Dalam kajian Ilmu Politik, nama Nicollo Machiavelli dipandang sebagai penggagas teori politik modern. Tentu hal tersebut sangat beralasan, mengingat posisi Machiavelli yang secara tegas memisahkan antara negara dan sumber moral (dalam hal ini agama). Sudah barang tentu, posisi teoretis Machiavelli tersebut menebarkan semangat renaissance (pencerahan), dan dapat diartikan merupakan perlawanan yang nyata atas dominasi gereja pada abad pertengahan.
Dalam buku History of Political Theories yang ditulis oleh Dunning, yang saya kutip dari prolog buku the Prince (edisi bahasa Indonesia, 2008), dikatakan bahwa pemikiran Machiavelli benar-benar “menyimpang” dari “sistem lama” yang diterima oleh teori politik sebagai kebenaran.
Akan tetapi, nama Machiavelli bukan hanya dianggap sebagai pelopor teori politik modern, kata Machiavelli pun seringkali mengandung arti pejoratif. Salah satu contohnya, sebagaimana yang diungkapkan dalam The American Heritage Dictionary, yang saya kutip dari George Klosko dalam buku History of Political Theory: An Introduction (2013) yang mendefinisikan machiavllian sebagai “political doctrine , which denies the relevance of morality in political affairs and holds that craft and deceit are justified in pursuing and maintaining political power”.
Tidak hanya dalam The Amaricam Heritage Dictionary, George Klosko (2013) pun mencatat banyak referensi yang mengasosiasikan ajaran Machiavelli dengan nafsu kekuasaan dan pembenaran tipu muslihat untuk mengejar dan mempertahankan kekuasaan politik.
Munculnya pengertian Machiavellian dalam arti pejoratif ini, tidak bisa dilepaskan karena risalah the Prince yang ditulis oleh Machiavelli. Akan tetapi, saya berpandangan bahwa ada kekurang tepatan dalam memahami karya Machiavelli tersebut.
Pertama, dalam bagian awal risalah the Prince tersebut, yang diberi judul dengan terjemahan “Nicollo Machiavelli untu Lorenzo The Magnificent Putra Piero di Medici”, maka nampak jelas risalahnya tersebut ditujukan untuk penguasa Florenaia. Machiavelli menulis “dengan ketekunan sepenuhnya, saya telah lama merenungkan dan mecermati tindakan-tindakan Yang Mulia, dan kini saya sampaikan hasil di dalam suatu pedoman jilid kecil. Saya anggap karya ini tidak berharga bagi Yang Mulia, namun saya percaya tuan akan menerimanya”.
Oleh sebab itu, yang ingin saya sampaikan, akan lebih tepat bila memahami risalah The Prince tersebut dengan memperhatikan zeitgeist (jiwa zaman) atau kondisi sosial politik saat Machiavelli menulis pemikirannya tersebut. Perlu kita ketahui, Florensia, merupakan wilayah kecil yang setiap saat eksistensinya bisa terancam oleh impereium besar.
Bila kita memahami kondisi sosial politik di Florensia, maka kita akan memahami psikologis Machiavelli saat menulis risalahnya tersebut, yang lebih mengutamakan dan menekankan stabilitas pemerintahan dan atau sosial politik, yang bahkan untuk itu, terkesan “menghalalkan” cara-cara kediktatoran, karena stabilitas pemerintahan inilah yang menjadi salah satu modal utama untuk mempertahankan wilayah Florensia yang setiap saat bisa diekspansi oleh imperium besar.
Poin keduanya, The Prince sama sekali tidak merepresentasikan pemikiran politik Machiavelli secara kesuluruhan. Machiavelli menulis karya-karyanya yang lain, dan salah satu yang terpenting adalah Diskursus.
Peter Bondanella dan Mark Musa berpendapat, sebagaimana yang dikutip oleh Robertis Robert dan Hendrik Boli Tobi dalam buku Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan (2017), bahwa Machiavelli memang mudah disalahpahami, terutama atas karya kontroversialnya yakni IL Principe (The Prince) (ditulis sekitar 1513).
Orang lupa bahwa The Prince ditulis sebagai anjuran bagi pemimpin dalam konteks historis yang spesifik, yakni negara republik yang sedang berada dalam ancaman kejatuhan akibat berbagai rongrongan: ancaman penjajahan dari Spanyol, Prancis, invasi kaum “barbar”, intrik kekuasaan gereja, kebusukan para bangsawan, dan korupsi yang merajarela.
Padahal, bila kita membaca pemikiran Machiavelli secara tertib, sebagaimana yang juga dikatakan oleh Robertus Robert dan Hendrik Boli Tobi (2017), inti ajarannya adalah tentang kebebasan dan penekanannya pada vivere politico, politik yang hidup dalam praktik dan pikiran manusia.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan ketika Machiavelli mengkritik dengan keras praktik pemerintahan yang tiran, oligark, dan sebagainya, karena pemerintahan tersebut tentu dapat menjadi penghalang kebebasan dan menghambat vivere politico. Machiavelli, sebagaimana yang diungkapkan oleh Maurizio Viroli dalam How to Read Machiavelli (2008), berpandangan bahwa kebebasaan merupakan nilai tertinggi dan paling berharga dalam politik.
Maurizio Viroli (2008) menulis “liberty is for Machiavelli the highest and most precious political value. In full agreement with classical republican political theory, and with Florentine republicans in the Quattrocento, he understood political liberty as absence of domination. Individuals are free, in his view, when they are not depedent on a tyrant or an oligarchy that imposes its arbitary will”.
Lebih lanjut, Viroli menjelaskan “For Machiavelli political liberty is incompatible with monarchical or pricely government because subjects are precluded from participation in souvereign deliberations and the appointment of magistrates”.
Dengan kata lain, apa yang dikemukakan oleh Viroli tersebut menunjukkan posisi Machiavelli sebagai seorang republikan, yang menekankan arti penting kebebasaan, yang didefinisikan sebagai ketiadaan dominasi, dan hal tersebut tidak akan dimungkinkan dalam pemerintahan tiran, monarki dan sebagainya.
Relevansi Machiavellian dalam Konteks Politik Indonesia
Bagi saya, masih ada pemikiran dari Machiavelli yang relevan untuk menyikapi permasalahan dalam politik Indonesia. Pertama, yakni soal pandangan Machiavelli yang menekankan bahwa politik adalah persoalan akal budi. Tentu bila kita menerapkan etikalitas republikan Machiavelli ini, akan sejalan dengan semangat demokratisasi, yang bisa dikatakan sukses, salah satunya ketika diikuti dengan tumbuhnya penalaran publik. Etikalitas Machiavelian relevan untuk mengikis sentimentalisasi isu-isu SARA. Pengembangan etika Machiavelian, akan mendukung politik programatik yang diandaikan dalam ideal demokrasi.
Keduanya, Machiavelli pun sudah menentang keras praktik korupsi. Bagi Machiavelli, korupsi membahayakan sebuah republik, karena akan menghambat atau merusak common good (kehidupan baik bersama). Sementara kita tahu, korupsi menjadi salah satu permasalahan utama sepanjang sejarah beridirnya republik ini.
Ketiganya, praksis politik kita hari ini diidentikan dengan pengejaran kepentingan-kepentingan privat, tentu ini tidak sejalan dengan semangat republikan, yang mengandaikan politik sebagai “yang publik” dan seharusnya diaktualisasikan untuk mewujudkan common good (kehidupan baik bersama).