Selama beberapa tahun terakhir, lingkungan sosial kita semakin ramai. Bukan disebabkan oleh perkembangan teknologi, tetapi oleh polarisasi yang terus dijaga, bahkan dipertahankan. Media sosial bukan hanya sarana berbagi ide, tetapi juga sering kali menjadi tempat konflik. Dalam kondisi semacam ini, yang perlu ditanyakan bukan lagi cara kita berdebat, melainkan bagaimana kita tetap teguh agar tidak terjebak dalam gelombang kebencian. Inilah pentingnya manajemen sosial sebagai pendekatan yang terencana dan sadar dalam mempertahankan ikatan dalam masyarakat. Negara dapat membicarakan kestabilan politik dan ekonomi, namun jika warganya terbelah, semua itu jadi tidak berarti.
Manajemen sosial bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah
Hal ini juga menjadi kewajiban aktor-aktor komunitas, media, dan bahkan individu biasa yang memiliki keberanian untuk mengatakan “cukup.” Kita memerlukan narasi-narasi yang menyatukan, bukan hanya istilah toleransi yang kehilangan arti. Kita memerlukan pendidikan sosial sejak usia muda yang mengajarkan empati, bukan hanya kemampuan teknis.
Sayangnya, saat ini kita malah menyaksikan praktik yang bertentangan. Polarisasi digunakan sebagai instrumen politik. Perbedaan keyakinan dan sudut pandang secara sengaja ditekankan, karena itulah yang membuat satu kelompok merasa “paling benar” dan “paling berhak menang”. Ini tidak hanya tidak aman, tetapi juga berisiko untuk masa depan negara.
Manajemen sosial di zaman digital memerlukan pendekatan yang fleksibel
Tidak cukup hanya dengan kampanye nasional yang bersifat seremonial. Kita harus mengatur algoritma, membentuk pola komunikasi, dan membangun ruang-ruang interaksi antar batas. Kita memerlukan rencana jelas yang mencakup pendidikan digital, pengawasan isi, serta bantuan nyata bagi komunitas dengan berbagai identitas.Di antara semua ini, harapan masih ada.
Banyak komunitas dasar yang aktif membangun jembatan antar kelompok. Banyak anak muda yang lebih memilih menjadi fasilitator damai ketimbang penggemar drama di media sosial. Namun, semuanya memerlukan dukungan, perlu pengakuan, dan memerlukan tempat.
Oleh karena itu, manajemen sosial tidak hanya tanggung jawab kalangan elit. Ia perlu dibangun dari dasar, menggunakan pendekatan yang inklusif, empatik, dan tangguh. Di negara yang beragam ini, hanya melalui nalar dan manajemen sosial yang baik, kita dapat terhindar dari jaring perpecahan.
Saat ruang publik dipenuhi dengan ujaran kebencian, maka rasio secara perlahan akan sirna. Jika ini dibiarkan berlanjut, demokrasi akan bertransformasi menjadi sirkus keributan, bukan diskusi kebijakan. Dan akibatnya, masyarakat akan menjadi akrab dengan konflik yang tak kunjung reda.