Sabtu, April 20, 2024

Manuver Nyentrik PSI

Gerry Katon Mahendra
Gerry Katon Mahendra
Dosen Administrasi Publik Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta

Muda, enerjik, dan berani. Mungkin itu persepsi sebagian orang ketika mendengar dan membahas Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Hal ini seolah menjadi angin segar, dimana sebelumnya partai politik sering dikuasai oleh tokoh senior dan minim kaderisasi. S

ecara teori, partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta materiil (Miriam Budiarjo, 2008).

Atas dasar konsep tersebut, maka partai politik dapat didirikan dan dioperasionalkan melalui jalur legislatif dan jabatan politik. Menarik sejarah ke belakang, PSI memang bisa dibilang partainya anak muda yang enerjik dan berani. Awal terbentuknya PSI berawal dari obrolan santai lima anak muda di sebuah kafe di Jakarta Selatan pada akhir tahun 2014.

Diantara anak muda itu adalah Raja Juli Antoni, Grace Natalie, dan Isyana Bagoes Oka yang memiliki kesamaan arah pemikiran mengenai peta perpolitikan di Indonesia. Hingga pada 16 November 2014, PSI resmi berdiri serta mempersiapkan diri menyambut pemilu 2019. Sebagai partai yang sedari awal digawangi oleh anak muda, maka partai ini secara umum memang memiliki semangat perubahan yang cukup progresif dan bahkan tidak jarang mengundang perhatian dan perdebatan publik.

Setidaknya sepanjang  tahun 2018, ada beberapa sikap dan pernyataan dari PSI yang tercatat memancing perhatian dan perdebatan publik. Kontroversi berawal dari penyataan Ketua Umum PSI, Grace Natalie yang tidak mendukung perda syariah dan perda yang berlandaskan agama lainnya untuk diterapkan di Indonesia. Pernyataan yang disampaikan pada saat acara HUT PSI ke-4 tersebut pada akhirnya memicu tanggapan dan kritikan dari berbagai pihak.

Tak kurang, organisasi keagaaman, partai politik lain, hingga DPR mengkritik pernyataan Ketua Umum PSI terkait perda berbasis agama, karena pada kenyataannya perda berbasis agama sudah diterapkan pada beberapa daerah dan relatif tidak memicu perpecahan/intoleransi di daerah tersebut. kontroversi tidak berhenti sampai disini, lagi-lagi melalui ketua umumnya, PSI secara terbuka menolak dan tidak merestui poligami bagi kader, pengurus, dan anggota legislatif yang berasal dari PSI.

PSI menegaskan tidak akan pernah mendukung poligami, karena praktik tersebut dinilai menjadi salah satu sumber ketidakadilan bagi perempuan. Pernyataan ini yang kemudian akan diperjuangkan secara nyata jika PSI lolos ke parlemen. Tentu saja pernyataan ini kembali menuai respon dari publik, terutama karena di Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim tidak melarang praktik poligami selama sesuai dengan ketentuan.

Terbaru, lagi-lagi PSI mengundang perhatian publik ketika mengadakan Kebohongan Awards bagi beberapa tokoh. PSI memberikan penghargaan kebohongan kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dan Wakil Sekjen Partai Demorat, Andi Arief.

Sontak peristiwa tersebut mengundang respon, terutama dari Partai Gerindra dan Partai Demokrat yang menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh PSI tidak lebih hanya sekedar mencari sensasi, membuat gaduh, dan menumpang ketenaran. Beberapa peristiwa yang melibatkan PSI tersebut memang menarik untuk diamati, dianalisis, dan diketahui hasil akhirnya.

Sebagai salah partai baru peserta pemilu 2019, bersama-sama dengan Partai Garuda, Partai Berkarya, dan Partai Perindo, tidak dipungkiri PSI merupakan partai yang paling aktif menyita perhatian publik. Melalui data yang didapatkan, Google Trends setidaknya mencatatkan skor 99 pada 14 November dan skor 100 pada 15 November 2018 untuk kata kunci ‘PSI’. Ini angka tertinggi dalam skala Google Trends.

Pada Desember 2018, tepatnya pada 11 Desember 2018 Google Trends mencatat skor 45 dan kembali naik di 17 Desember ke skor 79. Skor tersebut menjadi yang tertinggi dibandingkan partai-partai baru lainnya. Hal ini setidaknya menunjukkan bahwa publik ingin tahu lebih lanjut mengenai apa yang dilakukan oleh PSI dan juga ingin lebih tahu mengenai apa dan siapa PSI.

Tren ini pada satu sisi menjadi positif karena popularitas dan tingkat keingintahuan terhadap PSI akan semakin luas dan melambung tinggi. Namun, apabila setelah publik mengetahui kemudian menilai bahwa pernyataan-pernyataan PSI bertentangan dengan harapan umum masyarakat Indonesia, maka mungkin saja justru persepsi negatif yang akan melekat hingga akhirnya berimbas pada penurunan popularitas dan elektabilitas PSI.

Berkenaan dengan hal tersebut, maka secara umum PSI berada pada titik yang cukup rawan. Mengapa? karena meskipun sangat vokal dan lantang dalam menyuarakan aspirasinya, namun dari beberapa pernyataan yang dikeluarkan justru dianggap bertentangan (perda agama dan poligami, red) dengan harapan dari beberapa kelompok masyarakat dan dianggap hanya mencari sensasi.

Belum lagi status PSI yang merupakan bagian dari koalisi pendukung calon presiden petahana (Jokowi-Ma’ruf), tentu langkah kontroversi yang kerap diambil oleh PSI bisa jadi justru merugikan koalisi dalam rangka memenangkan pilpres 2019 dan bisa saja merubah sikap para pendukung paslon nomor urut 01 tersebut.

PSI dianggap kurang bisa bersinergi dengan partai-partai pendukung Jokowi lainnya dan kerap bertindak atas dasar kehendak sendiri. Hal ini menjadi kerawanan tersendiri bagi PSI apabila tidak cepat berkonsolidasi dan mengatur ulang ritme pernyataan dan strategi politiknya.

Apalagi, waktu penyelenggaraan pemilu 2019 hanya tinggal menghitung bulan, maka penguatan citra partai tentu akan menjadi “kartu truf” yang sangat bermanfaat. Pada akhirnya, Bagaimanapun PSI sudah sudah mengambil sikap politiknya sendiri yang jika dibaca mengarah pada perjuangan terkait independensi, heterogenitas, kesetaraan, dan keadilan yang diharapkan dapat diterapkan di Indonesia.

Tinggal kita tunggu saja hasilnya, apakah semangat perjuangan progresif dan strategi marketing politik “nyentrik” ala PSI tersebut dapat berkorelasi positif pada perolehan suara maksimal pada pemilu 2019 mendatang.

Gerry Katon Mahendra
Gerry Katon Mahendra
Dosen Administrasi Publik Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.