“Awas… Bahaya defisit ngopi dan ngobrol” (Warkop Kopas)
Dunia mahasiswa memang penuh dengan dinamika dan problematika sosial, karena mahasiswa sebagai agent of change and agent of conrtrol sosial yang menjadi identitas mahasiswa. Tugas dan tanggung-jawab yang besar seperti ini menuntut mahasiswa untuk terus bergerak, lebih progress, dan peka terhadap persoalan sosial. Tuntutan semacam ini membuat mahasiswa harus mengubah pola hidup yang awalnya teratur menjadi lebih fleksibel terhadap keadaan yang ada. Tidak semua mahasiswa harus dan mau menanggung beban sosial seperti ini, banyak juga apatis terhadap realitas. Hanya saja ada beberapa kelompok mahasiswa yang terbentuk dalam suatu wadah gerakan yang mau mengambil tugas seperti ini.
Di kota pendidikan (Jogja) ini ada banyak sekali kelompok-kelompok gerakan mahasiswa yang berbeda bendera, ideologi, dan orientasi gerakan, tapi tetap dalam satu tujuan yaitu; mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Meskipun terkadang perbedaan pandangan tersebut membuat kelompok mahasiswa tersebut tidak bisa bergandengan tangan menuju cita-cita yang di inginkan, tapi hal tersebut adalah sebuah keniscayaan dan sebatas cara dalam mengimplementasikan gagasan.
Namun ada hal yang menarik untuk ditelisik terkait dengan pola hidup mahasiswa gerakan, yaitu kebiasaan ngopi yang sudah menjadi rutinitas wajib. Bahkan tak jarang waktu ngopi jauh lebih sering intensitasnya daripada waktu kuliah. Karena menurut sebagian besar mahasiswa gerakan, ngopi itu jauh lebih baik daripada duduk di kelas mendengarkan celotehan dosen yang tidak bermutu. Sebab ngopi adalah tidak sekedar nyeruput (minum) kopi di cangkir, tapi lebih dari itu adalah mendiskusikan segala hal dari seluruh penjuru dunia sampai hal-hal sederhana seperti keadaan kampus saat ini.
Rutinitas mahasiswa gerakan yang semacam ini juga didukung oleh banyaknya warung kopi yang tersedia hampir di setiap sudut kota jogja. Dari yang harganya selangit sampai yang bersahabat juga ada. Khusus di sekitaran UIN, banyak warung kopi yang melegenda seperti; Blandongan, Kebun-laras, dan tak lupa Mato di sekitar selokan mataram yang menjadi tempat kongkow dan diskusi bersama.
Selain harganya yang bersahabat, situasi dan kondisinya pun juga mendukung untuk duduk-ngopi-diskusi sampai berjam-jam lamanya. Bahkan warung kopi sudah menjadi kampus kedua yang menjadi sumber pengetahuan bagi mahasiswa gerakan. Diakui atau tidak, banyak mahasiswa gerakan yang merasakan manfaat dari adanya gerakan tersebut. Karena gerakan tidak seperti ruang kelas yang tertutup dan adanya otoritas dosen yang mengekang. Di gerakan, mahasiswa bebas mempelajari apa saja karena tidak adanya otoritas yang mengekang dari dan oleh siapa pun, semuanya bebas dan setara satu sama lain.
Terlebih dari apa yang saya jelaskan diatas, keberadaan gerakan turut berkontribusi dalam terbentuknya gagasan-gagasan serta tindakan yang akan dilakukan untuk melakukan perubahan sosial. Meminjam pemikiran Jurgen Habermas tentang ruang publik, bahwa ruang publik adalah ruang dimana individu satu dan lainnya dapat saling berinteraksi secara sadar tanpa ada intervensi dari dan oleh siapa pun. Dalam hal ini, gerakan menjadi salah satu wujud ruang publik yang keberadaannya sangat vital bagi tersedianya ruang-ruang interaksi yang bebas dan mampu diakses oleh siapa pun tanpa terkecuali. Sebab hari ini kampus yang idealnya menjadi habitat mahsiswa, malah menjadi ruang-ruang intervensi bagi mahsiswa. Serta parahnya lagi adalah mahasiswa semakin terpinggirkan dari kehidupan kampus yang penuh aturan dan tekanan. Dunia kampus semakin tidak asik, sejauh ia tidak menjadi ruang-ruang ideologis apalagi sebagai ruang publik.
Dunia kampus tak ada bedanya dengan sebuah peternakan atau sebuah penjara dalam kaca. Mahasiswa umumnya hanya diajarkan untuk melihat realitas buta tanpa mengarahkan untuk menjangkau realitas tersebut. Belum lagi beberapa kampus negeri maupun swasta telah memberalakukan jam malam kampus yang itu memotong kaki gerakan mahasiswa untuk memanfaatkan kampus demi mengembangkan minat bakat, kecerdasan, dan aktivitas lainnya yang mengarah pada pengembangan kapasitas dan kapabilitas mahasiswa.
Kondisi kampus semacam ini jauh berbeda dengan gerakan yang hampir menyediakan segala macam bentuk kebutuhan mahasiswa yang itu tidak didapat di kampus. Disinilah peran dan pentingnya keberadaan gerakan bagi mahasiswa khususnya insan gerakan yang banyak beraktifitas di gerakan. Satu-satunya bentuk nyata dari ruang publik adalah gerakan.
Selain daripada ngopi, diskusi, dan ngerjain tugas, gerakan juga sering digunakan sebagai tempat konsolidasi gerakan dalam menyikapi persoalan yang ada. Gerakan juga menjadi tempat dimana setiap perbedaan dari berbagai kelompok mahasiswa gerakan dapat dipertemukan dalam satu tempat dan waktu yang sama. Ketika ada kebijakan pemerintah pusat yang itu diangap tidak berpihak pada kepentingan dan kemaslahatan rakyat banyak, seluruh kelompok mahasiswa gerakan mendiskusikan persoalan tersebut dan mengkonsolidasikan gerakan untuk mengumpulkan kekuatan dalam rangka melakukan tuntutan dan demonstarasi.
Namun fenomena baru muncul sebagai perubahan sosial yang sedang terjadi. Akhir-akhir ini warung kopi tidak lagi digunakan oleh mahasiwa sebagai ruang publik yang membebaskan individu maupun kelompok seperti yang dijelaskan di atas. Ngopi sudah menjadi sebuah rutinitas yang disorientasi yang hanya sekedar mengikuti trend atau gaya hidup semata. Banyak mahasiswa yang nongkrong di warung kopi hanya sebatas mengisi waktu luang dan menjadi tempat nongkrong sepasang muda-mudi di akhir pekan.
Banyak juga mahasiswa yang ngopi karena terkena dampak dari film filosofi kopi yang sukses menarik banyak penonton. Kebanyakan mereka yang ngopi hanya sekedar ingin terlihat keren, mengikuti zaman, dan sebatas gaya hidup. Esensi dari ngopi ini perlahan memudar seiring dengan menurunnya intensitas diskusi di warung kopi.
Padahal sebagai ruang publik alternatif, warung kopi dan kebiasaan ngopi ini idealnya dijadikan sebagai tempat pembelajaran kedua selain kampus. Intensitas nongkrong biasa sambil berchanda maupun sebagai tempat pacaran harusnya diimbangi dengan menjadikan ngopi sebagai rutinitas yang mendidik dan berpengetahuan. Jika aktivitas di warung kopi sudah disorientasi, maka tak ada harapan lagi bagi mahasiswa yang memiliki identitas dan tanggung-jawab sosial untuk merubah atau penengah dari kebijakan pemerintah yang keliru.
Harus diluruskan kembali bahwa, ngopi bukanlah aktivitas tetapi beraktivitaslah di warung kopi. Karena tidak sedikit juga mahasiswa pada umumnya menjadikan ngopi sebagai aktivitas yang itu tidak memiliki tujuan yang jelas dan hanya menghambur-hamburkan uang semata.