Kamis, April 25, 2024

Manfaat Punya Rival Tetangga Macam Malaysia

Lugas Wicaksono
Lugas Wicaksono
Lahir di Malang 15 Maret 1990. Sarjana Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang. Twitter: @lugaswicaksono

Pertandingan antara Malaysia vs Indonesia menjadi laga seru yang paling ditunggu publik kedua negara bertetangga ini. Rivalitas antara kedua negara ini membuat atmosfer pertandingan memanas. Warga kedua negara serumpun melayu ini sejak dahulu kala memang selalu terlibat rivalitas. Mulai dari konflik politik kedua negara sampai kemudian kini saling unjuk kekuatan melalui prestasi termasuk di bidang olahraga.

Rivalitas antara Indonesia vs Malaysia pertama kali dimulai ketika Presiden Soekarno berpidato Ganyang Malaysia menyikapi aksi unjukrasa anti-Indonesia di KBRI Kuala Lumpur yang dilakukan dengan menginjak lambang Garuda Pancasila, membakar bendera merah putih dan merobek fotonya 17 Desember 1963. Aksi ini menyusul konfrontasi atau sikap bermusuhan Indonesia tehadap Malaysia 20 Januari 1963 dan perintah Presiden Soekarno tentang Dwi Komando Rakyat (Dwikora) 3 Mei 1963.

Perintah itu menyusul rencana Federasi Malaysia yang didalangi Inggris akan menjadikan wilayah Kalimantan Utara, Sabah, Sarawak dan sekitarnya sebagai negara yang dituding Soekarno sebagai negara boneka. Menurut dia itu bagian dari bentuk neokolonialisme yang dapat mengancam kedaulatan Kalimantan. Konflik bersenjata terjadi sampai 1966 dan berakhir ketika Soekarno dikudeta Soehato.

Selanjutnya konflik kembali terjadi ketika 1979 Malaysia mengincar Pulau Ambalat yang sudah jelas masuk wilayah Indonesia. Ini menyusul Malaysia yang memasukkan Pulau Sipadan dan Ligitan yang berada di dekat Ambalat sebagai titik pengukuran zona ekonomi eksklusif. Ditambah lagi tahun 200-an Malaysia mengklaim sejumlah kesenian Indonesia sampai tempe sebagai milik mereka.

Baru ini hubungan kedua negara kembali memanas ketika panitia SEA Games Malaysia 2017 memasang bendera Indonesa terbalik di buku panduan tamu. Pemerintah Indonesia tidak membenarkan kesalahan ini dan menuntut Malaysia meminta maaf karena bendera merupakan salah satu simbol negara yang melambangkan harga diri bangsa. Ini memicu reaksi dari masyarakat kedua negara yang sampai terlibat perang komentar di media sosial. Meskipun Malaysia sudah meminta maaf dan pemerintah Indonesia sudah memaafkan tetapi tetap saja netizen (masyarakat pengguna media sosial) kedua negara saling terlibat adu argumen di dunia maya.

Terlebih tim atlit Indonesia menuding Malaysia curang saat kedua negara ini saling bertemu dalam satu pertandingan SEA Games kali ini. Mulai dari atlit putri sepak takraw yang walk-out saat melawan tim Malaysia karena merasa dicurangi. Sampai terakhir tim seni beladiri Indonesia tidak terima dengan keputusan juri yang menempatkan mereka juara II di bawah Malaysia yang juara I. Mereka menyebut nilai yang diberikan juri kepada atlit Malaysia tidak masuk akal karena terlampau tinggi, dan penampilan atlit itu tidak lebih baik dari atlit Indonesia.

Di sepakbola rivalitas antara dua klub daerah bertetangga sudah seringkali terjadi. Kalau di sepakbola Indonesia sebut saja antara Persija Jakarta dengan Persib Bandung atau Persebaya Surabaya dengan Arema Malang. Rivalitas ini terjadi karena ada gengsi antara keduanya yang sama-sama ingin menunjukkan bahwa daerahnya lebih baik daripada tetangga. Almarhum Lucky Acub Zainal juga memiliki semangat demikian ketika mendirikan Arema Malang 1987 lalu. Ia ingin dari sepakbola nama wilayah Malang Raya yang sebelumnya tidak banyak dikenal menjadi lebih dikenal dibandingkan Surabaya di Jawa Timur.

Rivalitas bukanlah sesuatu yang harus selalu negatif. Sejak berdirinya Arema Malang yang memiliki rival Persebaya, Arek Malang secara perlahan tidak lagi suka tawuran antara kelompok geng atau antar kampung yang sebelumnya sering terjadi. Malang Raya menjadi kondusif karena semua Arek Malang bersatu mendukung Arema dan merasa memiliki rival bersema yaitu Persebaya Surabaya. Begitupula sebaliknya Arek-arek Surabaya juga merasa demikian.

Sosiolog asal Jerman, Lewis A. Coser berteori bahwa konflik sosial tidak selalu negatif. Menurut teorinya, konflik memiliki fungsi positif yang salah satunya dapat meningkatkan kohesi internal kelompok. Ia memiliki istilah out group-we group. Konflik membuat anggota kelompok lebih sadar tentang ikatan mereka dan meningkatkan partisipasi mereka. Konflik dengan kelompok luar memiliki pengaruh yang juga menggerakkan pertahanan kelompok yang menegaskan sistem nilai mereka atas musuh luar.

Ketika klub sepakbola Indonesia vs Malaysia bertanding maka skala rivalitas berubah dari tingkatan lokal menjadi nasional. Saat mendukung timnas Indonesia, kita tidak begitu mempermasalahkan dari Jakarta, Surabaya, Bandung, Malang, Papua, Sumatra dan daerah lainnya berasal. Yang jelas semua merasa dipersatukan karena sama-sama berasal dari Indonesia dan memiliki musuh bersama yaitu Malaysia.

Amien Rais dalam bukunya Agenda Mendesak Bangsa (2008) mengatakan tidak sulit melihat nasionalisme masyarakat Indonesia. Ia mencontohkan semangat nasionalisme dilihatnya ketika timnas sepakbola Indonesia berlagai di Piala Asia 2007 di Stadion Gelora Bung Karno Jakarta. Stadion seakan mau runtuh ketika masyarakat yang mendukung kesebelasan Indonesia berteriak dan bersorak gemuruh memberikan semangat kepada pemain. Menurut dia, semangat itu sulit disamai negara lain di Asia.

Tidak sedikit pihak yang mengagumi semangat nasionalisme masyarakat ketika timnas bertanding. Pelatih sepakbola U-22 Indonesia Luis Milla membandingkan masyarakat Indonesia dengan Spanyol ketika menyaksikan pertandingan sepakbola. Di Spanyol orang menonton sepakbola cukup duduk saja menikmati permainan, tetapi di Indonesia mereka yang menonton sepakbola adalah mereka yang mendukung dan terus memberikan semangat kepada pemain tanpa kenal lelah. Tidak berlebihan apabila Antony Sutton penulis buku Sepakbola: The Indonesian Way of Life menyebut suporter Indonesia terbaik se-Asia Tenggara.

Meski begitu rivalitas antara Indonesia dengan Malaysia kekinian harus dimaknai dengan bijak. Ketika mendukung timnas sepakbola rivalitas itu cukup selama pertandingan di stadion melalui chant atau koreo yang bertujuan untuk memberi semangat pemain agar dapat mengalahkan Malaysia dari atas lapangan. Sementara ketika di luar lapangan dalam berbagai kehidupan masyarakat bisa dilakukan dengan saling menunjukkan prestasi lebih baik daripada mereka sesuai bidang kita.

Tentu saja sebenarnya dalam berbagai bidang sebenarnya Indonesia jauh lebih unggul daripada Malaysia. Komedian Cak Lontong dalam satu lawakannya menyebut bahwa sebenarnya Malaysia kini mengalami kemunduran. Kalau 1970-an negara itu banyak mengimpor tenaga guru dari Indonesia, kini mereka lebih banyak mengimpor asisten rumah tangga. Menurut dia itu menandakan bahwa selera masyarakat Malaysia kini lebih menurun dibandingkan zaman dahulu. (*)

Lugas Wicaksono
Lugas Wicaksono
Lahir di Malang 15 Maret 1990. Sarjana Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang. Twitter: @lugaswicaksono
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.