tahun 2017 lalu Presiden Joko Widodo berkunjung ke salah satu pesantren di Madura, dalam kesempatan itu sejumlah kyai setempat pun bermaksud mengutarakan kerisauan mereka agar pemerintah membentuk kementerian pondok pesantren. Hal ini ditujukan sebagai salah satu manuver agar pesantren menjadi lembaga pendidikan yang ekuivalen dengan pendidikan formal.

Menuju pilpres 2019 ini, setidaknya pemerintah akan mempunyai perhatian lebih pada pendidikan pondok pesantren dengan memberikan dana APBN lebih pada pihak pesantren. Ada tiga poin yang perlu renungkan mengapa pesantren menjadi salah satu lembaga yang harus didukung perkembangannya.

Mengapa pesantren mempunyai hak untuk mendapat perhatian lebih, Pertama, tidak dipungkiri lagi semangat kepesantrenan yang memang menjadi bekal persatuan bangsa ini. seperti yang dikatakan Zulkifli Hasan bahwa pondok pesantren memiliki peran yang penting untuk mendorong persatuan umat dengan mengingat nilai-nilai sejarah  yang yang telah melekat saat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Kedua, pesantren adalah lembaga yang tepat sebagai sarana pengembangan karakter sejak dini. Tidak menafikan lagi moral generasi muda Indonesia mengalami degradasi yang fantastis. Pesantren adalah tameng generasi muda kita mempertahankan nilai keluhuran.

Ketiga, saat ini pesantren yang sudah mapan telah mampu membuktikan bahwa pesantren mampu unjuk nama di beberapa kompetisi bergengsi internasional dengan membawa pretise Indonesia yang memang patut diperhitungkan. Maka, dukungan pemerintah menjadi amunisi yang ampuh untuk terus mendukung semangat keoesantrenan.

khusnul maarif
khusnul maarif
Mahasiswi
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.