Lebaran telah berlalu, tanda bahwa berakhirnya masa cuti bersama. Menyisakan satu penyeselan berupa lonjakan kasus positif corona, yang mencapai 68-93 persen menurut penuturan pak menkes. Peraturan ketat yang diberlakukan demi mencegah dan menanggulangi dampak dari corona selama libur lebaran masih jauh dari kesadaran bersama.
Sungguh corona belum dapat mendidik manusia, bahkan pos penyekatan yang dibuat untuk membendung pemudik berhasil diterobos, pemerintah sendiri memperkirakan ada 1.5 juta pemudik yang lolos dari pos penyekatan
Fenomena pelarangan mudik dengan menyediakan pos penyekatan justru dijadikan ajang unjuk gigi para manusia barbar. Gimana tidak disebut barbar, mereka yang nekat ketika ditegur dan diminta putar balik malah marah, hingga mencaci petugas. Bukti nyata lunturnya rasa saling menghargai terhadap sesama umat manusia.
Fenomena dehumanisme, saya menyebutnya demikian untuk menggambarkan fenomena ini. Beberapa pemudik di pos penyekatan, seperti kesetanan demi meloloskan diri dari pos penyekatan, dengan cara meluapkan amarahnya. Amarah yang ditujukan kepada sesamanya, caci maki di ruang publik seolah menjadi sebuah kebiasaan baru.
Caci maki seperti menjadi tradisi, sebagai bentuk menujukan drajat keberaniannya. Sabar dan saling menghargai antara sesama, mulai menjadi barang langka di tengah pandemi. Semakin kamu mencaci kepada sesama, semakin dianggap pemberani. Ini mengakibatkan lonjakan kasus positif corona, diikuti oleh lonjakan amarah.
Adu mulut, yang disertai cacian seolah menjadi makanan sehari-hari. Hingga, tanpa sadar nama-nama binatang sering muncul dalam ucapan. Hih, sungguh menggemaskan. Seolah Ramadhan kemarin, seperti numpang lewat begitu saja. Mudah sekali amarah manusia di era pandemi terpantik.
***
Hakikat dasar manusia adalah ingin berkehendak bebas, sebuah keniscayaan yang selalu dilampiaskan tanpa ampun. Hingga datangnya pandemi, kehendak bebas manusia harus terkekang sementar, ya hanya di awal pandemi saja. Itupun tidak dapat terkekang sepenuhnya, selalu ada jalan untuk mencari kebebasan.
Penat dan amarah merupakan akibat dari terkekangnya kehendak bebas manusia, pelampiasan mencari kebahagiaan selalu diupayakan bagaimanapun caranya. Terlebih ketika jiwa manusia dalam keadaan penuh tekanan.
Saya sendiri juga merasakan, ketika dalam keadaan penuh tekanan, emosi dalam diri sering tidak karuan, ingin segera melampiaskan. Pelampiasan merupakan jalan keluar dari bebalnya jiwa untuk mencapai keseimbangan.
Saya agaknya mulai kapok, ketika penat tidak akan pernah lagi mencoba untuk bermain game melalui ponsel. Pasalnya, ketika saya mencoba hal tersebut bukan keseimbangan batin yang saya dapatkan, justru amarah datang menghampiri.
Terlebih jika mengalami kekalahan, wah rasanya ingin sekali melakukan jurus membanting ponsel hingga menjadi tujuh bagian. Pada suatu ketika, saat jam istirahat kantor dalam kadaan batin yang begitu penat. Teman saya datang mengajak bermain salah satu game melalui ponsel.
“Gaskeun sak game”, ajaknya dari luar ruangan. Saya yang berniat untuk melepaskan penat, merasa cocok dengan ajakannya, langsung mengeluarkan ponsel dari kantong, dan bermain bersamanya. Sebuah perilaku spesial bagi saya, pasalnya saya beranggapan bahwa game selalu dekat dengan refresing.
Sampai pada akhirnya dalam permainan, kami mengalami kekalahan beruntun. Teman saya, terlihat begitu kesal langsung nyeletuk “wah, apes malah tambah jengkel ini”, saya mengkonfirmasi celetukan itu dengan anggukan kepala yang lemas sembari keluar dari game.
Selepas kami memasukan ponsel ke dalam kantong, teman saya mengajak ngopi di kantin, sambil hahahihi hingga jam istirahat berakhir. Pada akhirnya kami mendapatkan pelampiasan tepat dari hal yang begitu sederhana.
Terkadang niat suci, juga perlu diikuti ketepatan berperilaku, ketepatan perilaku yang sederhana. Justru mengantarkan manusia pada sebuah solusi jalan keluar.
***
Manusia selalu menganggap dirinya sebagai makhluk spesial, akibatnya ia merasa harus melakukan hal yang berbeda sehingga ia dianggap spesial, dan mendapatkan perlakuan spesial dari orang lain. Ini adalah sebab pemantik lonjakan amarah.
Terlalu naif apabila saya sendiri tidak mau mendapatkan perlakuan spesial, seperti halnya manusia lain. Namun demikian, kespesialan manusia adalah sebuah ilusi yang paling sering menjebak, sehingga manusia mudah terkena serangan emosi negatif berupa amarah. Saya teringat pada bab terakhir dari buku karya Ichiro dan Koga yang berjudul Berani Tidak Disukai.
Sebuah buku terjemahan, yang pesannya disampaikan melalui dialog antara pemuda dan seorang filsuf yang mendalami psikologi aliran adlerian. Satu percakapan yang membuat saya masuk dalam sebuah pergulatan batin.
Pada suasana malam yang tenang, seorang pemuda dengan nada kesal menanyakan pada filsuf. “Mustahil, bahwa seluruh umat manusia di dunia ini menjadi orang baik, bukan?. Semua orang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing”.
Kekesalannya muncul, setelah ia mendapatkan penjelasan tentang cara manusia menjadi superior. Dengan menciptakan masalah untuk oranglain, dan secara bersamaan muncul sebagai sosok yang spesial.
Filsuf yang memahami keadaan jiwa pemuda tersebut, menjawab “ ya, ini berkaitan dengan paradoks Socrates, bahwa tidak ada manusia yang menginginkan kejahatan. Sebab bagi anak-anak yang mengalami masalah dalam berperilaku, tindak pencurian dan tindakan kekerasan sekalipun adalah kebaikan”.
Jawab filsuf, pemuda cerdas tadi tambah marah “ Tapi itu mengerikan!, itu bukan solusi dari masalah”. Tentu saya sepakat dengan pemuda tersebut, tetapi bukan itu point penting dari jawaban filsuf. Singkat cerita ia ingin si pemuda berfokus pada pesan berani menjadi normal.
Ya, terkadang perilaku abnormalitas manusia terjadi lantaran dirinya sendiri merasa spesial. Layaknya pandemi yang membuat eksistensi manusia hancur lebur, ajur mumpur . Tanpa bekas, segala bentuk rasa ingin pamernya tidak mendapatkan panggung dalam kehidupan nyata.
Hingga momentum larangan mudik, ibarat panggung eksistensi, yang menyebabkan lonjakan amarah di tengah pandemi. Fenomena ini menyadarkan saya bahwa kepenatan jiwa manusia merupakan bukti nyata bahwa manusia adalah makhluk lemah, sehingga dirinya selalu ingin terlihat spesial dimata oranglain, marah merupakan alat bantunya untuk mendongkrak popularitas kespesialan.
Dengan demikian, lonjakan amarah di era pandemi akan terus berlangsung di tengah kelelahannya jiwa manusia, serta pusaran ilusi kespesialan diri yang terus berputar tanpa sadar di tengah kondisi masyarakat.