Hendak pergi ke kampus untuk menuntut ilmu. Pamit kepada orang tua agar diberikan berkah dan dimudahkan dalam proses pendidikan. Eh ternyata ketika di kampus mendapatkan perlakuan yang tidak senonoh yang bersifat traumatik dan berpengaruh terhadap psikis. Mungkin itulah gambaran yang dialami oleh beberapa kawan kita yang menerima pelecehan seksual.
“Nama Baik Kampus”, bentuk kampanye yang dilakukan oleh Tirto.id, The Jakarta Post, dan VICE Indonesia menjadi bukti bahwa institusi pendidikan tinggi masih rentan dengan kasus pelecehan seksual. Hal tersebut menunjukkan kelakuan yang mengarah pada pelecehan seksual dapat terjadi dimana saja, oleh siapa saja, dan dimana saja.
Namun disayangkan, masih banyak institusi pendidikan tinggi yang tidak rela untuk mengungkapkan kasus tersebut kepada publik. Selain karena masih adanya anggapan bahwa pelecehan seksual bukanlah hal yang terlalu serius, banyak perguruan tinggi yang cenderung diam dan bersifat proteksionis terhadap penanganan kasus pelecehan yang terjadi. Karena menganggap terungkapnya kasus pelecehan seksual yang terjadi, dapat memperburuk citra kampus.
Pelecehan Seksual dan Dampaknya Bagi Penyintas
Pada dasarnya, setiap manusia berhak untuk melindungi dirinya sendiri dari tindakan-tindakan yang berpotensi menimbulkan ketidaknyamanan. Pelecehan seksual merupakan sebuah tindakan yang tidak menghargai hak-hak kemanusiaan orang lain (perempuan maupun laki-laki) yang berkaitan dengan seksualitas/tubuh. Bentuk dari pelecehan seksual bermacam”, mulai dari pelecehan dalam bentuk verbal seperti cat–calling hingga sentuhan fisik.
Dampak dari pengalaman pelecehan seksual yang dialami oleh penyintas bersifat traumatik dan dapat berpengaruh terhadap psikologis. Banyak dari mereka merasa trauma atas apa yang didapatkannya dan timbul keinginan untuk menjauhkan diri terhadap pelaku. Meskipun itu telah lama terjadi, namun pengalaman buruk yang didapatkannya selalu teringat dan ketika mereka masih berjumpa dengan pelaku, sampai itu pula mereka akan merasa tertekan.
Kasus yang sering kita jumpai di media, seperti gerakan #kitaAGNI di UGM, dan pelecehan seksual di Undip bukanlah kasus satu-satunya yang terjadi di lingkungan akademik. Sedikit banyak yang terungkap di media nasional merupakan kasus yang tergolong pelecehan secara fisik, yang bersinggungan langsung dengan tubuh. Namun, masih banyak kasus pelecehan yang bersifat verbal, atau hanya melalui media sosial dalam bentuk chatting atau video call yang masih belum terungkap.
Mahasiswa, sebagai elemen kampus yang paling rentan menjadi korban pelecehan seksual harus dapat memandang kasus pelecehan seksual dengan berperspektif korban. Dalam hal ini penting untuk memahami bahwa korban mendapatkan dampak buruk dari pengalaman yang dialaminya. Sedangkan pelaku, sebagai aktor utama tidak mendapatkan dampak apapun, bahkan pelaku mendapatkan kepuasan diri dari apa yang telah dia lakukan.
Dari segi kontruksi sosial di masyarakat, adanya ketimpangan kekuasaan antara laki-laki dengan perempuan yang dapat dilihat melalui anggapan masyarakat yang masih menganggap perempuan sebagai sosok yang lemah dan harus dilindungi oleh laki-laki, dan sosok laki-laki sebagai sosok maskulin yang sering dianggap sebagai sosok yang superior daripada perempuan menjadi salah satu faktor mengapa korban pelecehan seksual sering-kali perempuan, meskipun tidak menutup kemungkinan laki-laki dapat menjadi korban juga.
Ketimpangan kekuasaan juga dapat dilihat di wilayah kampus, antara pengajar dengan mahasiswa. Adanya anggapan bahwa pengajar merupakan sosok yang paling benar dengan kebaikannya yang telah memberikan ilmu kepada mahasiswa dan sebagai orang yang berpengaruh besar terhadap nilai serta kelulusan mahasiswa menjadi alasan utama mengapa mahasiswa cenderung diam dan tidak berani menindak-lanjuti kejahatan yang dilakukan oleh pengajar.
Tidak ada alasan bagi korban pelecehan seksual untuk takut dalam mengabarkan pengalaman yang dialaminya. karena dengan bercerita dapat meningkatkan rasa kewaspadaan bagi perempuan lain ketika berhadapan dengan pelaku. Apabila ditinjau dari sisi psikologis, berbagi cerita dapat mengurangi beban psikis. Selain itu, penyintas juga akan mendapatkan saran dan pengawalan dari teman-temannya agar kejadian serupa tidak terjadi di masa yang akan datang. Sehingga, perlahan trauma yang didapatkannya dapat tereduksi.
Dimulai dari Gerakan #kitaAGNI Hingga Terwujudnya Keadilan Sosial bagi Perempuan
Rumitnya prosedur dalam mengungkap kasus pelecehan seksual, tidak adanya hukum yang secara jelas menjelaskan mengenai pelecehan seksual, serta masih adanya stigma buruk bagi korban merupakan problematika dalam menegakkan keadilan bagi penyintas.
Secara yuridis, pengesahaan RUU P-KS merupakan sebuah upaya yang harus sesegera mungkin dilakukan demi tegaknya keadilan sosial bagi perempuan. RUU P-KS sejatinya tidak berakar dari budaya barat mengenai kesetaraan gender yang dibawa oleh feminisme. Namun merupakan upaya dalam penerapan demokrasi budaya yang tertuang dalam tujuan bangsa Indonesia pada sila kelima Pancasila.
Terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia memiliki makna yang luas dan tidak berhenti dalam ranah politik dan ekonomi, namun juga dalam ranah budaya. Pelecehan seksual tidak seharusnya dianggap remeh, dan dianggap wajar dalam praktik kehidupan bermasyarakat. Kontruksi sosial yang cenderung patriarkis memengaruhi paradigma kita akan pelecehan sosial dan kedudukan antara laki-laki dengan perempuan yang timpang. Dan hal tersebut kita anggap sebagai sebuah kewajaran.
Upaya dalam membawa pelecehan seksual dalam ranah akademis, kemudian diperdebatkan secara dialektis, dan diaktualisasikan secara praksis merupakan tindakan yang harus kita lakukan bersama dalam memperjuangkan keadilan bagi perempuan. Meskipun Gerakan #kitaAGNI yang terjadi di UGM tidak secara konkrit berhasil dalam menegakkan keadilan bagi penyintas namun langkah tersebut perlu untuk diapresiasi.
Bermula dari gerakan tersebut, kini pelecehan seksual dalam lingkungan perguruan tinggi telah masuk dalam problematika serius yang perlu untuk diperhatikan. Hal tersebut berpengaruh pada kontruksi sosial banyak kampus di Indonesia untuk mulai bersuara dan mengungkap kasus-kasus pelecehan seksual yang terjadi.
Bunyi ‘alarm’ pelecehan seksual semakin keras disuarakan diberbagai elemen masyarakat. Banyak pihak dari berbagai macam kalangan turut bersimpati serta mendukung upaya dalam menegakkan keadilan bagi korban. Tentunya keadilan bukan berarti menyelesaikan masalah secara kekeluargaan, namun upaya dalam menegakkan hukuman bagi pelaku yang dapat memberikan efek jera agar pelaku dapat lebih berperilaku sopan terhadap perempuan.
Harapan untuk memberikan keadilan kepada perempuan bukanlah mimpi utopis belaka. Ketika hukum yang berpihak kepada penyintas telah berhasil disahkan di meja parlemen, dan diikuti oleh upaya edukasi oleh dan untuk masyarakat di semua elemen, yang tidak hanya bagi kaum intelektual saja, maka mimpi dalam mewujudkan Indonesia yang adil bagi perempuan dapat segera direalisasikan.