Minus mallum atau Lesser evil adalah istilah yang lazim kita dengar kala menjelang pemilihan umum di Indonesia. Teori ini biasanya didengungkan untuk menjinakkan gelombang masyarakat yang tidak memilih calon pelayan masyarakat karena tidak memenuhi tolok ukur keluhuran politik atau tidak peduli sama sekali. Gelombang masyarakat ini kerap disapa sebagai Golongan Putih (Golput).
Golput adalah sebuah keniscayaan yang tak terhindar dari dinamika demokrasi Indonesia. Keberadaannya secara diksi sudah menubuh dari sejak zaman Orde Baru bahkan sampai hari ini kata seolah masih memiliki daya yang mematikan bagi para politisi di Indonesia. Perlu dipahami bahwa Golput secara umum terbagi dua ciri yakni Golput yang memang ia apatis dengan politik Indonesia sehingga ia memanfaatkan hari libur untuk santai-santai lalu Golput yang memiliki basis objektivitas yang kuat sehingga memiliki kekritisan yang tajam terhadap negara.
Belum lama ini, sebagian publik penikmat kolom opini di sebuah Koran nasional dibuat geger akal karena seorang mantan Guru Besar filsafat yaitu Franz Magnis Suseno menulis artikel tentang Golput dengan bahasa yang lugas dan menohok.
Teori yang dipakai oleh Magnis adalah teori yang lazim yakni soal memilih lesser evil di antara calon yang kemungkinan buruknya besar. Menarik dalam artikel itu ia membeberkan tiga kemungkinan atas orang yang memilih untuk tidak memilih yakni bodoh, benalu dan mental tak stabil.
Alhasil, ini artikel ini memunculkan kegegeran dalam ruang publik karena ia memakai diksi yang menampar tiap pihak yang berniat Golput. Selain itu, artikel itu menjadi rujukan etis bagi kubu pendukung salah satu calon untuk menyudutkan kubu yang abai dengan pemilihan presiden baik secara kritis maupun apatis.
Alhasil, tulisan Magnis menuai kontroversial di beberapa kalangan khususnya di kelompok Golput yang kritis karena artikel ini secara tak langsung menolak prinsip kebebasan dalam demokrasi. Bagi kalangan kritis pun moralis, Golput adalah sebuah sikap politik yang lahir dari hak warga negara maka keberadaannya tak dapat dijegal oleh hukum maupun moral sehingga memiliki keabsahannya secara konstitutif.
Selain itu, ada juga yang menganggap artikel ini sebagai upaya ajakan terselubung untuk memilih salah satu calon presiden yang memiliki sedikit sisi jahat karena ia melawan calon presiden yang sepenuhnya jahat. Paling tidak, dua tudingan itu yang umum dibicarakan oleh sebagian orang dalam ruang publik hari ini.
Tumit Achiles dalam Politik Indonesia
Golput secara historis merupakan ungkapan kritis terhadap rezim Orde Baru saat pemilihan umum 1971 yang merupakan pemilu pertama dalam rezim Orde Baru. Gerakan kritik ini dimotori oleh Arief Budiman beserta pemuda, mahasiswa, dan budayawan dan lain-lain yang protes terhadap pembatasan partai politik dan kewajiban pegawai negeri sipil untuk mencoblos Golongan Karya (Golkar).
Awalnya golput tidak terlalu dianggap sebagai ancaman dalam kancah politik Indonesia, namun angggapan itu menjadi batal karena golput telah menjelma hantu abadi sekalipun Orde Baru sudah tumbang. Ia kerap mengalami pertumbuhan yang siginifikan dalam indeks pemilu Indonesia dari masa ke masa. Sampai hari ini pun, golput masih menjadi hantu yang bergenteyangan seolah menegur para penguasa yang lalim dan zolim.
Akan tetapi, sekalipun mengalami peningkatan yang terus menanjak, golput sebagai gerakan kurang memberikan interupsi secara signifikan terhadap dinamika politik Indonesia. Di era Orde Baru, sekalipun keberadaan golput secara politis menohok bagi para politisi nyatanya mandul secara politik kewargaan. Tetap saja pemenang mutlak dalam pemilu adalah Golkar. Golput itu seakan seperti tumit Achiles, memiliki tubuh yang kuat namun tetap memiliki kelemahan yang siginifikan di tumitnya.
Pada kenyataannya, Golput hari ini minus politik kewargaan dalam artian, masyarakat masih belum terlibat aktif dalam dinamika politik Indonesia. Sebagian besar masyarakat menganggap partisipasi politik warga hanya ada di pemilihan umum yang lima tahun sekali, maka ketika hendak menyongsong pemilu sebagian warga antusias karena mereka merasa akan melibat dalam politik yang asing itu.
Padahal, politik itu bukan hanya sekedar pemilihan tetapi lebih luas dari itu seperti demonstrasi di jalan, mengkritisi negara lewat media sosial, berdiskusi di kantor tentang naiknya harga telur, membicarakan tentang guru yang malas mengajar dan lain yang terkait dengan kehidupan sosial. Akan tetapi, sebagian masyarakat belum sampai pada kesadaran itu, buktinya masih terdapat pandangan sinis dalam masyarakat terhadap demonstrasi yang dianggap membuat macet jalan atau menganggap kritik sebagai hinaan atau celaan terhadap negara.
Ini menandakan bahwa sebagian masyarakat masih bias dalam politik sehingga keberadaan golput kritis cenderung ditolak bahkan dianggap sebagai benalu. Politik kewargaan adalah kesadaran warga negara untuk melibat dalam ruang publik dengan kritisisme guna menjaga demokrasi dari rangsekan dominasi tertentu.
Ini menjadi tugas berat kelompok golput kritis untuk menumbuhkan kesadaran ini kepada masyarakat bahwa mereka sebagai warga negara yang kritis untuk menggulirkan demokrasi sehingga negara berguna bagi seluruh lapisan masyarakat, bukan malah menjadi loyalis salah satu citra politik yang populis secara tak resmi. Justru, tindakan idolik minus kritisisme terhdap negara adalah tindadakan yang lebih merugikan demokrasi yang kita cita-citakan daripada golput.
Hari-hari ini, masyarakat kita telah tersegmentasi sebagai cebong, kampret dan pemilih mengambang, seharusnya ini menjadi kesempatan Golput untuk hadir sebagai corong politik kewargaan bukan malah menjadi ruang tersendiri seperti kubu-kubu tadi. Golput tanpa politik kewargaan adalah kesia-siaan yang nahas dan nestapa secara intelek.
Minus Malum adalah Kemungkinan?
Akhirnya, lesser evil mungkin masih menjadi mungkin bahkan niscaya sebagai bentuk politik kewargaan sekalipun periodik. Karena, keterlibatan aktif masyarakat dalam politik masih minim sekali atau mungkin disengaja minim melibat politik.
Oleh sebab itu, kenyataan ini mungkin mendorong Magnis untuk mengulang teori ini karena masyarakat masih terasing dengan politik elit pun kewargaan sehingga diperlukan jalan tengah untuk meretas kebuntuan politik dalam masyarakat sekalipun calon-calon yang tersedia adalah iblis sepenuhnya. Minus mallum selamanya akan relevan bila politik kewargaan masih menjadi kelangkaan dalam publik Indonesia.
Oleh sebab itu, kelompok kritis seperti golput perlu menjaga diri dari rangsekan identitas eksklusif atau populisme agar ia tidak berakhir menjadi segmen statis-loyalis seperti cebong dan kampret, tetapi diperlukan dinamika agar tak melulu menggaungkan lesser evil melainkan totally evil, maka perlu menjaga demokrasi dengan nalar-kritis warga negara yang melibat. Politik kewargaan adalah sebuah keharusan hari-hari ini.***