Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan dari kemajuan internet hari ini adalah munculnya praktik judi online (judol). Maraknya praktik judi online yang terjadi di Indonesia menambah catatan kelam dalam situasi masyarakat di era internet. Tak tanggung-tanggung transaksi judi online warga Indonesia menembus rekor tertinggi, dalam 5 tahun terakhir tercatat sudah melejit 8.136,77% dari tahun 2018 yang “hanya” sebesar Rp 3,97 triliun (CNBC Indonesia).
Adiksi perjudian selain akan memberi dampak kesehatan psikis bagi penggunanya seperti learned helplessness atau perasaan tidak berdaya, juga membawa dampak sosial bahkan kerugian negara. Dalam catatan lembaga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada triwulan pertama tahun 2024 perputaran dana untuk aktivitas judi online sudah mencapai Rp 600 triliun. Angka tersebut meningkat pesat dari total perputaran dana pada 2023, yaitu sebesar Rp 327 triliun (Media Indonesia).
Menurunnya tingkat kemampuan daya beli masyarakat juga merupakan salah satu akibat yang ditimbulkan dari aktivitas judi online (Maulidhani, 2024). Sehingga, kegiatan ekonomi yang sebelum adanya judi online saja tidak terlalu baik, makin diperparah oleh kehadiran transaksi judol di tengah-tengah masyarakat.
Selain itu, judi online ini tidak hanya menjadi isu nasional melainkan sudah menjadi isu global. Dalam publikasi The Lancet, Australia dan Selandia Baru telah memperkirakan bahwa kerugian dari aktivitas perjudian memiliki besaran yang sama dengan gangguan depresi berat dalam penyalahgunaan dan ketergantungan alkohol. Judi online juga dinilai berkontribusi sebagai penyebab sekaligus akibat dari kecenderungan bunuh diri seseorang.
Pemuda dalam pusaran judol
Mirisnya, para pengguna layanan judi online ini tidak hanya menyasar orang dewasa, akan tetapi juga generasi muda bahkan anak-anak berkisar usia 10 sampai 30 tahun dengan sebaran di bawah usia 10 tahun mencapai 2% dari total pemain, dengan jumlah 80.000 anak. Pemain antara usia 10 tahun sampai 20 tahun sebanyak 11% atau kurang lebih 440.000 orang, kemudian usia 21 sampai dengan 30 tahun 13% atau 520.000 orang (PPATK).
Sangat mudah memahami mengapa judi online dengan gampang menyasar kelompok pemuda, menurut Fathanah (2023) beberapa di antaranya karena rasa ingin tahu yang besar, tekanan sosial, faktor lingkungan serta alasan ekonomi. Judi online juga menawarkan harapan bagi para penggunanya, tak heran para pemuda yang tergolong kelompok masyarakat belum berpenghasilan, sangat mungkin terpengaruh dengan harapan yang ditawarkan oleh permainan judol. Terlebih, sering kali perjudian dianggap sebagai salah satu uji keberuntungan yang dapat meningkatkan taraf ekonomi bagi remaja dan masyarakat dengan status sosial rendah (Juliani, dkk. 2024).
Pentingnya berfokus pada pengguna
Kita memang harus mengakui bahwa pihak yang seharusnya bertanggung jawab terhadap pemblokiran situs-situs judi online adalah pemerintah, dalam hal ini di bawah tugas dan wewenang Komdigi. Tetapi realitanya, beberapa waktu lalu, polisi telah menetapkan 24 pegawai ASN Komdigi sebagai tersangka dugaan penyalahgunaan wewenang pemblokiran situs judi online (CNN Indonesia).
Mereka yang mestinya bertugas memblokir situs-situs tersebut malah menjadi pihak yang ‘menjaga’ aktivitas judi online agar tetap dapat diakses. Sebuah fenomena kontraproduktif ini tentu memunculkan pertanyaan, apakah pencegahan praktik perjudian online ini hanya dapat diselesaikan dengan berharap pada Komdigi agar memblokir seluruh situsnya? Apakah dengan diblokirnya situs judol oleh pemerintah, secara otomatis akan menghentikan praktik tersebut?
Pemblokiran situs meski dianggap baik, tetapi jangan dijadikan misi utama. Mengingat, masyarakat Indonesia dengan mudahnya dapat ‘mengakali’ sebuah situs yang sudah diblokir pemerintah. Sehingga, fokus yang lebih penting justru ditujukan kepada pengguna, bukan kepada penyedia. Melalui sosialisasi yang masif serta program pemulihan yang serius, pemerintah dapat menyentuh objek pertama dalam sengkarut praktik judol ini.
Pendidikan sebagai penyadaran
Para pengguna layanan judi online tidak sedikit adalah mereka yang masih duduk di bangku sekolah, hal ini menunjukkan kondisi yang kontradiktif bagi pendidikan di Indonesia. Karena sejatinya nya jika melihat Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, yang menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk menciptakan suasana belajar yang memungkinkan peserta didik mengembangkan potensi diri, termasuk kecerdasan, kepribadian, akhlak mulia, dan keterampilan yang dibutuhkan bagi diri sendiri, masyarakat, bangsa, dan negara.
Sekolah dan guru seharusnya mampu bekerja sama menyadarkan peserta didik akan resiko dan bahaya permainan judi online kepada para peserta didiknya. Sebab menurut Paulo Freire (2008), kesadaran dan penyadaran merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam proses pendidikan. Guru sebagaimana maksud Freire, harus mampu menyadarkan siswa dari keadaan tertindas, terjebak, dan terlena dalam penindasan yang dilakukan oleh para bandar judol.
Beberapa upaya yang bisa dilakukan oleh sekolah agar dapat mencegah semakin maraknya para pemuda yang bermain judi online adalah dilakukannya sosialisasi secara serius, pembinaan karakter, internalisasi literasi digital dalam pembelajaran, pengenalan literasi keuangan bagi remaja.
Sekolah juga dapat mengambil peran dalam pemulihan secara psikologis dari dampak yang ditimbulkan karena permainan judi online. Melalui guru bimbingan konseling, penguatan teman sebaya serta dukungan guru.
Menguatkan literasi di sekolah
Sepanjang tahun 2024, klinik KiDi spesialis anak di Pejaten, Jakarta Selatan tengah menangani hampir 50 anak kecanduan judi online. Dari yang awalnya remaja SMA dan SMP, tiga bulan terakhir justru anak-anak SD kelas 5 dan 6, yang kebanyakan dari keluarga menengah atas. Di usia sekolah dasar, anak-anak belum bisa menalar dengan benar (BBC Indonesia).
World Economic Forum mengeluarkan laporan Longevity Economy Principles dalam The Foundation for a Financially Resilient Future dan mengabarkan bahwa sejak tahun 2015, Denmark telah meluncurkan program yang mengajarkan pentingnya literasi keuangan bagi murid sekolah usia 13-15 tahun, termasuk bagaimana membuat anggaran, pentingnya menabung, seluk beluk perbankan, serta hak-hak sebagai konsumen.
Di Asia tenggara, Singapura sejak tahun 2003, sudah memiliki program MoneySense, yang berisikan pembelajaran keuangan berskala nasional. Program itu mencakup dasar-dasar pengelolaan keuangan, perencanaan keuangan, serta pengetahuan tentang investasi.
Program pengenalan literasi digital dan keuangan dapat dilakukan melalui beberapa cara, di sekolah misalnya, dengan menginsersikan prinsip digital ethic dalam mata pelajaran Pendidikan Agama, atau memperkenalkan konsep dasar pengelolaan anggaran bagi siswa dalam mata pelajaran matematika.
Dengan begitu siswa akan lebih siap menghadapi dunia digital dan tantangan keuangan di masa depan, serta dapat mengambil keputusan yang bijaksana terkait dengan penggunaan internet dan media sosial juga dapat menyusun langkah tepat dalam masalah finansial mereka.