Situs atau aplikasi perjodohan/perkencanan semakin hari semakin banyak jumlahnya. Selain Tinder, ada beberapa situs sejenis yang tengah populer dan dianggap valid saat ini, antara lain seperti Setipe.com, OkCupid, Badoo, Hinge, Match.com, dan lain-lain.
Cara kerja mereka hampir sama: menampilkan foto-foto dan profil pengguna untuk kita sukai atau tidak kita sukai. Setelah saling terhubung dan mengobrol, masing-masing pengguna bisa memutuskan untuk melanjutkan hubungan atau tidak.
Tulisan ini bukan dimaksudkan untuk menentang keberadaan situs-situs atau aplikasi tersebut. Saya tahu, bagi sebagian orang, situs/aplikasi perjodohan atau perkencanan seperti itu bisa menjadi solusi atas kejombloan atau kesepian mereka. Bagi sebagian orang lainnya, bisa pula dijadikan alternatif hiburan untuk mengusir rasa bosan (misalnya dengan pasangan), tak ubahnya seperti memainkan game-game di ponsel pintar.
Yang saya paparkan di atas sebenarnya hanya buntut dari obrolan saya dengan dua teman di angkringan di Kota Yogyakarta beberapa malam lalu, terkait sikap kebanyakan orang, terutama generasi muda, saat berada di tempat umum atau saat menghadapi orang-orang yang tak dikenal. Obrolan itu bermula ketika mereka berdua menanyai saya soal pasangan.
“Mencari pasangan di zaman sekarang ini nggak gampang,” saya bilang kepada mereka.
Tentu saja, frasa ‘zaman sekarang’ yang saya maksud merujuk pada era di mana teknologi telah menyusup ke sendi-sendi kehidupan kita, mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Untuk lebih ringkasnya, kita sebut saja dengan istilah ‘Zaman Medsos’, tanpa maksud memangkas fungsi-fungsi lain yang lebih kompleks dan canggih dibanding sekadar medsos-an.
Di tempat umum, seperti di warung misalnya, bukan tak sering saya bertemu, bahkan duduk berhadapan atau bersebelahan, dengan cewek-cewek. Tak jarang dari mereka yang menarik di mata saya.
Tetapi, alih-alih ingin mengajak berkenalan, yang saya rasakan justru kekhawatiran akan respons yang tak menyenangkan dari mereka. Sebab sering saya dapati, gestur mereka tidak sedikitpun menunjukkan keinginan untuk diajak berkenalan, atau sekadar diajak bercakap-cakap.
Acapkali mereka terlihat begitu asyik dengan gadgetnya, sampai ketawa-ketiwi atau cemberut sendiri. Karena itu, saya tidak siap membayangkan respons mereka seperti ini: “Apaan sih?” dengan pundak, leher, dan wajah yang menampakkan rasa jijik atau risih karena diajak bercakap-cakap.
Akhirnya, saya cuma bisa curi-curi memandang wajah mereka. Sesekali, di beberapa kesempatan, memang ada yang sedikit murah senyum. Tapi, mereka tak lantas membuka diri untuk diajak berkenalan.
Apakah saya pengecut? Mungkin saja. Kendati saya pernah beberapa kali mencoba nekat dan mendapat respons negatif, saya tidak akan mengajukan pengalaman-pengalaman itu sebagai alibi. Tidak akan. Saya akui, saya memang pengecut.
Akan tetapi, terlepas dari faktor bahwa saya kurang keberanian, tetap saja, rasa tidak percaya atau rasa waswas dari mereka yang tampak begitu kentara itulah, menurut saya, penyebab utamanya. Bahkan, rasa waswas mereka tak jarang terlalu berlebihan.
Sampai-sampai pernah saya suatu kali, ketika saya ingin mengajak berkenalan seorang cewek di Jalan Malioboro (kebetulan ia sedang berjalan sendirian dan saya juga sendirian), saya serahkan KTP dan KTM saya kepadanya agar dia yakin bahwa saya bukan orang jahat dan tidak akan berbuat macam-macam.
Premis saya lantas begini: Apakah perkembangan teknologi membuat rasa tidak percaya atau rasa cemas terhadap seseorang yang tidak/belum dikenal menjadi kian membesar? Apakah semakin teknologi itu maju dan berkembang, semakin hilang pula jaminan rasa aman di tengah-tengah kehidupan sosial yang nyata?
Kenapa berinteraksi di ruang-ruang virtual, seperti di media sosial dan situs-situs perkencanan tadi, menjadi lebih mudah terjalin? Kenapa sebaliknya, di meja dan bangku yang sama di sebuah warung makan, atau di halte selama menunggu bermenit-menit, atau di bangku bus atau angkot dengan jurusan yang sama, perkenalan menjadi lebih sulit?
Apakah ini petanda bahwa di masa yang akan datang, mungkin 10 atau 20 tahun lagi, kita bakal benar-benar merasa lebih nyaman untuk berinteraksi, bahkan berkencan dan memadu kasih, dengan sistem operasi komputer, layaknya Theodore dengan Samantha dalam film Her (2014)? Ah, saya geli membayangkan itu.
Tidakkah kita rindu dengan masa lalu, masa-masa di mana curi-curi pandang, atau cuit-cuitan, lazim terjadi di jalanan, di warung-warung, di angkot, halte, atau saat nonton konser biduan, yang mana itu dapat membuka peluang pada perkenalan, lalu mungkin berlanjut ke hubungan yang lebih serius?
Masa-masa di mana gadget belum merampas perhatian cewek-cewek dari cowok-cowok (dan sebaliknya) yang jelas-jelas ada dan nyata di hadapan mereka?