Selasa, Desember 23, 2025

Lingkungan Tak Sehat, Mental Tertekan: Realitas Tumpukan Sampah

Nada Nilover
Nada Nilover
Mahasiswa Psikologi UIN Jakarta
- Advertisement -

Pagi hari di Ciputat tidak selalu dimulai dengan udara segar. Di beberapa sudut jalan, bau sampah justru lebih dulu menyapa. Plastik, sisa makanan, dan limbah rumah tangga menumpuk tanpa kepastian kapan akan diangkut. Warga melintas sambil menutup hidung; sebagian memilih diam, sebagian hanya menghela napas. Tidak ada kemarahan besar, tetapi ada kelelahan yang perlahan tumbuh dan menetap dalam keseharian.

Lingkungan seperti ini membuat rumah dan ruang publik tak lagi sepenuhnya terasa nyaman. Sampah bukan hanya persoalan estetika atau kebersihan, melainkan juga pengalaman emosional yang terus berulang. Ketika kondisi tersebut menjadi bagian dari rutinitas harian, tekanan psikologis pun hadir secara senyap.

Sampah yang Datang Setiap Hari

Bagi warga Ciputat, tumpukan sampah bukanlah peristiwa insidental. Ia hadir hampir setiap hari dan menjadi latar belakang berbagai aktivitas, mulai dari berangkat kerja hingga kembali ke rumah. Situasi ini terasa semakin berat sejak ditutupnya TPA Cipeucang. Penutupan tersebut mengganggu alur pembuangan sampah, sementara produksi sampah rumah tangga tetap berlangsung tanpa jeda.

Di tingkat lingkungan, warga tidak berhadapan dengan kompleksitas kebijakan atau tata kelola, melainkan dengan dampak paling kasatmata: sampah yang tertahan lebih lama di sekitar tempat tinggal mereka. Bau menyengat, rasa jijik, serta kekhawatiran akan kesehatan fisik menjadi tekanan kecil yang terus terakumulasi. Sejumlah kajian kesehatan lingkungan menunjukkan bahwa paparan lingkungan tidak sehat dalam jangka panjang dapat berkontribusi terhadap munculnya tekanan emosional dan gangguan psikologis di masyarakat (Sukesi et al., 2023).

Lingkungan Kotor dan Beban Emosional Warga

Lingkungan yang kotor dan tidak terkelola sering kali menumbuhkan rasa tidak berdaya. Sampah yang dibiarkan berhari-hari tanpa kejelasan penanganan memunculkan kejenuhan dan kepasrahan. Ketika keluhan warga tidak menghasilkan perubahan nyata, kelelahan emosional perlahan menjadi bagian dari keseharian.

Dampak ini tidak selalu hadir dalam bentuk gangguan mental yang berat. Ia sering muncul secara halus, seperti mudah tersinggung, sulit merasa tenang, atau enggan berlama-lama berada di rumah. Kajian kesehatan lingkungan menguraikan bahwa kondisi fisik lingkungan—termasuk kebersihan dan sanitasi—memiliki keterkaitan dengan kondisi emosional dan kesejahteraan psikologis masyarakat (Sukesi et al., 2023). Dalam konteks ini, tumpukan sampah berfungsi sebagai tekanan mental yang konsisten, terutama bagi warga yang memiliki keterbatasan pilihan untuk menghindarinya.

Saat Lingkungan Membentuk Kesehatan Mental

Diskursus kesehatan mental kerap menempatkan individu sebagai pusat perhatian, mulai dari kemampuan mengelola stres hingga menjaga pola pikir positif. Namun, lingkungan tempat tinggal sering kali luput dari pembahasan. Padahal, kualitas lingkungan merupakan faktor eksternal yang secara terus-menerus memengaruhi kondisi psikologis seseorang.

Sejumlah penelitian kesehatan lingkungan menegaskan bahwa kualitas lingkungan fisik dan dukungan sosial berperan dalam membentuk kesehatan mental masyarakat (Sukesi et al., 2023). Lingkungan yang tidak sehat dapat menjadi faktor risiko yang bekerja perlahan, bahkan sebelum individu menyadari dampaknya. Jika kondisi semacam ini dibiarkan, tekanan psikologis akan terus diproduksi dari ruang-ruang yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Masalah sampah di Ciputat menunjukkan bahwa lingkungan yang tidak terkelola dengan baik bukan hanya persoalan kebersihan, tetapi juga persoalan kesejahteraan mental warga. Ketika sampah menumpuk dan pengelolaannya tidak jelas, rasa nyaman perlahan terkikis dan digantikan oleh kejenuhan serta kelelahan emosional yang berulang. Oleh karena itu, penanganan sampah perlu dipandang sebagai bagian dari upaya menjaga kualitas hidup dan kesehatan mental masyarakat. Tanpa pengelolaan lingkungan yang lebih serius dan berkelanjutan, beban psikologis warga akan terus menjadi konsekuensi tak terlihat dari persoalan yang kerap dianggap sepele.

Nada Nilover
Nada Nilover
Mahasiswa Psikologi UIN Jakarta
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.