Viral di media sosial, video memilukan seorang nenek berlumuran darah menuruni tangga Pasar Mangu, Boyolali, mengoyak nurani publik. Wajahnya lebam, tubuhnya lunglai, langkahnya tertatih, namun yang lebih menyakitkan adalah narasi yang menyertainya. Nenek itu dituduh mencuri dua kilogram bawang putih seharga Rp 90.000, lalu dikeroyok oleh warga.
Nenek tersebut, SA, seorang penjual sayur dan gorengan keliling. Ia biasa datang ke pasar pukul 05.30 pagi untuk mencari dagangan. Namun, tekanan ekonomi dan beban utang menjerumuskannya dalam keputusan tragis, mengambil bawang putih tanpa membayar. Sebuah tindakan salah, ya. Namun apakah hukuman massa yang brutal bisa dibenarkan?
Peristiwa ini bukan yang pertama. Hanya tiga hari sebelumnya, Asyah yang berumur 76 tahun, dipukuli warga di Cianjur karena dituduh menculik anak. Padahal, ia hanya meminta tolong pada seorang anak kecil untuk menemaninya di jalan yang menanjak. Ketika anak itu lari ketakutan, asumsi jahat pun muncul dan seketika menjadi vonis yang dipraktikkan dengan kekerasan.
Fenomena ini menggambarkan betapa masyarakat kita tengah mengalami krisis kepekaan sosial. Bukannya empati, yang muncul adalah prasangka. Bukannya membantu, yang terjadi adalah menyerang. Urbanisasi, tekanan ekonomi, dan lemahnya relasi sosial membuat masyarakat semakin individualistik dan defensif.
Dari kacamata psikologi patologi sosial, kejadian ini mencerminkan disfungsi kolektif. Ketika norma empati, rasa hormat pada lansia, dan prosedur hukum tak lagi dihormati, yang muncul adalah perilaku barbar yang mengatasnamakan moralitas, padahal sejatinya bermuara pada kemarahan yang tak tersalurkan.
Masyarakat perkotaan atau semi-perkotaan seperti Boyolali dan Cianjur sedang berada dalam tekanan mental kolektif. Banyak warga merasa tertindas oleh ketidakpastian ekonomi, meningkatnya harga bahan pokok, serta stagnansi penghasilan. Dalam kondisi ini, individu mudah tersulut emosi dan kehilangan kemampuan untuk berpikir rasional.
Teori stres sosial dari Leonard Pearlin menjelaskan bahwa paparan kronis terhadap stres ekonomi, sosial, dan psikologis bisa menyebabkan gangguan kontrol diri pada masyarakat. Ketika tekanan sudah terlalu berat, bahkan rumor kecil bisa memantik tindakan brutal.
Dalam kasus SA dan Asyah, masyarakat bertindak atas dorongan impulsif, bukan refleksi hukum atau akhlak. Ada kecurigaan kronis terhadap orang asing, lansia, dan terutama perempuan miskin. Ini bukan sekadar prasangka, tapi bentuk diskriminasi kelas dan usia yang menyatu dengan kecemasan kolektif.
Celakanya, masyarakat juga kehilangan kepercayaan pada institusi hukum. Satpam pasar yang mestinya mengamankan justru menjadi pelaku pengroyokan, tidak memanggil polisi, dan tidak mencari klarifikasi. Dalam benak banyak orang, aparat dianggap lambat, tidak peduli, atau hanya berlaku bagi yang punya uang. Berkembang dalam asumsi masyarakat, proses hukum adalah proses untuk mengeluarkan uang lebih besar yang tidak sebanding dengan harga keadilannya.
Ketika hukum formal tidak dipercaya, maka hukum rimba mengambil alih. Vigilantisme atau tindakan main hakim sendiri bukan hanya bentuk frustrasi sosial, tetapi juga ekspresi dominasi psikologis atas yang lemah. Ironisnya, yang diserang selalu orang tua, perempuan, miskin, sebagai simbol kerentanan sosial yang mudah dikambinghitamkan.
Hal yang lebih mengkhawatirkan, pelaku pengeroyokan justru merasa benar. Dalam kerumunan, identitas individu larut. Teori deindividuasi dari Gustave Le Bon menjelaskan bahwa dalam massa, orang kehilangan kesadaran diri dan moralitas individual, sehingga lebih mudah melakukan kekerasan yang takkan mereka lakukan seorang diri.
Kita harus bertanya, mengapa masyarakat lebih mudah percaya rumor dibanding tabayyun? Mengapa suara jeritan seorang nenek tidak didengar, tetapi tuduhan tak berdasar langsung disambut pukulan? Ini menandakan hilangnya nilai trust dan gotong royong yang dulu menjadi penopang kuat masyarakat Indonesia.
Media sosial ikut memperkeruh situasi. Video viral seperti ini kerap dikonsumsi bukan untuk diambil pelajaran, melainkan untuk memuaskan rasa ingin tahu atau mengukuhkan posisi moral semu bahwa pencuri pantas dihajar. Ini adalah bentuk baru cyber sadism, ketika kekerasan disebarluaskan sebagai hiburan.
Kita memerlukan pendekatan sistemik untuk mencegah insiden serupa terulang. Bukan hanya penguatan hukum formal, tetapi juga edukasi publik tentang pentingnya empati sosial, kesabaran dalam klarifikasi, dan penghormatan terhadap prosedur hukum. Keluarga, sekolah, dan institusi keagamaan punya tanggung jawab membentuk nalar sosial yang lebih dewasa dan adil.
Masyarakat perlu dididik bahwa keadilan bukan dilampiaskan dengan tangan, melainkan ditegakkan lewat sistem yang beradab. Pemerintah lokal juga perlu menciptakan program perlindungan lansia miskin, terutama mereka yang masih harus bekerja demi utang atau kebutuhan harian. Ketika negara abai, rakyat bereaksi liar, dan biasanya menyerang yang paling rentan.
Sudah saatnya bangsa ini berhenti menjadi masyarakat yang reaktif. Kita harus tumbuh menjadi komunitas yang mampu menahan diri, mengedepankan nurani, dan melihat orang tua miskin bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai korban dari sistem yang gagal. Di tangga pasar itu, bukan hanya darah yang menetes. Hal yang turut hilang adalah kemanusiaan kita. Dan jika kita tidak segera bercermin dan berubah, akan semakin banyak SA dan Asyah lainnya yang menjadi korban dari masyarakat yang lupa cara bersikap sebagai manusia.