Mengapa tema-tema politik praktis picisan begitu menyita perhatian umat Islam, dibandingkan tema-tema mendasar lainnya perihal kehidupan seperti keberpikiran. Padahal dalam sebuah Hadits dinyatakan tafakur sejenak lebih baik dari pada ibadah puluhan rakaat.
Tetapi entah mengapa masalah keberpikiran tidak lagi menarik perhatian umat. Atau dengan bahasa lain, umat Islam mengabaikan peranan keberpikiran bagi kelangsungan peradaban. Tapi apakah makna keberpikiran itu sendiri, tulisan pendek ini berupaya mengantarkan tentang makna keberpikiran dalam perspektif Islam.
Keberpikiran, merupakan ciri khas manusia. Di manapun kakinya berpijak, keberpikiran akan selalu menyertai seorang manusia. Demikian seorang filsuf muslim kontemporer menggambarkan identitas manusia.
Maka konsekuensi logisnya, jika seseorang melepaskan keberpikiran, ia juga telah melepaskan kemanusiaan pada dirinya. Rasanya, tidak mungkin ada orang yang dengan sadar ingin melepaskan statusnya sebagai manusia. Buktinya, mayoritas orang tidak menghendaki atau ingin menunda dari mati.
Namun tidak banyak manusia yang mempertahankan kemanusiaannya dengan jalan merawat keberpikirannya. Padahal jika kita merujuk kepada Al-Qur’an, kitab suci tersebut terus menerus menyeru umat Islam pada kegiatan berpikir misalnya seruan, “Apakah kamu tidak berpikir, apakah kamu tidak berakal”.
Senada dengan uraian keberpikiran di atas. Seorang guru besar telaah agama-agama, dari Stony Brook University, New York, William C Chittick, menyatakan dengan sangat tegas, “Mengingat bahwa sebagian besar umat Islam tidak punya pilihan lain selain berpikir, belajar bagaimana berpikir secara benar pastinya menjadi bidang penting dari upaya menjadi muslim”.
Pertanyaannya kemudian, untuk apa kegiatan berpikir ini ditujukan? Apakah berhenti pada pencapaian gelar dan ijazah? Apakah berhenti pada pencapaian pekerjaan dan karier yang melesat? Apakah berhenti pada sederetan kepemilikan yang bisa kita posting di sosial media kita? Jadi untuk apa keberpikiran harus dilakukan oleh seorang muslim?
Murid Seyyed Hossein Nasr tersebut memberikan jawaban yang menarik perihal keberpikiran, bagi Profesor Chittick, tujuan keberpikiran adalah “untuk membantu orang-orang mengetahui diri mereka sendiri, sehingga mereka bisa mencapai kesempurnaan manusia (Insan al Kamil)”. Uraian dari profesor yang melakukan konversi menjadi seorang muslim tersebut, mengingatkan kita akan sebuah Hadits, Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu. Barang siapa mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya.
Sebagian kaum muslim, yang getol hanyut membahas isu-isu politik praktis bisa jadi akan keberatan dengan uraian keberpikiran di atas, mereka akan mengatakan, kami membahas tema-tema politik kekinian justru menunjukkan bahwa kami berpikir, bahwa kami up to date dengan problem umat.
Untuk apa membahas keberpikiran yang hanya berurusan dengan dimensi spiritualitas yang tidak berkontribusi pada jalannya politik saat ini. Kepada mereka kita bisa mengatakan, tema politik seperti itu akan datang silih berganti, serupa mentari yang esok pagi juga akan menyapa lagi, menyinari keseharian kita. Hanya berganti dalam istilah, peristiwa, dan tema yang menghampiri.
Dan jika kita, kaum muslim, hanyut dalam wacana politik yang demikian, kita menjadi lupa dengan diri sendiri, diri yang akan kita pertanggungjawabkan kelak di hadapan Ilahi. Lantas apa yang kita dapatkan dengan nyinyiran persoalan politik praktis. Bahkan lebih jauh, segala nyinyiran politik praktis kita di sosial media, justru acapkali menjadi penyebab retaknya persahabatan dan persaudaraan kita.
Mengapa pembahasan politik praktis kekinian begitu menarik perhatian kaum muslim, bisa jadi karena kita tidak menentukan prioritas agenda keberpikiran kita. Sebagai umat yang kitab suci nya menyeru pada keberpikiran dan sangat menghargai akal, maka setiap muslim alangkah indahnya jika menentukan agenda keberpikiran dalam keseharian.
Bukankah dalam sehari-hari kita memilih menu yang bergizi, menjaga makanan yang sehat dan hygenis, dan tak sedikit yang meluangkan waktu untuk berolah raga agar memiliki fisik dan raga yang mempesona. Maka alangkah anehnya jika tentang keberpikiran, yang merupakan ciri utama kemanusiaan, kaum muslim tidak memberikan perhatian yang serius. Sementara pada urusan badan dan makanan sangat detail dan serius memperhatikan.
Mungkin ada juga saudara-saudara Islam Politik yang akan mengatakan, bahwa sikap nyinyir atas politik praktis juga dilakukan oleh saudara-saudara non-muslim, lalu mengapa tulisan ini hanya mempersoalkan kaum muslim saja. Hal ini karena banyak kaum muslim yang saat ini begitu hanyut terlarut dengan euforia wacana Islam Politik. Sehingga seolah-olah untuk menjadi seorang muslim yang kaffah hanya bisa ditempuh dengan satu jalan, terjun ke politik praktis.
Dan saudara-saudara Islam politik cenderung lari dari semangat awal Islam, jika menganggap remeh pembangunan keberpikiran yang ditujukan kepada diri sendiri dalam bentuk jihad an nafs, seperti yang dikemukakan Professor Chittick di atas. Kebersungguhan dalam beragama, atau jihad, bagi saudara-saudara Islam politik cenderung disempitkan maknanya dengan upaya meraih masa dan pengikut sebanyak mungkin, sehingga nantinya diharapkan bisa menguasai berbagai jabatan sektor publik.
Namun kepada saudara-saudara Islam Politik, kita perlu bercerita bahwa suatu ketika Sayidul Wujud, Rasulullah Muhammad Saw, menyambut para Sahabat yang baru pulang dari medan perang. Rasulullah berkata, “Selamat datang wahai yang baru saja memenangkan jihad asgar (jihad kecil) dan masih harus berjuang dalam jihad akbar (jihad besar)”. Karena para Sahabat nampak kebingungan, lalu beliau junjungan alam, menjelaskan bahwa jihad besar adalah jihad melawan diri sendiri. Dari kisah ini, kita mendapatkan pesan moral betapa Rasulullah yang mulia, begitu menaruh perhatian besar terhadap jihad an nafs, perang melawan diri sendiri.
Lantas, mengapa jihad an nafs, perang melawan diri sendiri mesti dikaitkan dengan keberpikiran? Kembali mengutip pandangan profesor suami dari Sachiko Murata, “Karena tujuan Islam adalah membawa orang ke dalam keharmonisan dengan segala sesuatu sebagaimana adanya”. Dan hidup selaras, harmonis dengan segala sesuatu tentu hanya bisa dijalani jika diawali dengan upaya pengenalan diri secara paripurna. Dan hal ini, membutuhkan keberpikiran sebagai modal utama.
Begitu pentingnya keberpikiran bagi umatnya, maka Rasulullah Al-Mustafa juga bersabda, “tafakur sejenak lebih utama dari ibadah puluhan rakaat”. Tentu ibadah ritual juga sangat penting dilakukan oleh kita semua. Pernah pula Nabi yang mulia menasihati menantunya, Sayidina ‘Ali ibn Abi Thalib, “wahai ‘Ali ada banyak kendaraan menuju Allah. Jadikan akal sebagai kendaraanmu, niscaya kamu akan tiba disana lebih dulu dari yang lainnya”. Maka dengan menyadari betapa pentingnya keberpikiran bagi umat Islam, maka isu-isu politik picisan tak perlu menyita perhatian kita secara berlebihan. Karena kita mempunyai agenda wacana sendiri, membangun tradisi keberpikiran.