Jumat, April 25, 2025

Lebaran Idul Fitri 2025: Lebih dari Sekadar Hari Kemenangan

Ahmad Fahmi
Ahmad Fahmi
Mahasiswa Aktif - S1 Hukum, UIN Jakarta
- Advertisement -

Lebaran Idul Fitri di Indonesia selalu menjadi momen yang lebih dari sekadar hari raya keagamaan. Ini adalah hari ketika emosi, budaya, dan modernitas bertemu dalam satu panggung besar. Setiap tahunnya, ada nuansa yang berbeda, ada cerita baru yang terjalin, ada tantangan dan kebahagiaan yang datang silih berganti. Begitu juga dengan Lebaran 2025, yang pastinya akan menjadi salah satu perayaan paling ditunggu-tunggu umat muslim di dunia.

Mudik: Antara Rindu dan Tantangan Zaman

Bicara soal Lebaran, tentu tidak bisa lepas dari fenomena mudik. Di tahun 2025, mudik tetap menjadi ritual yang sakral bagi banyak orang. Ada sesuatu yang magis dalam perjalanan pulang ke kampung halaman, entah itu karena nostalgia atau sekadar ingin berkumpul dengan keluarga besar. Namun, tantangan dalam mudik zaman sekarang semakin kompleks. Harga tiket yang melambung, kemacetan yang semakin menjadi-jadi, hingga teknologi yang perlahan-lahan mengubah cara orang melakukan perjalanan.

Dengan berkembangnya transportasi di Indonesia, perjalanan mudik kini tak hanya mengandalkan jalur darat. Ada kereta cepat yang mungkin lebih banyak diminati, ada layanan pesawat yang semakin beragam, dan tentu saja kendaraan pribadi yang tetap menjadi andalan. Namun, apa pun jenis transportasinya, tujuan akhirnya tetap sama: bertemu keluarga, melepas rindu, dan menghidupkan kembali kenangan lama di kampung halaman.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

“Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim.” (QS. An-Nisa: 1)

Ayat ini menegaskan pentingnya menjaga hubungan kekeluargaan, yang menjadi salah satu esensi utama dari tradisi mudik saat Lebaran.

Silaturahmi di Era Digital: Antara Kedekatan dan Kesenjangan

Teknologi telah mengubah banyak hal, termasuk cara kita bersilaturahmi. Jika dulu Lebaran identik dengan kunjungan langsung ke rumah sanak saudara, kini segalanya bisa dilakukan melalui video call atau pesan singkat. Ada sisi positifnya, tentu saja. Bagi mereka yang tidak bisa pulang, teknologi adalah penyelamat. Tapi di sisi lain, ada juga rasa kehilangan. Nuansa bertemu langsung, merasakan suasana rumah yang hangat, atau bahkan sekadar menikmati opor ayam bersama-sama, semuanya tidak bisa sepenuhnya tergantikan oleh layar gadget.

Namun, apakah ini berarti silaturahmi menjadi semakin dingin? Tidak juga. Justru, di era digital ini, kita melihat fenomena menarik: keluarga yang lebih sering berkomunikasi meskipun jarak memisahkan. Grup WhatsApp keluarga yang dulu mungkin hanya ramai menjelang Lebaran, kini bisa aktif sepanjang tahun. Jadi, meskipun cara bersilaturahmi berubah, esensinya tetap sama: menjaga hubungan dan mempererat tali persaudaraan.

Rasulullah SAW bersabda:

“Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung silaturahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

- Advertisement -

Hadis ini menunjukkan bahwa silaturahmi bukan sekadar tradisi, tetapi juga memiliki berkah tersendiri bagi kehidupan kita.

Euforia Lebaran: Antara Kebahagiaan dan Konsumerisme

Tidak bisa dipungkiri, Lebaran juga menjadi momen di mana konsumerisme meningkat tajam. Pusat perbelanjaan penuh sesak dengan orang-orang yang berburu baju baru, makanan khas, atau sekadar ingin merasakan suasana khas jelang hari raya. Di tahun 2025, tren belanja online kemungkinan semakin mendominasi, membuat orang tidak perlu lagi berdesakan di toko-toko. Namun, apakah ini mengurangi makna Lebaran?

Di satu sisi, belanja Lebaran memang bisa menjadi bentuk kebahagiaan tersendiri. Ada perasaan puas ketika bisa memberikan sesuatu yang lebih untuk keluarga, entah itu dalam bentuk pakaian baru atau hidangan spesial. Namun, di sisi lain, kita juga harus bertanya: apakah esensi Lebaran hanya tentang materi? Tentu saja tidak. Justru, semakin tahun kita harus semakin sadar bahwa kebahagiaan sejati Lebaran bukan datang dari barang baru, tapi dari momen-momen kecil yang berharga.

Allah SWT mengingatkan dalam Al-Qur’an:

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara setan.” (QS. Al-Isra: 26-27)

Ayat ini menjadi pengingat bagi kita agar tidak berlebihan dalam konsumsi dan tetap menjaga keseimbangan dalam merayakan Lebaran.

Zakat dan Berbagi: Antara Keikhlasan dan Formalitas

Zakat fitrah adalah salah satu kewajiban yang tidak bisa dilewatkan di bulan Ramadan, terutama menjelang Idul Fitri. Ini bukan sekadar ritual, tapi juga cara Islam mengajarkan keseimbangan sosial. Namun, ada satu hal yang menarik untuk diamati: apakah zakat hari ini masih dilakukan dengan penuh kesadaran, atau hanya sekadar menggugurkan kewajiban?

Di tahun 2025, pembayaran zakat bisa jadi semakin mudah. Dengan adanya dompet digital dan platform zakat online, orang-orang bisa membayar tanpa harus keluar rumah. Tapi, di sini juga muncul pertanyaan: apakah ini membuat kita lebih sadar akan pentingnya berbagi, atau justru semakin menjauhkan kita dari esensi zakat itu sendiri? Tentu tidak ada jawaban hitam-putih. Yang pasti, zakat bukan hanya soal uang yang berpindah tangan, tapi juga soal kepedulian dan rasa empati terhadap sesama.

Rasulullah SAW bersabda:

“Rasulullah mewajibkan zakat fitrah sebagai penyucian bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perkataan keji, serta sebagai bantuan bagi orang-orang miskin.” (HR. Abu Dawud)

Hadis ini menjelaskan bahwa zakat fitrah bukan hanya kewajiban, tetapi juga memiliki manfaat sosial yang besar dalam membantu sesama.

Perubahan dan Tradisi: Menemukan Keseimbangan

Setiap generasi membawa perubahan, dan itu juga berlaku untuk Lebaran. Jika dulu perayaan Idul Fitri terasa lebih sederhana dengan suasana kampung yang khas, kini kita melihat perubahan di mana-mana. Dari cara orang mudik, cara berbagi, hingga cara bersilaturahmi, semuanya mengalami evolusi. Tapi yang menarik adalah bagaimana masyarakat tetap berusaha mempertahankan tradisi di tengah perubahan zaman.

Mungkin, inilah inti dari Lebaran: keseimbangan antara yang lama dan yang baru. Kita tetap bisa mempertahankan nilai-nilai luhur, seperti kebersamaan, keikhlasan, dan berbagi, sambil tetap mengikuti perkembangan zaman. Tidak ada yang salah dengan memesan ketupat via aplikasi, selama makna kebersamaan tetap terjaga. Tidak ada yang salah dengan mengucapkan selamat Lebaran lewat pesan digital, selama ketulusan tetap ada di dalamnya.

Jadi, bagaimana dengan Lebaran 2025? Yang pasti, ia akan menjadi perayaan yang tetap penuh warna, dengan segala cerita, tantangan, dan kebahagiaan yang menyertainya. Karena pada akhirnya, bukan soal bagaimana kita merayakan, tapi tentang bagaimana kita menjaga makna di dalamnya.

Marilah kita jadikan Lebaran bukan hanya sebagai ajang seremonial, tetapi juga sebagai momentum untuk memperbaiki diri, memperkuat silaturahmi, dan semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Semoga kita senantiasa diberikan keberkahan dan kebahagiaan di setiap momen Lebaran yang kita rayakan.

Ahmad Fahmi
Ahmad Fahmi
Mahasiswa Aktif - S1 Hukum, UIN Jakarta
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.