I speak through my cloth ~ Umberto Eco
Lebaran di Indonesia identik dengan perayaan hari kemenangan yang dirayakan secara besar-besaran setelah berlelah-lelah dan menahan segala hawa nafsu selama sebulan.
Lebaran di Indonesia rasanya kurang pas kalau tidak menyajikan ketupat, rendang, gulai, dan berbagai kue kering. Lebaran pun rasanya tidak afdol kalau yang merayakannya tidak membeli baju baru, sepatu baru, tas baru, kerudung baru, sarung baru, mukena baru, dan kalau perlu peralatan pecah belah beli yang baru plus seisi rumah dicat dengan warna baru, sofa diganti pelapisnya, begitu juga sarung bantal, karpet dan sebagainya dan sebagainya.
Oh, ya, jangan lupa, sisihkan uang untuk dibagikan ke keponakan, cucu dan anak-anak tetangga satu kampung. Lalu dana untuk beli mercon dan kembang api. Belum lagi uang jajan anak-anak saat piknik ke tempat-tempat wisata. Menjelang lebaran terutama di saat THR sudah turun, toko-toko pakaian di berbagai pusat perbelanjaan yang biasanya sepi mendadak penuh sesak oleh pembeli hingga antrian di kasir mengular, bonus sikut-sikutan demi mendapat barang terbaik. Jangan lupa, supermarket dan pasar tradisional ikut menggelar “jumpa fans” bagi para pembeli yang didominasi ibu-ibu yang berbelanja dengan semangat 45.
Semua berlangung sangat meriah. Sekaligus membutuhkan dana besar. Sebuah akun di media sosial mem-posting kalimat: “Lebaran itu yang berat bukan perjalanan mudiknya, tapi berpura-pura sukses saat berada di kampung halaman.”
Yap! Berpura-pura sukses berarti siap dianggap punya banyak uang setelah setahun merantau. Hal yang menarik adalah pakaian menjadi salah satu simbol kesuksesan bagi pemudik selain naik motor/mobil, oleh-oleh dan sejumlah uang yang dibawa.
Saya teringat cerita seorang teman saat dia masih mahasiswa beberapa tahun yang lalu. Dia laki-laki dan middle-class. Saat itu dia memilih moda transportasi bus karena kehabisan tiket kereta api. Sebagai anak muda, dia pun memilih baju santai yang sekiranya nyaman untuk perjalanan jauh, yakni kaus, sendal gunung, celana pendek selutut, dan ransel berisi perbekalan secukupnya. Di dalam bus, dia sesekali menebarkan pandangan ke sekeliling mengamati para penumpang yang sebagian besar berasal dari kalangan menengah bawah karena bus yang dia naiki bukan level VIP.
Tatapannya kemudian tertuju pada seorang mas-mas yang penampilannya keren. Berkacamata hitam (biarpun di dalam bus tetap dikenakan), jaket jins dan rambut bersaput pomade. Tak lama, bus terjebak macet di jalan tol, sementara di luar udara semakin menyengat. Kendaraan-kendaraan mulai mematikan mesin untuk menghindari over-heat, termasuk bus itu dengan mematikan juga AC-nya. Alhasil kaca-kaca jendela dibuka untuk membiarkan udara masuk, meski rasa panas tidak bisa dihindarkan. Kembali tatapan teman saya tertuju pada si mas-mas keren yang kemudian dia lihat mulai kegerahan dan tangannya sibuk mengipas-ngipas.
Hebatnya, penampilan kerennya tetap dipertahankan. Tidak sekalipun jaket jinsnya dibuka, juga kaca mata hitamnya. Penasaran, teman saya pun jadinya memperhatikan bahwa selama di perjalanan sampai tiba di kampung halaman, jaket itu tak sekalipun terlepas dari badannya. Kecuali kacamata hitam yang dibuka ketika malam tiba. Saya pun teringat saat dulu masih punya ART. Setiap hendak perjalanan mudik, dandanan mereka jangan ditanya. Super lengkap! Make up. Baju baru. Sepatu baru. Tas baru. Dan parfum.
Perjalanan mudik bagi sebagian besar masyarakat barangkali dapat disamakan sebagai rekreasi seperti halnya jalan-jalan ke Puncak, Taman Safari, Dufan dan sejenisnya. Dikutip dari Barnard dalam Fashion as Communcation, menarik untuk melihat bahwa masyarakat kelas sosial yang lebih rendah biasanya berpakaian rapi apabila akan pergi keluar (rumah), sementara kelas sosial yang lebih tinggi umumnya berpakaian biasa saja (santai) kalau bepergian atau rekreasi. Orang dari kalangan sosial lebih rendah biasanya ingin tampak rapi karena keseharian pekerjaannya cenderung tidak membutuhkan pakaian rapi, sedangkan orang dari kelas yang lebih tinggi, keseharian pekerjaannya justru menuntut pakaian yang formal dan rapi. Meski tidak bisa digeneralisasi, tetapi pada beberapa kasus bisa diamini.
Dengan demikian pakaian mempunyai sisi kesenangan bagi pemakainya, tidak saja simbol kesuksesan. Pakaian juga sejatinya menjadi alat komunikasi, menyuarakan, memberi penafsiran dan menyatakan tentang pemakainya. Thomas Carlyle mengatakan kalau pakaian adalah perlambang jiwa (emblems of the soul). Pakaian juga menyampaikan banyak pesan-pesan nonverbal. Seperti Lurie dalam The Languange of Clothes mengargumenkan bahwa pakaian merupakan ekspresi identitas pribadi, menggambarkan diri pemakainya mulai dari memilih pakaian di toko sampai mengenakannya (di rumah maupun di luar rumah).
Saat perayaan Idul Fitri, mulai dari sholat Ied, kunjungan ke tetangga, kerabat hingga beragam acara silaturahmi, pakaian terbaru dan terbaik berseliweran di jalanan layaknya panggung fashion on the street dengan para peragawati/peragawan yang berasal dari masyarakat umum. Pakaian laksana oase yang sanggup memupus stress dan lelah selama di perantauan bagi pemakainya. Lebaran adalah peragaan busana terbesar di dunia yang berlangsung lebih dari 24 jam, bahkan di beberapa daerah masih berlangsung dalam seminggu-dua minggu hingga sebulan.