Mahasiswa telah menjadi bagian dari civil society yang dianggap menjadi satu-satunya lawan yang seimbang untuk melawan penguasa. Seimbang dalam arti mahasiswa dianggap tidak punya afiliasi dengan kelompok kepentingan manapun sehingga pergerakannya bisa dilakukan lebih luwes. Terutama terkait dengan dunia politik praktis yang syarat akan kepentingan para kaum elit.
Mahasiswa memang telah lama menjadi senjata untuk melawan rezim. Ini terbukti pada tragedi 1998 yang secara tidak langsung telah menggulingkan kekuasaan orde baru. Tapi anehnya sampai saat ini sikap heroik mahasiswa tidak pernah menjadi gerakan-gerakan baru yang revolusioner. Sebab mahasiswa kini hanya mengulang metode lama dan tidak terpikir untuk membuat sesuatu yang segar sekalipun zaman sudah banyak berubah.
Seperti gerakan demonstrasi yang sudah identik dengan gaya mahasiswa dengan turun kejalan sambil membawa spanduk tidak pernah berubah sejak 20 tahun terakhir. Padahal perlu ada penyegaran dalam pergerakan mahasiswa yang selaras dengan kemajuan zaman. Aksi demontrasi yang selama ini dilakukan sebagian besar tidak membawa perubahan yang signifikan selain untuk ajang eksistensi. Demo bisa jadi dilakukan secara berkala dan dilakukan pada hari-hari besar tertentu, tetapi sayangnya output yang dihasilkan sangat rendah.
Coba sebutkan seberapa persen tingkat keberhasilan mahasiswa dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah saat ini? Sangat kecil. Realitas sosial politiknya tidak sesuai harapan. Kenyataannya regulasi yang selama ini di proses oleh lembaga legislatif dan eksekutif kebanyakan tidak berdasar pada suara mahasiswa namun lebih dipengaruhi internal pemerintahan. Mahasiswa selama ini memang tidak dilibatkan dalam proses politik di pemerintahan meski suaranya sangat vokal.
Kesalahan bisa jadi datang dari pemerintah, namun tidak menutup kemungkinan jika mahasiswa juga perlu mengevalusi gerakan atau aksi yang selama ini sering dijalankan. Apakah aksi tersebut akan terus menerus dilakukan, berulang-ulang tanpa ada kepastian? Ataukah mahasiswa harus memutar otak, mencari langkah alternatif agar suara mahasiswa bisa kembali di perhitungkan? Ini merupakan evaluasi bersama.
Hal yang perlu di evaluasi bagi saya adalah tentang adanya perubahan zaman dimana setiap mahasiswa perlu sadar tentang adanya lintas generasi yang melesat jauh antara kini dan dulu. Ini menyangkut segala aspek, misalnya soal penggunaan teknologi informasi yang telah berkembang pesat, muncul digitalitasi dengan hadirnya internet beserta media online dan media sosial.
Jika mahasiswa di tahun 1998 sudah mengenal internet dan smartphone pastilah mereka juga akan memanfaatkannya sebagai media gerakan prioritas. Karena mereka pun akan mengerti bahwa menuntut suatu perubahan tidak melulu harus turun kejalan sambil bakar ban.
Sekarang ketika teknologi informasi sudah ada dalam genggaman, apa mahasiswa perlu menjadikan mahasiswa tempo dulu sebagai role model dengan segala keterbatasannya? Tentu tidak. Sebab dengan adanya teknologi informasi yang semakin maju, mahasiswa saat ini punya nilai tambah yang tidak dimiliki mahasiswa tempo dulu. Sudah sepatutnya gerakan mahasiswa difokuskan pada gerakan yang memanfaatkan produk digital sebagai media utama, bukan malah mengikuti metode lama yang jelas-jelas sudah tidak punya efektif lagi dalam mempengaruhi kebijakan.
Mahasiswa punya peluang lebih luas memanfaatkan internet untuk mengembangkan literasi yang selama ini sering diabaikan. Inovasi-ivovasi dalam pemanfaatkan media sosial sebagai media diskusi, pemberantasan hoax serta meningkatkan capaian mahasiswa tentang betapa pentingnya menuangkan gagasan lewat tulisan bagi saya kurang tersentuh.
Mahasiswa masa kini terlalu terbawa nostalgia dengan aksi demonstrasi mahasiswa di masa lalu yang hobi bawa-bawa spanduk, bakar ban, membuat macet jalan lalu pulang dengan perasaan bangga seolah sudah berbuat banyak untuk bangsa dan negara. Padahal melaksanakan kewajiban mahasiswa yang paling utama saja belum tentu dilaksanakan.
Kita bisa belajar pada mahasiswa tempo dulu pada aksi-aksi mereka, tapi bukan mengadaptasi mentah-mentah tanpa melihat situasi sosial saat ini yang mengalami banyak perubahan. Yang perlu dijadikan panutan dari mahaiswa tempo dulu seharusnya lebih letakan pada esensi dan semangat nasinalismenya terhadap negara.
Kini, teknologi informasi sudah disediakan dan kebebasan berpendapat sudah diwadahi oleh undang-undang. Apalagi lahirnya reformasi telah membuka keran kebebasan semakin luas. Jika saja pemanfaatkan internet dapat lebih dimaksimalkan dan sedikit demi sedikit meninggalkan gaya lama, saya meyakini bahwa mahasiswa bisa punya kontribusi yang lebih nyata.
Bila dijabarkan lebih mendalam, secara teknis pun, pemanfaatan internet bisa menekan cost yang harus dikeluarkan dalam beraspirasi. Sederhananya, demonstrasi pasti memerluarkan biaya. Berapa biaya yang harus dikeluarkan bermacam-macam. Yang jelas spanduk serta alat peraga demontrasi perlu dikeluarkan. Belum lagi harus membawa massa yang cukup banyak.
Yang tidak diharapan tentunya soal terganggunya akses jalan yang macet. Jika dibandingkan dengan produk internet yang sekarang ramai seperti penggunaan petisi online memang terasa sangat berbeda. Pembuatan sebuah petisi yang saat ini banyak dilirik orang-orang, cakupannya lebih luas. Bisa disebarkan tanpa mementingkan ruang dan waktu. Lebih dari itu, ada instagram, twitter atau facebook untuk membuka peluang publikasi yang lebih luas. Seiiring dengan itu, cepat atau lambat media mainstream pun akan menyorot gerakan itu dengan sendirinya.
Apa dengan begitu, aksi demonstrasi menjadi usang dan harus ditinggalkan? Tidak juga. Sesekali atau bahkan dalam aksi-aksi tertentu demonstrasi perlu dan harus dilakukan. Sebab ada beberapa aksi yang spiritnya lebih menekan dibandingkan aksi lewat digital. Hanya saja intensitasnya tidak dijadikan opsi utama.
Poin terpenting yang ingin saya sampai dalam tulisan ini adalah aksi mahasiswa tidak melulu mengutamakan demo sebagai senjata terakhir, tetapi mahasiswa perlu sadar pada pilihan-pilihan pergerakan yang lebih luas agar nantinya aksi-aksi mahasiswa tidak sekedar jadi seremonial belaka. Apalagi sampai jadi alat dari kaum elit untuk menggiring opini masyarakat. Tentu SBY pun akan merasa sedih, gundah gulana menuliskan curhatannya di Twitter.