Jumat, April 26, 2024

Manhaj Tarjih, Alternatif Epistemologi (Tanggapan untuk Azaki Khoirudin)

Muhammad Ridha Basri
Muhammad Ridha Basri
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Studi Al-Quran dan Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Azaki Khoirudin, menuliskan artikel, “Muhammadiyah: Pra dan Pasca Tarjih, Ada Apa?” di laman web Geotimes, pada Jumat, 2 Februari 2018. Tulisan kader muda Muhammadiyah tersebut memberikan gambaran umum tentang dinamika keagamaan di lingkungan Muhammadiyah. Di antara titik tekannya adalah pada pergeseran tradisi keagamaan pra dan pasca (kemunculan) tarjih.

Di bagian awal, Azaki menyebut, Majelis Tarjih sebagai laboratorium ijtihad pemikiran keagamaan yang selalu responsif, adaptif, dan akomodatif terhadap perubahan sosial, politik dan ekonomi. Hal ini dilihat dari beberapa tema dan bahasan yang dihasilkan oleh Majelis Tarjih belakangan. Semisal Fikih Air, Fikih Bencana, Fikih Perlindungan Anak, hingga Fikih Informasi dan Fikih Lalu Lintas (dalam proses pembahasan).

Tulisan Azaki memberi kesimpulan bahwa telah terjadi pergeseran pemikiran keagamaan di tubuh Muhammadiyah, tersebab adanya Majelis Tarjih. “Pergeseran ini mirip dengan perubahan corak pemikiran keagamaan Muhammadiyah pra dan pasca Tarjih. Muhammadiyah pra-tarjih cenderung toleran, inklusif dan reformis berubah menjadi orientasi fikih, ekslusif dan puritan,” tulisnya.

Gagasan Azaki di satu sisi penting dipahami sebagai otokritik bagi Majelis Tarjih dan Muhammadiyah secara keseluruhan. Sisi lain, untuk melihatnya secara utuh, perlu kiranya menelaah kembali basis epistemologi majelis tarjih dan serangkaian aktivitas ketarjihan yang telah dilakukan selama ini. Sehingga bisa melihat, benarkah terjadi pergeseran ke arah yang seperti disebutkan dalam tulisan tersebut.

Kebangsaan dan Keumatan

Akhir Januari 2018, Majelis Tarjih dan Tajdid mengadakan sebuah musyawarah nasional (munas) di Makassar. Forum para cendekiawan-ulama Muhammadiyah itu membahas beberapa persoalan kebangsaan dan keummatan, dilihat dari perspektif Islam dalam pandangan Muhammadiyah. Munas Tarjih merupakan forum tertinggi Muhammadiyah dalam bidang keagamaan. Dalam tradisi Majelis Tarjih, ada empat jenis keputusan yang berbeda tingkatan level; putusan, fatwa, wacana, dan taujihat.

Putusan, dihasilkan melalui serangkaian musyawarah nasional, yang bersifat mengikat secara organisatoris. Adapun fatwa, memiliki ikatan yang lebih rendah dari putusan. Sementara wacana, berupa tawaran gagasan-gagasan yang dimaksudkan untuk membuka wawasan keagamaan. Adapun taujihat, dimaksudkan sebagai sebuah seruan moral dan keagamaan. Dalam hal ini misalnya, taujihat yang baru saja dikeluarkan terkait dengan pelaksanaan pemilihan serentak, terkait di dalamnya tentang money politic dan politik transaksional.

Putusan dan fatwa digolongkan sebagai wilayah religious practical guidance, yang “mengikat” secara organisatoris. Sementara wacana dan taujihat masuk ke wilayah religious thought yang lebih menonjolkan aspek analisis akademik terhadap tata nilai, pandangan hidup dan wilayah moralitas publik.

Berbagai keputusan tersebut dirumuskan dengan berbasis pada manhaj tarjih. Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Prof Syamsul Anwar, mendefinisikan tarjih dalam pandangan Muhammadiyah, lebih dari sekadar makna dalam pengertian ushul fikih. Menurutnya, manhaj tarjih merupakan suatu sistem yang memuat seperangkat wawasan (atau semangat/perspektif), sumber, pendekatan, dan prosedur-prosedur teknis (metode) tertentu yang menjadi pegangan dalam kegiatan ketarjihan.

Wawasan

Kegiatan ketarjihan merupakan serangkaian aktivitas intelektual untuk merespon berbagai masalah sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan dari sudut pandang agama Islam. Respon tersebut dapat dilakukan dalam suatu kerangka yang bersifat evaluatif (melihat permasalahan dari sudut pandang agama das sollen) dengan mengembangkan sistem normatif yang responsif.

Selain itu juga dilakukan dalam suatu kerangka yang bersifat ekplanatif (melihat masalah dalam realitas empiris atau dari sudut pandang das sein) yang tetap bertolak dari dasar-dasar ajaran agama, dan dilakukan dilakukan dengan mengembangkan kerangka pemikiran keislaman yang kritis dan analitis (Syamsul Anwar: 2018).

Salah satu unsur yang terdapat dalam manhaj tarjih adalah wawasan atau semangat atau perspektif. Wawasan tersebut meliputi lima hal. Pertama, wawasan paham agama. Agama didefinisikan oleh tarjih sebagai suatu tatanan normatif yang menjadi kerangka rujukan sekaligus bimbingan bagi manusia dalam menjalani hidupnya untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Hal itu sering disebut sebagai agama dalam perspektif eta objektif. Majelis tarjih juga mulai melihat agama dari segi hakikat yang diresapi oleh penganutnya (eta subjektif), berupa pengalaman imani yang terekspresikan dalam wujud amal shalih yang dijiwai oleh nilai islam, ihsan, dan syariah. Hal itu bersumberkan pada kesadaran kehadiran Allah, yang dimanifestasikan dalam wujud amal shalih, sebagian terpolakan secara ketat (ibadah) dan sebagian tidak terpolakan secara ketat (muamalah duniawiyah).

Kedua, wawasan tajdid, yang memiliki dua sayap; dinamisasi dan purifikasi. Dalam aspek akidah dan ibadah, tajdid Muhammadiyah bermakna mengembalikan kepada kemurnian yang sesuai dengan sunnah nabi. Sementara di luar urusan akidah dan ibadah, tadjid bermakna mendinamisasikan atau memodernisasikan kehidupan masyarakat dengan sesuai dengan semangat zaman atau konteks ruang dan waktu.

Ketiga, wawasan toleransi. Semenjak awal kelahiran Majelis Tarjih, prinsip ini telah menjadi dasar. Misalkan disebut dalam “Penerangan tentang Hal Tardjih” yang dikeluarkan tahun 1936 di masa KH Mas Mansur, menyatakan bahwa tarjih memiliki asas keterbukaan dan tidak bermaksud melawan atau menentang segala yang tidak dipilih oleh tarjih. Hal ini menjadi poin penting untuk menjawab salah satu tuduhan bahwa Muhammadiyah itu ekslusif.

Keempat, keterbukaan. Artinya, keputusan yang sudah diambil memiliki kemungkinan untuk direvisi di kemudian hari jika memang ditemukan adanya argumen atau dalil yang lebih kuat. Kelima, tidak berafiliasi mazhab. Poin ini tidak bermakna Muhammadiyah anti mazhab. Tarjih tetap menjadikan ijtihad imam mazhab sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan diktum norma yang dianggap lebih sesuai. Sama halnya dengan Muhammadiyah tidak anti tasawuf, tidak berarti Muhammadiyah menolak sama sekali.

Di antara unsur manhaj tarjih lainnya adalah tentang pendekatan. Sesuai putusan tarjih tahun 2000 di Jakarta, pendekatan ijtihad yang digunakan oleh Muhammadiyah adalah pendekatan bayani, burhani, dan irfani. Rumusan itu lahir ketika Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam dipimpin oleh Prof Amin Abdullah.

Dalam catatan Prof Syamsul, pendekatan tersebut saling melengkapi dan digunakan secara sirkular, bersama-sama sekaligus, jika memang dibutuhkan. Namun jika dengan dua atau satu pendekatan di antaranya sudah mencukupi, maka pendekatan yang lain tidak digunakan.

Ada juga unsur manhaj tarjih yang berupa metode. Menurut Syamsul, metode tarjih didasarkan pada dua asumsi pokok; asumsi integralistik dan asumsi hirarkis. Dengan asumsi integralistik, ijtihad yang dilakukan oleh majelis tarjih berusaha mempertimbangkan keseluruhan ayat, hadis, dan ilmu.

Adapun asumsi hirarkis mensyaratkan bahwa norma itu berjenjang. Pada tingkatan paling atas, berupa prinsip atau nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah), yang diambil dari nilai universalitas islam bersumberkan al-Quran dan as-sunnah. Semisal nilai tauhid, akhlak karimah, kemaslahatan, keadilan, persamaan, kebebasan, persaudaraan, kesetaraan, taqwa, kebaikan.

Tingkatan kedua disebut dengan prinsip-prinsip umum (al-ushul al-kulliyyah), yang merupakan deduksi dari nilai dasar dan sekaligus abstraksi dari norma kongkret. Tingkatan ketiga berupa norma kongkret atau pedoman praktis sebagai turunan dari dua jenjang di atasnya. Jenjang terakhir ini sudah berupa ketentuan syari yang bersifat fari yang mengkualifikasi suatu peristiwa hukum.

Adanya dua asumsi metode ini, menjadikan majelis tarjih lebih luwes dalam merespons permasalahan sosial atau kemanusiaan. Tidak selalu dilakukan dengan introduksi norma kongkret (segi hukum taklifi, seperti halal, haram, wajib, makruh), tetapi juga menggali asas ajaran agama yang menjadi pedoman bertindak dan sekaligus melihat nilai dasarnya, yang menjadi spirit. Penggunakan asumsi hirarkis ini telah dilakukan dalam penyusunan fikih tata kelola air hingga fikih anak.

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir dalam pelaksanaan Munas Tarjih 2018 sempat mengingatkan kilas sejarah Majelis Tarjih dalam agenda membangun alam pikir keislaman. Dalam catatan Haedar, tahun 1937-38, Majelis Tarjih telah membahas al-Masail al-Khams atau lima masalah mendasar dalam beragama.

Pertanyaan yang dikemukakan ketika itu adalah ma huwa al-din, ma huwa al-dunya, ma hiya al-ibadah, ma huwa al-qiyas (ijtihad), dan ma huwa fi sabilillah. Pembahasan dan perdebatan tentang lima hal ini dan turunannya berlanjut dalam beberapa kali munas tarjih. Dan bahkan pernah dimaukufkan dalam sebuah munas, ketika ada beberapa tawaran alternatif dari tokoh Muhammadiyah yang juga menteri agama RI, Prof M Rosyidi.

Majelis Tarjih telah mempertanyakan konsep mendasar yang bersifat dinamis-transformatif terkait dengan lima konsep kunci; agama, dunia, ibadah, ijtihad, dan sabilillah. Dari pertanyaan mendasar ini, seharusnya melahirkan sebuah pemikiran, pandangan dan praktis keagamaan yang terang dari Muhammadiyah.

Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup hidup Muhammadiyah (MKCH) dan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) mencerminkan turunan dari bahasan al-masail al-khams. Setiap muncul gejolak pemikiran baru, Muhammadiyah seharusnya telah selesai dan memiliki pijakan. Belakangan, sebagian umat terkesan mudah terbawa arus dan tidak memiliki dasar pemahaman yang utuh dan tuntas terhadap suatu konsep kunci keagamaan.

Pada dasarnya, Majelis Tarjih memiliki manhaj yang sudah mumpuni dalam tataran teoritis, dan telah melewati beberapa kali tahapan adaptasi. Sembilan ulama-intelektual yang pernah memimpin Majelis Tarjih juga menunjukkan spesialisasi latar belakang dan paham keagamaan yang progresif.

Produk dari Majelis Tarjih sendiri pada perkembangan belakangan sudah tidak lagi berkutat pada fikih dan purifikasi, namun sudah pada merespon perkembangan zaman yang dilihat dari beragam latar keilmuan. Persoalan fikih masih menjadi perhatian dalam rangka menjawab persoalan-persoalan yang ditujukan melalui Majalah Suara Muhammadiyah, dalam rubrik tanya jawab agama. Hal itulah yang kemudian dibukukan menjadi Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah yang sekilas terkesan “fikih oriented”. Di luar itu, banyak persoalan yang dikerjakan.

Referensi:

Syamsul Anwar. Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Yogyakarta: Gramasurya, 2018.

Pidato Iftitah ketua umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dalam Munas Tarjih 2018 di Unismuh Makassar, 24 Januari 2018

Keputusan Munas XXV Tarjih Muhammadiyah di Jakarta tahun 2000. Yogyakarta: Sekretariat Majelis Tarjih dan Tajdid, 2012.

Muhammad Ridha Basri
Muhammad Ridha Basri
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Studi Al-Quran dan Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.