Belum lama ini, Prof. Mahfud MD menjadi sasaran bully yang dilakukan oleh masyarakat dari berbagai tingkatan. Hal tersebut terjadi setelah beliau melontarkan kalimat provinsi garis keras yang meramaikan jagat media sosial karena ketidakterimaan pihak-pihak yang menolak pendapat yang disampaikan Prof. Mahfud.
Penolakan terhadap Prof. Mahfud jelas berasal dari kelompok pendukung pasangan capres-cawapres 02. Karena, yang menjadi sasaran “tembak”nya ialah kelompok tersebut. Dimana beliau mengemukakan bahwa daerah yang dimenangkan oleh capres Prabowo dulunya dianggap provinsi garis keras. Namun, ketidakterimaan pihak-pihak yang merupakan pendukung capres 02 justru mengarahkan pada sikap mem-bully. Hal tersebut salah satunya dipaparkan dengan menggambarkan beliau sebagai seseorang yang tidak mengerti sejarah.
Setelah ramai dibahas, akhirnya Prof. Mahfud melakukan klarifikasi terhadap pernyataannya dengan menjelaskan tentang makna garis keras yang di ucapkannya. Lewat akun twitternya Prof Mahfud menjelaskan:
“Di dalam term ilmu istilah hard liner diartikan, ‘sikap kokoh, tidak mau berkompromi dengan pandangan yang dianggapnya tidak sejalan dengan prinsipnya’. Itu tertulis di literatur-literatur. Tapi bagi yang beda paham saya minta maaf. Maksud saya mengajak rekonsiliasi, bersatu, kok malah berpecah. Itu tidak bagus,”
Dari penjelasan diatas, sebenarnya menggambarkan orientasi Prof. Mahfud untuk mengajak rekonsiliasi pasca pilpres yang menimbulkan kegaduhan di jagad media sosial. Namun, kalimat provinsi garis keras yang diucapkannya justru lebih mencolok sehingga membuka aliran keributan baru yang masih menjadi bagian dari masalah kompetisi dalam pemilu.
Hal demikian terjadi tidak semata-mata hanya karena pernyataan garis keras yang bagi masyarakat mengandung konotasi negative, melainkan peru kita sadari bahwa sebelum seorang tokoh yang muncul dihadapan publik menyampaikan sesuatu, maka sebelumnya kelompok yang berada di pihak seberangnya akan mengidentifikasi terlebihd dahulu dengan prasangka tentang haluan politik tokoh yang mengucapkan sesuatu tersebut. Sebab, suatu kompetisi –pilpres- akan melahirkan prasangka terhadap kelompok lain, apalagi yang dapat menurunkan citra baik bagi kelompoknya.
Prasangka sebagai sikap yang melibatkan emosi dan perasaan negative, pada dasarnya akan melahirkan stereotipe pada seseorang. Sehingga apapun yang disampaikan oleh seseorang yang telah dilekati stereotipe akan sulit diterima sebagai sebuah kebenaran. Sama halnya dengan ungkapan kitab suci sebgai fiksi yang sebelumnya diungkapkan oleh Rocky Gerung.
Jika Rocky Gerung mengucapkan kitab suci sebagai fiksi dipermasalahkan oleh pendukung kubu 01, maka begitu pula yang terjadi pada Prof. Mahfud yang dipermasalahkan pula oleh pendukung kubu 02.
Sebab, mereka telah dilekati dengan asumsi awal tentang haluan politik mereka. Hal tersebut jelas mengakibatkan penolakan, sebab masyarakat termasuk kelompok elite yang kokoh mendukung capres pilihannya secara otomatis akan membentengi kelompok mereka untuk menutupi diri dari hal-hal yang berasal dari luar kelompoknya.
Jadi, ketika Prof. Mahfud melakukan klarifikasi dengan mejelaskan bahwa kalimat “garis keras” bukanlah kalimat yang berkonotasi negative, maka hal tersebut seolah-olah tidak ada artinya. Bahkan setelah beliau meminta maaf kepada publik yang berbeda pendapat dengannya, hal tersebut ditanggapi secara angkuh dengan tulisan seperti yang dimuat di Qureta.com dengan judul “Memaafkan Mahfud MD” yang seolah-olah memaafkan namun lebih bernuansa menyindir dan mem-bully.
Permintaan maaf dari beliau ditanggapi dengan sikap memaafkan yang secara tidak sadar menggeser kita pada sikap angkuh. Dimana rasa seolah-olah kebenaran dan pemahaman -dalam hal ini sejarah dan konteks kalimat tersebut- berada di pihak kita. Sementara Prof. Mahfud adalah si kerdil dalam ilmu sejarah, jauh dibawah kita.
Prof. Mahfud merupakan tokoh yang sebenarnya merupakan korban dari ketidakpahaman masyarakat terhadap term sesuatu dan korban dari eksklusivitas masyarakat terhadap hal-hal yang berasal dari luar kelompoknya.
Namun, dari kasus tersebut kita perlu menahan diri dalam mengucapkan suatu term tertentu. Sebab, kemampuan masyarakat dalam memahami sesuatu sangat beragam. Term politik yang diungkapkan oleh beliau lebih tepat diucapkan di forum akademik yang tertutup. Bukan di ruang publik yang diakses oleh masyarakat dari berbagai tingkatan.
Maka, wajar jika masyarakat banyak yang salah secara akademik memahami ucapan beliau. Ditambah dengan suasana kompetisi yang tegang antara kedua kubu sehingga memperlicin laju gesekan yang terjadi. Akan tetapi, kita tetap perlu menyadari hakikat diri kita sebagai warga negara, apapun pilihan politik kita, sebisa mungkin percikan hal yang dapat menyebabkan ketegangan perlu kita redam.
Pada saat tertentu, seharusnya kita belajar untuk melepaskan diri dari kepentingan politik, kita tetap perlu membuka diri untuk menerima kebaikan dan menekan rasa “kami” dalam kelompok. Apalagi, beliau dengan jelas memberikan klarifikasi dan penjelasannya. Hal tersebut menggambarkan perbedaan pemahaman yang sebenarnya niscaya.
Jika pemahaman seseorang terhadap suatu hal berbeda dengan pemahaman kita, maka kita dapat mendebatnya atau menerima keniscayaan dalam perbedaan pandangan. Sementara sikap seolah-olah membesarkan diri dengan mem-bully apalagi tanpa memberi sudut pandang lain sebagai tandingan justru menunjukkan eksklusifitas kita terhadap perbedaan. Pada akhirnya, Prof. Mahfud dengan kesadarannya telah meminta maaf kepada publik secara terbuka. Sementara kita, kapan akan belajar memendam keangkuhan kita?