Keadilan sosial merupakan cita-cita utama yang tertera jelas dalam Pancasila, khususnya pada sila kelima: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Namun, meskipun terwujud dalam prinsip dasar negara, praktik keadilan sosial di Indonesia masih jauh dari harapan. Salah satu faktor utama yang menghalangi tercapainya keadilan sosial adalah adanya mafia hukum yang memiliki kekuatan yang tersembunyi namun nyata, yang merusak sistem hukum dan menciptakan paradoks dalam penegakan keadilan.
Mafia hukum mengacu pada praktik-praktik korup dalam sistem peradilan, yang melibatkan aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim, pengacara, hingga oknum di lembaga pengawas. Mereka tidak hanya memanipulasi hukum, tetapi juga menjadikannya sebagai alat untuk kepentingan kelompok tertentu, terutama mereka yang memiliki kekuasaan dan kekayaan. Fenomena ini menimbulkan ketidakadilan struktural yang menghambat akses keadilan bagi banyak orang.
Yang paling ironis adalah hukum, yang seharusnya melindungi rakyat, justru sering kali menjadi alat untuk menekan mereka. Banyak kasus di mana masyarakat kecil dikriminalisasi karena mempertahankan hak mereka, seperti tanah yang diambil paksa atau menolak tambang yang merusak lingkungan. Sementara itu, para pelaku kejahatan besar seperti korupsi atau pelanggaran hak asasi manusia sering kali bisa lolos dari hukuman ringan atau bahkan bebas tanpa hukuman.
Kasus Suap yang Terungkap
Pada 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan terhadap dua hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), yaitu Iswahyu Widodo dan Irwan, serta panitera pengganti Muhammad Ramadhan. Mereka terbukti menerima suap dari pengacara Arif Fitrawan dan pengusaha Martin P. Silitonga untuk mempengaruhi putusan perkara perdata terkait pembatalan perjanjian akuisisi antara PT Citra Lampia Mandiri dan PT Asia Pacific Mining Resources. Suap yang diterima mencapai Rp150 juta dan SGD 47.000. Uang tersebut diberikan agar hakim memberikan perhatian lebih pada perkara ini dan diambil keputusan yang menguntungkan pihak yang menyuap.
Pada tahun 2025, Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, juga dijadikan tersangka dalam kasus dugaan suap terkait putusan perkara korupsi yang melibatkan pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO). Arif diduga menerima uang suap sebesar Rp60 miliar dari tersangka MS dan AR, dua advokat yang terlibat. Suap ini diberikan melalui Wahyu Gunawan, seorang panitera muda di PN Jakarta Utara yang merupakan orang kepercayaan Arif, untuk mempengaruhi putusan dengan menjatuhkan keputusan pembebasan dari segala tuntutan hukum.
Dampak terhadap Integritas Peradilan
Kasus suap ini menunjukkan bahwa praktik suap dalam dunia peradilan bukanlah hal baru, melainkan sebuah masalah lama yang belum berhasil diberantas. Ketika hakim, yang seharusnya menjadi penjaga keadilan, terlibat dalam praktik semacam ini, maka kepercayaan publik terhadap sistem peradilan akan terkikis. Masyarakat akan mulai meragukan integritas lembaga peradilan, karena putusan-putusan hukum yang dijatuhkan bukan lagi berdasarkan pada kebenaran dan keadilan, melainkan berdasarkan pada transaksi tersembunyi dan kepentingan pribadi.
Selain itu, kasus ini juga menyoroti adanya mafia hukum yang terorganisir. Praktik suap ini melibatkan banyak pihak, dari hakim hingga panitera pengganti yang berperan sebagai perantara. Hal ini menunjukkan bahwa mafia hukum telah menjadi bagian dari sistem yang mapan di dalam beberapa kalangan peradilan, memperburuk ketimpangan dalam penegakan hukum.
Paradoks Keadilan Sosial di Indonesia
Inilah paradoks keadilan sosial yang terjadi di Indonesia. Negara yang mengagungkan hukum dan keadilan justru kerap kali menghadirkan ketidakadilan dalam praktik penegakan hukumnya. Hukum diperdagangkan, kebenaran dinegosiasikan, dan keadilan dikompromikan demi kepentingan elite. Ketidaksetaraan ini merusak harapan masyarakat akan adanya keadilan yang seharusnya diberikan oleh negara.
Mafia hukum bukan hanya masalah individu yang tidak bermoral, tetapi juga masalah yang bersifat sistemik. Dalam banyak kasus, praktik mafia hukum didukung oleh budaya impunitas, lemahnya pengawasan, kurangnya transparansi, dan ketidaktegasan dalam penindakan. Bahkan meski satu atau dua pelaku dapat diproses hukum, akar permasalahan yang menyebabkan praktik ini terus berkembang tetap tidak terjamah. Reformasi kelembagaan yang sejati masih sangat dibutuhkan.
Solusi untuk Mengatasi Mafia Hukum
Dampak keberadaan mafia hukum sangat luas. Selain merusak kepercayaan publik terhadap sistem hukum, mafia hukum juga memperdalam ketimpangan sosial. Rakyat miskin semakin tak berdaya, sementara mereka yang kaya dan berkuasa semakin leluasa. Keberadaan mafia hukum juga memperlemah upaya pemberantasan korupsi, perlindungan terhadap hak asasi manusia, dan penegakan hukum yang berpihak pada rakyat.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan reformasi yang menyeluruh. Mulai dari rekrutmen aparat penegak hukum yang transparan dan berintegritas, penguatan sistem pengawasan yang independen, hingga pemberdayaan masyarakat sipil untuk mengawasi jalannya proses hukum. Keterbukaan informasi publik, perlindungan terhadap pelapor kasus mafia hukum, serta dukungan terhadap media yang berani mengungkap kasus-kasus semacam ini juga sangat penting.
Namun, perubahan tidak hanya bisa datang dari atas. Tekanan publik sangat diperlukan. Rakyat harus terus kritis dan menuntut perubahan. Hukum harus kembali pada fungsinya yang asli sebagai alat keadilan, bukan sebagai alat untuk memperkuat kekuasaan.
Keadilan sosial bukan hanya sekadar ucapan dalam pidato, melainkan sesuatu yang harus diwujudkan dengan sistem hukum yang bersih, adil, dan berpihak pada kebenaran. Selama mafia hukum masih ada, keadilan sosial akan terus menjadi paradoks yang tak kunjung terwujud dalam kehidupan rakyat Indonesia.