Pandemi Covid-1919 memaksa masyarakat berkegiatan di rumah dengan harapan mereka dapat terhindar dari penyakit yang bisa menimpanya. Asumsinya, rumah merupakan tempat yang paling aman di tengah pandemi. Tetapi bagaimana dengan mereka yang memiliki pasangan yang abusive?
Rumah yang diasumsikan aman dari infeksi virus justru menjadi neraka baru bagi mereka yang mengalami kekerasan. Bagaikan lari dari kandang macan masuk ke kandang buaya. Miris memang, tapi inilah realita yang terjadi di Indonesia.
Menurut SIMFONI PPA, Sistem Informasi Online yang dikelola oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA), sepanjang masa pandemik Covid-19, terjadi peningkatan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Bahkan dalam dua bulan terakhir antara 2 Maret-25 April 2020, terdapat 275 kasus kekerasan yang dialami perempuan dewasa dan 368 kasus kekerasan yang dialami anak
Di sisi lain, jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia semakin hari juga mengalami peningkatan. Sampai tulisan ini dibuat (12/5), jumlah positif Covid-19 di Indonesia sebanyak 14.749 orang. Pun tiap harinya penambahan kasus positif Covid-19 terus meningkat. Misalkan, dari tanggal 10 ke 11 terjadi penambahan 233 kasus, sedangan dari tanggal 11 ke hari ini (12/5), terjadi penambahan 484 kasus.
Jumlah kasus positif Covid-19 19 yang tak kunjung menurun ini menunjukkan pandemik Covid-19 di Indonesia belum mencapai puncak, dan masih akan terus meningkat dalam waktu dekat. Hal ini mengindikasikan tidak saja darurat kesehatan akan terus berlanjut, tetapi juga darurat KDRT. Pasalnya semakin lama pandemi ini berlangsung semakin lama PSBB berlaku, sekaligus juga semakin besar potensi KDRT.
Untuk menanggulangi Covid-19 dan menyokong sektor lain yang terimbas, pemerintah menggelontorkan dana sebanyak Rp. 405,1 triliun dari belanja APBN. Dana yang fantastis, dan merupakan yang terbesar dalam sejarah penanganan bencana nasional di Indonesia. Namun apakah dengan Rp. 405,1 triliun pemerintah dapat menangani Covid-19 sekaligus membantu para korban kekerasan domestik?
Perlu kebijakan yang sensitif gender
Gender Responsive Budgeting atau Anggaran Responsif Gender (ARG) ialah proses penganggaran yang memperhatikan kebutuhan masyarakat berdasarkan gender. Bukan berarti membagi anggaran berdasarkan jenis kelamin, tetapi memperhatikan akses, sumber daya, dan bias yang tidak seimbang karena faktor gender. Sejak akhir abad ke-20, negara-negara di dunia mulai memberikan perspektif gender ke dalam proses penganggaran mereka. Indonesia kini juga sudah melakukan hal tersebut.
ARG diperlukan untuk memastikan implementasi kebijakan yang dapat mengakomodir baik laki-laki dan perempuan, disegala situasi. Dalam kondisi darurat, seperti saat ini, keberadaan ARG semakin esensial. Ini berdasarkan fakta bahwa perempuan dan anak-anak seringkali menjadi korban kekerasan, sebagaimana yang kerap terjadi di berbagai krisis dalam sejarah.
Pada konteks pandemik Covid-19, peningkatan kekerasan domestik dan KDRT yang dialami perempuan terjadi utamanya karena faktor ekonomi. Kebanyakan karena kombinasi antara penurunan pendapatan atau kehilangan pekerjaan dan kecemasan akan kondisi yang tidak pasti yang dialami oleh suami. Istri seringkali menjadi sasaran kekerasan karena kondisi-kondisi tersebut.
Belum lagi di keluarga yang patriarkis, istri menanggung beban yang berlipat-lipat. Istri tidak hanya berperan sebagai pengurus yang harus memastikan kebersihan rumah dan menyiapkan makanan, tapi ia juga berperan sebagai pengasuh dan pendidik untuk anaknya yang sekolah dari rumah. Belum lagi melayani suami yang #WorkFromHome dengan kebutuhan materi maupun seksual.
Ketika istri dianggap tidak maksimal dalam menjalankan tugas-tugas tersebut, ia kerap kali mendapatkan kekerasan. Dengan kompleksitas permasalahan seperti yang telah diuraikan sebelumnya, penting bagi pemerintah untuk menentukan kebijakan anggaran yang responsif gender. Menurut hemat penulis, untuk mengatasi situasi ini pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis.
Pertama, menjamin bantuan dasar masyarakat
Pemerintah perlu menjamin bantuan dasar selama pandemik Covid-19 utamanya untuk masyarakat menengah ke bawah yang memiliki potensi KDRT lebih besar. Bantuan ini merupakan upaya preventif yang dapat membantu masyarakat baik secara ekonomis dan psikologis. Lebih jauh, jaminan bantuan yang diberikan juga dapat mencegah peningkatan KDRT secara tidak langsung.
Dari Rp. 405,1 triliun yang dianggarakan oleh pemerintah untuk penanggulangan Covid-19 19, sekitar 150 triliun dianggarkan sebagai bantuan cash untuk golongan miskin dan usaha terdampak Covid-19. Rp. 150 triliun tentunya merupakan uang yang besar, namun jika dibandingkan dengan keluarga miskin yang membutuhkan, uang ini sebenarnya tidak cukup.
Dengan skala perekonomian dan kebutuhan yang besar, pemerintah perlu untuk menambah dana penanggulangan Covid-19 19 dan menjamin bantuan sosial kepada masayakat menengah ke bawah. Ini bisa didapat, misalkan, dengan menerapkan kebijakan partisipasi kepada 1% orang kaya di Indonesia yang memiliki kekayaan lebih dari Rp. 10 ribu triliun, dengan imbalan insentif tertentu.
Kedua, kebijakan yang progresif dan tim yang tanggap
Mungkin sedikit yang tahu, tapi sebenarnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA), punya program khusus selama pandemik Covid-19. Namanya SEJIWA, akronim dari Layanan Psikolog untuk Sehat Jiwa.
Layanan berbasis telpon gratis ini dapat diakses oleh siapapun yang membutuhkan konseling secara gratis selama maksimal 30 menit. KPPA juga membuat gerakan #Berjarak, dengan 10 aksi turunan, yang salah satunya merupakan perlindungan terhadap perempuan dan anak. Dalam implementasi gerakan #Berjarak, KPPA bekerjasama dengan Dinas Pemberdayaan dan Perlindungan Anak setingakat kabupaten/kota agar lebih menjangkau.
Tentu kita perlu mengapresiasi inisiatif yang telah diambil oleh pemerintah dengan gerakan yang terstruktur. Namun beberapa hal juga perlu dievalusi. SEJIWA misalnya, ternyata tak banyak mendapat panggilan seperti yang diharapkan. SEJIWA, yang dapat diakses dengan hotline 119 ext. 8, juga tak spesifik mengakomodir kasus kekerasan domestik. Hanya permasalahan psikologis secara general.
Ada baiknya, pemeritah menjalin kerjasama untuk menangani KDRT. Ada banyak badan dan organisasi keperempuanan dan LBH yang tersebar di berbagai daerah. Antara lain misal, Komnas Perempuan, LBH APIK, LBH Yogyakarta, yang masing-masing juga mencatat aduan KDRT. Pemerintah juga perlu mempertimbangkan penyediaan shelter atau rumah aman bagi korban KDRT. Ini dilakukan oleh beberapa negara seperti Kanada dan Perancis. Di Italia bahkan para pelaku KDRT yang justru ‘dikarantina’ di shelter.
Kekerasan dalam rumah tangga di tengah pandemi covid 19 kerapkali dilupakan. Tanpa mengalpakan dampak kesehatan yang luar biasa besar, harusnya permasalahan ini juga mendapat perhatian yang sama besarnya. Bukti perhatian pemerintah dapat diwujudkan melalui kebijakan penganggaran sensitif gender yang disertai kebijakan turunannya yang dilaksanakan serius, dan bukan gimmick semata. Sebab sebesar apapun entitasnya ia selalu bermula dari unsur yang paling kecil. Dalam konteks negara, unsur itu keluarga