Rabu, Oktober 16, 2024

LGBT, Moral, dan Eksistensi Negara

Achmaddudin Sudiro
Achmaddudin Sudiro
Mahasiswa Administrasi Rumah Sakit Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia Maju

Baru baru ini beredar tentang isu adanya larangan orang-orang yang memiliki disorientasi seksual (Leabian Gay Bisexsual Transgender) untuk mendaftar CPNS yang kemudian dianggap merupakan tindakan diskriminatif bahkan menganggapnya sebagai bukti bahwa Negara melanggar konstitusi.

Tulisan ini sama sekali bukan suatu bentuk dukungan terhadap prilaku diskriminatif, dan juga bukan suatu bentuk dukungan terhadap prilaku disorientasi sexual. Hanya saja secara subjektif tentunya, tulisan ini merupakan refleksifitas terhadap isu yang berkembang .

Setiap makhluk yang ada, tinggal, menetap, hidup bahkan mati, selama masih didalam wilayah Negara ini memiliki hak yang sama. Entah berdasarkan hukum, hak asasi, agama, bahkan berdasarkan sebab ke-adaannya itu sendiri.

Kita semua sama-sama tahu dan atau mungkin memahaminya betul  akan hak setiap dari kita dan apapun yang ada disekitar kita. Bahkan Keadilan secara konsep kenegaraan-pun tertera dalam sila kelima bahwa “keadilan solial bagi seluruh rakyat indonesia”. Mungkin tak perlu panjang untuk menjabarkan kembali tentang sebuah Hak. Bahkan bayi baru lahir-pun sudah merengek menuntuk haknya untuk langsung diletakan diatas perut ibunya.

Oleh karena itu, sangat amat wajar dan maklum ketika ada salah satu entitas yang memperjuangkan hak orang-orang yang memiliki disorientasi seksual. Memperjuangkan hak mereka agar bisa mendapatkan peluang dan kesempatan yang sama dalam hal ini CPNS.

Peradaban Manusia

Dalam kitab As-Sulām Al-Munauroq Ada satu klausa yang kemudian coba saya jadikan sebagai main idea dalam memandang perkara ini yang saya anggap berada dalam sebuah ekosistem berbangsa dan bernegara, yaitu “al-insānu hayawānun nātiqun” kurang lebih artinya begini “manusia ialah hewan yang berakal”

Mendengar kata hewan tentu akal kita akan me-recall sesuatu yang paling dekat dengan manusia seperti hewan peliharaan yang imut dan lucu, lincah, lihai dan cerdik, hewan yang bisa dijadikan alarm bangun pagi, hewan yang bisa terbang mengudara, hewan yang bisa berlari kencang melebihi sepeda motor berkecepatan sekian ratus KM/Jam. Atau hewan yang besar dan buas yang sangat menakutkan, atau hewan yang licin tapi mematikan, dll.

Dari sekian jenis dan bentuk hewan yang  kita ketahui maupun yang tidak. hewan, kalau mencuri timun hanya mencuri satu saja. hewan tidak pernah memutar otaknya untuk mencari cara agar pendapatan tahun depan lebih besar dari tahun sebelumnya bahkan untuk lima tahun kedepan.

Selucu-lucunya hewan tidak pernah bermuatan bullying, hinaan maupun cemoohan. Sewibawa-wibawanya hewan akan merasa bebas saja untuk bermadu cinta dimanapun tanpa menghiraukan sekitarnya. Kalaupun ada hewan yang tingkah laku hewan yang “mulia”, makan sudah sepatutnya kita malu sebagai manusia, makhluk berakal.

Artinya bahwa manusia merupakan makhluk biologis yang didalamnya memiliki banyak sifat, yang terdapat dalam makhluk biologis lain. Manusia memiliki kesamaan sifat keganasan bahkan bisa lebih ganas dari hewan terganas yang pernah ada. Manusia memiliki kesamaan sifat kelembutan bahkan lebih lembut dari mahluk terlembut yang pernah ada.

Manusia juga memiliki sifat kasih sayang bahkan melebihi kasih sayangnya makhluk yang pernah ada. Begitu juga dengan sifat-sifat yang lainnya dan itu ada dalam diri manusia. dan yang membedakan manusia dengan mkhluk lain terletak pada akalnya. Karena manusia dalam Al-Qur’an-pun dinobatkan sebagai Makhluk yang terbaik dalam penciptaanNya (Ahsani At-Taqwīm)

Karena dalam diri manusia memiliki kompleksitas sifat dan kecerdasan yang luar biasa hebatnya itulah kemudia menjadi alasan perlu adanya sesuatu guidelines dalam menjalani kehidupannya di muka bumi ini.

Diman guidelines tersebut memiliki dua fungsi; (1) Sebagai Petunjuk dan Rambu-rambu. Yang kemudian kita sebut dengan Al-Quran. Mushaf Al-Quran sendiri sebagai tekstualisasi daripada firman Allah SWT membutuhkan makhluk yang dapat “menerjemahkan” setiap kosa kata yang terkandung didalamnya dan kemudian kita sebut sebagai Nabi dan Rasul.

Selanjutnya Allah Ndawuh dalam Al-Qur’an “Athiu Allaha Wa Ar-Rasulla wa ûli Al-Amri Minkum.” “Taatilah Allah dan rasul dan pemimimpin dari kalangan kalian”. Dalam konteks ini kita hidup didalam Negara kesatuan republik indonesia yang dalam sistem kenegaraan kita, seorang pemimimpin diangkat dan ditentukan oleh warganya.

Oleh karena itu seorang yang diberikan hak dan wewenang untuk mengatur dan mengelola kehidupan warga yang dipimpinnya juga memiliki peranan dan tanggung jawab yang besar dalam menjalankan dan menggunakan hak yang sudah diberikan oleh Allah. Ini menujukan bahwa dalam berbangsa dan bertanah air baik sebagai yang dipimpin maupun yang memimpin tidak boleh melepaskan diri dari hukum yang sudah ditetapkan oleh agama sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan sebagaimana dalam Pancasila sila ke satu “Ketuhanan Yang Maha Esa.”.

Oleh karena itu, sangatlah wajar dan sudah sepantasnya bila pemerintah tidak memberikan legalitas terhadap LGBT dan secara hukum agama, adat istiadan, moralitas bangsa Indonesia, LGBT jauh dari peradaban bangsa Indonesia.

Bukan menolak perkembangan ilmu pengetahuan

Dihapusnya disorientasi seksual dari daftar penyakit gangguan kejiwaan bukanlan bentuk dari perkembangan ilmu pengetahuan. Sejatinya Disorientasi seksual memang bukanlah sebuah penyakit. sebagai analogi, tidak dikatakan penyakit ketika anda makan goreng pisang yang ditaburi saus, umumnya saus itu untuk gorengan yang tidak manis. Akan tetapi ini bukanlah alasan untuk  Indonesia agar melegalkan LGBT.

Mungkin LGBT akan menjadi fenomena yang tidak dapat dihindari. Akan tetapi bukan kemudian membiarkannya berkembang begitu saja tanpa ada upaya pencegahan yang serius, tanpa mengidentifikasi penyebab utama mengapa disorientasi seksual ini terus berkembang. Dan HAM dijadikan alasan disorientasi seksual ini dibiarkan berkembang.

Selain itu tidaklah tepat bila disorientasi seksual kemudian disamakan dengan disabilitas. Mengapa kemudian tidak kita samakan saja disorientasi seksual dengan radikalisme? karena keduanya sama-sama terpapar pemahaman yang “diluar kebanyakan orang” dalam arti negatif. baik secara langsung maupun tidak langsung. dan keduanya sama sama merusak moral, etika, dan jati diri bangsa.

Eksistensi Negara

sebagaimana diketahui bahwa  sesuatu dikatakan ekses ketika fungsi yang dimilikinya masih berdampak pada pihak lain. Negara dikatakan masih memiliki eksistensi ketika memiliki fungsi sebagaimana mestinya Negara itu berfungsi.

Seburuk apapun kesan yang didapat terhadap kondisi masyarakat selama masih berstatus warga negara indonesia, Negara harus berperan sebagai pelindung atas hak-hak mereka. Disaat ada warga yang tidak memiliki pendapatan yang pantas, sudah sepatutnya negara memberikan peluang agar berpendapatan pantas.

Di saat warganya tidak memiliki kenyamanan dan keamanan dalam kesehariannya sudah sepatutnya Negara memastikan keamanan dan ketenangan dapat dirasakan olehnya. Begitu juga orang-orang dengan disorientasi seksual, Negara sudah sepatutnya untuk merawat dan mengakomodir orang-orang tersebut dengan cara yang pantas. Untuk sebuah Negara yang ber-Pancasila. Larangan tanpa memberikan opsi solusi lain tidaklah bijak.

Achmaddudin Sudiro
Achmaddudin Sudiro
Mahasiswa Administrasi Rumah Sakit Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia Maju
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.