Beberapa waktu yang lalu Mendikbudristek, Nadiem Makarim, membuat pernyataan bahwa siswa Indonesia terancam mengalami learning loss dalam Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), akibat pandemi Covid-19.
Pernyataan tersebut terbukti dengan adanya kenaikan siswa yang tinggal kelas berdasarkan perbandingan antara data Statistik Pendidikan tahun 2020 (27/11/2020) dengan tahun 2021 (26/11/2021) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS).
Data siswa tinggal kelas dapat diketahui melalui persentase Angka Mengulang. Angka Mengulang merupakan persentase siswa kelas x suatu jenjang pendidikan pada tahun ajaran lalu yang masih duduk di kelas x pada tahun ajaran sekarang, terhadap siswa kelas x pada tahun ajaran lalu (BPS, 2021).
Pada tahun 2020, terdapat 4,35% siswa SD/sederajat yang mengulang dan pada tahun 2021 naik menjadi 5,41%. Sedangkan pada tingkat SMP/sederajat dari 3,31% naik menjadi 3,40%, dan pada tingkat SMA/sederajat dari 3,31% menjadi 3,39%.
Pada tingkat SD/sederajat, persentase Angka Mengulang terbesar tahun 2021 berada di Provinsi Banten sebanyak 10,05% dari sebelumnya 8,03%. Pada tingkat SMP/sederajat berada di provinsi Jambi sebanyak 7,06% dari sebelumnya 6,79%, dan pada tingkat SMA/sederajat juga berada di provinsi tersebut sebanyak 6,62% dari sebelumnya 6,42%.
Berdasarkan data di atas, dapat dipahami bahwa siswa mulai menunjukkan penurunan kemampuan dalam memahami konten pelajaran, hingga akhirnya mengakibatkan siswa tersebut tinggal kelas.
Semenjak pembelakuan PJJ, Kemendikbudristek telah melakukan berbagai penyesuaian, salah satunya yaitu pengurangan materi. Materi yang diajarkan hanya materi yang dinilai esensial. Akan tetapi, hal tersebut tampak belum berhasil secara optimal untuk menghindari learning loss. Oleh karena itu, perlu ada evaluasi terus menerus, terutama berkaitan dengan bagaimana materi tersebut diajarkan agar mencapai hasil belajar yang optimal.
Secara umum, saat ini proses pembelajaran dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu tatap muka penuh, tatap muka sebagian, dan non tatap muka. Pembelajaran tatap muka penuh umumnya sudah dilakukan pada sekolah yang berbasis pesantren atau asrama, sehingga seharusnya tidak terlalu berkontribusi pada kenaikan Angka Mengulang. Hal ini berbeda dengan sekolah yang menerapkan pembelajaran tatap muka sebagian dan non tatap muka.
Pembelajaran tatap muka sebagian setidaknya diterapkan dalam dua cara, yaitu hibrid (sebagian siswa tatap muka dan sebagian siswa non tatap muka, dalam waktu bersamaan) dan tatap muka dua sesi (sebagian siswa mengikuti sesi pertama dan sebagian lagi mengikut sesi kedua, dengan waktu yang berbeda).
Tentu pembelajaran tersebut membutuhkan usaha yang lebih, baik bagi guru maupun siswa. Faktor kelelahan dan proporsi jam pelajaran perlu menjadi bahan pertimbangan untuk mendesain pembelajaran yang baik.
Bisa dibayangkan betapa lelahnya guru apabila menerapkan tatap muka dua sesi. Guru harus mengajar materi dua kali lipat dari biasanya dan dengan waktu yang terbatas.
Di sisi lain, siswa harus benar-benar memanfaatkan waktu yang terbatas untuk dapat memahami materi yang disampaikan guru. Penerapan flipped classroom dapat menjadi salah satu cara untuk meningkatkan kualitas pembelajaran tatap muka dua sesi.
Guru membagikan terlebih dahulu materi yang akan disampaikan beberapa hari sebelum pembelajaran dimulai. Materi tersebut dapat berupa video ataupun media lainnya yang harus dipelajari siswa. Selanjutnya, ketika pembelajaran tatap muka berlangsung, guru dan siswa hanya perlu mendiskusikan hal-hal yang masih belum dipahami dan melakukan pendalaman ataupun penekanan materi.
Sedangkan pada pembelajaran non tatap muka, seringkali terkendala minat belajar yang minim. Karakteristik pembelajaran tatap muka tentu berbeda dengan pembelajaran non tatap muka.
Oleh karena itu, model pembelajaran yang biasa digunakan secara tatap muka tidak serta merta dapat digunakan secara non tatap muka. Guru harus melakukan penyesuaian, seperti tidak memaksakan seluruh sintaks suatu model pembelajaran harus dilakukan dalam satu pertemuan.
Selain itu, proses pembelajaran yang berlangsung perlu memaksimalkan penggunaan sumber belajar terbuka atau Open Educational Resources (OER). Hal ini dimaksudkan agar konten pelajaran tidak monoton hanya dari guru. Guru juga perlu didorong untuk menggunakan produk hasil penelitian, baik berupa media maupun strategi pembelajaran, yang sudah terbukti efektif digunakan dalam pembelajaran non tatap muka. Produk tersebut dapat ditelusuri melalui situs Google Scholar maupun situs jurnal ilmiah yang memiliki cakupan pada dunia pendidikan.
Faktor lain yang harus dipertimbangkan juga adalah rencana penggunaan kurikulum baru. Setidaknya saat ini ada 3 macam kurikulum yang bisa digunakan, yaitu Kurikulum 2013, Kurikulum Darurat, dan Kurikulum Prototipe. Mendikbudristek telah memberikan kebebasan pada tiap sekolah untuk memilih kurikulum yang akan digunakan.
Seyogyanya, sekolah perlu bijak dalam menentukan pilihan tersebut, agar jangan sampai justru semakin menambah Angka Mengulang karena guru dan siswa belum siap menjalankannya. Seluruh usaha-usaha tersebut tentu tidak bisa terlepas dari perhatian dan sinergi bersama pemerintah daerah, terutama pada provinsi dengan Angka Mengulang tertinggi. Hal ini dikarenakan berdasarkan data statistik pendidikan, angka tersebut didominasi oleh siswa yang berada di pedesaan dibandingkan perkotaan.
Artinya, siswa di pedesaan punya potensi mengalami learning loss lebih tinggi. Tentu ada banyak faktor lain yang menyebabkan hal tersebut, seperti fasilitas internet maupun gawai yang belum optimal, hingga turunnya pendapatan masyarakat desa yang menyebabkan kemampuan untuk menyediakan makanan bergizi bagi buah hatinya juga menurun. Oleh karena itu, pemerintah daerah melalui dinas terkait juga perlu mengupayakan solusi lain di luar perbaikan proses pembelajaran, seperti penyediaan makanan bergizi serta vitamin untuk mencukupi kebutuhan nutrisi, dan lainnya.