Dalam al-Jami’ al-Ushul min Ahadits al-Rasul karya Ibn al-Atsir, Anas ibn Malik RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Cinta dunia adalah pangkal setiap dosa; dan cintamu pada sesuatu itu membuatmu buta atau tuli”. Hadis ini telah terbukti dalam kenyataan, terutama jika menengok perkembangan informasi terkini.
Cinta dunia telah membuat sejumlah artis terlibat dalam prostitusi online, hingga membuat angka “80 juta” menjadi viral. Di sisi lain, laman kompas.com melansir data Kementerian Kominfo per 1 September 2018 yang menyebutkan hampir 14.000 laporan merupakan tindak kejahatan penipuan transaksi online.
Sungguh benar apa yang disabdakan Rasulullah SAW bahwa cinta dunia telah membuat manusia “buta” mata hatinya, sehingga tidak mau lagi melihat status halal-haramnya harta; serta membuat manusia “tuli”, sehingga tidak peduli lagi dengan segala bentuk nasihat yang menekankan pentingnya kerja yang halal.
Bagi para pecinta dunia, yang terpenting adalah “sukses di dunia”, sesuai doa yang mereka panjatkan: “Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami (kesuksesan) dunia”; dan mereka tidak mendapatkan bagian di akhirat (Q.S. al-Baqarah [2]: 200).
Berbeda halnya dengan doa yang diajarkan dalam Islam, “Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami, kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat” (Q.S. al-Baqarah [2]: 201). Letak perbedaannya, doa yang pertama memohon kesuksesan di dunia, tanpa peduli halal-haram; sedangkan doa yang kedua memohon kesuksesan di dunia yang terjamin halal.
Senada dengan itu, Abu Na’im dalam Hulyah al-Auliya’ mengutip kalam hikmah Nabi ‘Isa AS yang menyatakan bahwa dalam harta itu terdapat banyak penyakit. Antara lain, tidak memenuhi kewajiban terkait harta serta bersikap angkuh dan sombong.
Jika selamat dari itu, memperbaiki (jumlah atau mutu) harta dapat menyibukkan seseorang dari dzikir kepada Allah SWT. Lagi-lagi, kalam hikmah ini dapat ditemui dalam realita sehari-hari, terutama jika menengok berbagai postingan di media sosial. Bentuknya adalah memfungsikan media sosial sebagai media pamer yang mencerminkan sikap angkuh dan sombong terkait harta kekayaan yang dimiliki. Seolah-olah postingan tersebut berkata: “Aku telah menghabiskan bertumpuk-tumpuk uang” (Q.S. al-Balad [90]: 6).
Atas dasar itu, masih banyak pengguna media sosial yang merasa “malu karena manusia” jika terlihat miskin dan jarang piknik (traveling). Umumnya, rasa “malu karena manusia” ini dapat menghilangkan “rasa malu karena Allah SWT”. Kata kunci yang membedakan antara kedua jenis malu tersebut adalah, “malu karena Allah SWT” berarti takut meremehkan Allah SWT; sedangkan “malu karena manusia” berarti takut diremehkan manusia.
Misalnya, karena takut diremehkan manusia sebagai orang miskin dan kurang piknik, akhirnya banyak orang meremehkan Allah SWT. Wujudnya adalah melanggar syariat Allah SWT yang melarang pekerjaan haram, seperti prostitusi dan penipuan online; endorse situs perjudian dan produk-produk haram lainnya.
Menarik mengetahui bahwa kata malu dalam bahasa Arab adalah haya’ yang seakar dengan kata hayat yang berarti “hidup”. Hubungan ini mengisyaratkan bahwa malu karena Allah SWT (haya’), hanya bisa dimiliki oleh orang yang hatinya masih “hidup” atau berfungsi normal.
Jika hatinya sudah terkontaminasi (Q.S. al-Muthaffifin [83]: 14), terkena penyakit kemunafikan (Q.S. al-Baqarah [2]: 10), apalagi mati layaknya batu (Q.S. al-Baqarah [2]: 74); maka manusia sudah tidak lagi “malu karena Allah SWT”, hanya tersisa “malu karena manusia”. Dari sini wajar jika Rasulullah SAW mengaitkan “malu karena Allah SWT” dengan kualitas iman seseorang, melalui sabda beliau: “al-haya’ min al-iman”; malu adalah sebagian dari iman (H.R. Bukhari-Muslim).
Contoh “malu karena Allah SWT” adalah sikap putri Nabi Syu’aib AS yang menutup wajah saat berbicara dengan Nabi Musa AS yang bukan mahramnya (Q.S. al-Qashash [28]: 25). Dalam taraf yang lebih tinggi, Sayyidah ‘Aisyah RA terbiasa menanggalkan baju saat berada di kamar yang dihuni makam Rasulullah SAW dan Sayyidina Abu Bakar RA, karena keduanya berstatus mahram.
Sejak Sayyidina ‘Umar RA dimakamkan di sana, Sayyidah ‘Aisyah RA selalu memakai pakaian lengkap saat berada di kamar tersebut, karena malu dengan Sayyidina ‘Umar RA yang berstatus non-mahram. Bandingkan dengan zaman sekarang yang semarak dengan video tutorial kecantikan di berbagai media sosial yang sudah pasti banyak ditonton oleh mereka yang berstatus non-mahram.
Terkait sikap “malu karena manusia”, patut kiranya meneladani Allah SWT yang tidak malu untuk menciptakan nyamuk, sekalipun diremehkan oleh sebagian manusia (Q.S. al-Baqarah [2]: 26). Terbukti, kendati diremehkan, nyamuk telah memberi manfaat yang begitu besar kepada umat manusia sebagai salah satu pintu rezeki. Misalnya, banyak perusahaan atau pabrik yang memproduksi obat nyamuk atau lotion anti nyamuk yang secara total telah menyerap tenaga kerja dalam jumlah ribuan bahkan jutaan.
Maknanya, selama yang kita lakukan itu tidak meremehkan syariat Allah SWT, dalam artian tidak melanggar syariat Islam; maka tidak perlu takut diremehkan oleh sesama manusia. Apalagi al-Qur’an sudah memberi isyarat bahwa manusia yang diberi harta kekayaan tanpa disertai keimanan, cenderung meremehkan orang lain yang status sosial-ekonominya lebih rendah (Q.S. al-Baqarah [2]: 212).
Di sisi lain, bagi mereka yang dianugerahi kelebihan harta benda, patut kiranya menyimak sabda Rasulullah SAW yang dikutip Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumiddin: “Malulah karena Allah dengan sebenar-benarnya malu”. Saat para shahabat menjawab bahwa mereka sudah malu karena Allah SWT, Rasulullah SAW menanggapinya: “Tidak seperti itu. Kalian membangun apa yang tidak kalian tinggali; dan menghimpun apa yang tidak kalian konsumsi”. Sungguh Hadis ini menyentak perilaku sejumlah hartawan yang akhir-akhir ini kerap disebut dengan istilah “crazy rich”.
Bukankah masih banyak hartawan yang sibuk berlomba-lomba memperbanyak aset berupa rumah, tanah, kendaraan, surat berharga, dan beragam kekayaan lainnya; padahal sudah hidup makmur dan sejahtera, sekalipun tidak lagi bekerja hingga akhir usia. Kondisi inilah yang tampaknya disinggung oleh kalam hikmah Nabi ‘Isa AS di atas, yaitu “memperbaiki (jumlah atau mutu) harta itu menyibukkan seseorang dari berdzikir kepada Allah SWT”.
Walhasil, pesan tulisan ini jelas. Jangan sampai “malu karena manusia” berupa rasa takut diremehkan orang lain, membuat umat muslim tidak lagi “malu karena Allah SWT” berupa rasa takut meremehkan Allah SWT, yaitu melanggar syariat Islam.
Bekerja yang sesuai tuntutan syariat Allah SWT, sekalipun diremehkan manusia; lebih baik daripada bekerja yang dipuja-puji manusia, namun melanggar syariat Allah SWT. Berdagang kecil-kecilan yang halal dengan menghasilkan laba 80 ribu, jauh lebih luhur di sisi Allah SWT, daripada endorse produk haram dengan bayaran 800 ribu, apalagi terlibat prostitusi online yang berlabel 80 juta itu.
Sumber Foto: bincangsyariah