Pandemi Covid-19 tidak menjadi penghalang bagi Rusia untuk menggelar kekuatan militernya. Tass, agen berita pemerintah Rusia, memberitakan proses dan eskalasi latihan militer Rusia yang masif mulai dari pertengahan Juli dan masih berlangsung hingga awal Agustus ini. Selain mengundang keprihatinan karena dilakukan di tengah Pandemi Covid-19, latihan tersebut memantik dugaan kekhawatiran Rusia terhadap politik kawasan.
Dugaan tentang kekhawatiran tersebut terlihat dari waktu pelaksanaan dan tempat latihan. Di tengah upaya dan fokus dunia menghadapi pandemi Covid-19, Rusia, yang juga mengalami problem covid-19, tetap mengalokasikan waktu untuk latihan militer. Dengan Amerika dan negara-negara NATO yang lebih disibukkan untuk fokus menangani Pendemi Covid-19, Rusia tidak terlalu mendapat sorotan atas konsolidasi militer mereka. Dengan keuntungan demikian, Rusia memanfaatkan momen tersebut dengan memobilisasi titik-titik penting basis tradisional kekuatan perang mereka secara serentak.
Di Laut Mediterania, Laut Hitam, dan Laut Kaspia, Rusia memobilisasi armada lautnya. Di Laut Mediterania, latihan gugus tugas Angkatan Laut Rusia di Mediterania secara eksplisit dikatakan untuk menghidupkan kembali kejayaan gugus tugas kelima Angkatan Laut Soviet di Mediterania, rival utama US Navy’s 6th Fleet, armada perang laut Amerika di lokasi yang sama.
Jika di ketiga lokasi tersebut latihan perang Rusia selayaknya latihan di halaman depan, maka latihan militer mereka di kawasan Laut Bering dan Laut Siberia terlihat seperti mobilisasi militer di halaman belakang. Di kawasan ini, Rusia banyak menurunkan armada laut, udara, dan darat untuk melakukan berbagai simulasi perang. Pada saat yang bersamaan, Rusia juga melakukan latihan militer di kawasan Laut Jepang dibawah komando gugus tugas Angkatan Laut Rusia di Pasifik.
Dengan melihat lokasi latihan militernya, Rusia seperti sedang menghidupkan sabuk militer mereka secara bersamaan. Dalam rilis menyangkut latihan militer ini, PM Vladimir Putin menekankan perlunya stabilitas kawasan dengan perhatian khusus kepada Ukraina yang terus bersikap keras kepada Rusia (Aljazeera, 17/7/2020).
Namun demikian, langkah Rusia bisa jadi tidak sepenuhnya terkait dengan problem Ukraina semata, namun juga berkelindan dengan konteks politik dan ekonomi yang jauh lebih krusial. Potensi minyak dan gas alam di kawasan ini merupakan terbesar di dunia. Selain itu, terdapat psikologi politik kawasan Rusia yang tidak ingin kehilangan pengaruh di kawasan eks Uni Soviet karena pendekatan AS dan NATO (North Atantic Treaty Organization)
Di wilayah Dagestan dan Chechnya yang berbatasan dengan Georgia, terdapat jalur pipa jenis CPC yang menghubungkan saluran pipa gas dan minyak Rusia dari Laut Kaspia menuju Laut Hitam, sekaligus menjadi jalur pipa utama antara Azerbaijan dan Rusia yang menghubungkan Baku – Novorissiyk.
Selain itu, di Chechnya terdapat ladang minyak dan jalur pipa minyak dan gas yang menguntungkan Rusia melalui proyek Caspian Oil Pipeline yang merupakan proyek kerjasama Rusia dengan negara-negara lain, seperti Afghanistan dan Oman. Dengan berbatasan langsung dengan Georgia, jalur minyak ini sudah tentu membutuhkan perhatian lebih dari Rusia.
Dari sudut pandang kewilayah Kaukasus Utara, Rusia mau tidak mau harus menimbang Georgia sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Turki, selain Armenia dan Azerbaijan. Hal ini karena dalam beberapa hal Georgia memiliki ambisi untuk menjadi pesaing Rusia dalam industri minyak.
Asia Tengah dan Pertarungan Negara Adidaya
Dinamika politik Asia Tengah pascakemerdekaan negara-negara eks Uni Soviet menunjukkan eskalasi tersendirinya. Tahun 1991 menandai era runtuh dan berakhirnya kekuasaan Uni Soviet diikuti keinginan negara-negara baru di Asia Tengah untuk menentukan arah dan kebijakan mereka sendiri
Rusia tentu saja tidak melepaskan begitu saja perkembangan yang berlangsung di bekas wilayah kekuasaannya tersebut (CARs). Rusia memakai pendekatan Eurasianism yang menjadikan negara-negara bekas wilayah Uni Soviet ini sebagai mitra dalam budaya dan perdagangan dan meminimalisir masuknya pengaruh negara Barat.
Dapat dipahami, Rusia ingin mengamankan diri dengan meredam gejolak negara-negara di sekitarnya. Begitu Uni Soviet bubar dan Rusia berdiri, mereka membentuk Commonwealth of Independent States (CIS). CIS dimaksudkan Rusia sebagai semacam forum komunikasi negara eks Uni Soviet dan upaya mengambil hati mereka dengan upaya persahabatan. Setahun berikutnya, Amerika menggoda negara – negara eks Uni Soviet di Asia Tengah dengan memberi bantuan kepada mereka lewat traktak Freedom of Act.
Kepentingan berbagai negara di Asia Tengah dengan sendirinya menegaskan posisi strategis CARs dan sekitarnya dalam percaturan politik dunia. Namun, benarkah itu semua hanya untuk kepentingan politik? Rasanya tidak. Terdapat faktor lain yang sangat urgen di kawasan ini: minyak.
Politik Minyak Asia Tengah
Dalam The New Great Game, Blood and Oil in Central Asia (2019), Lutz Kleveman menjelaskan bahwa informasi tentang keberadaan potensi minyak mentah dengan jumlah yang luar biasa di Asia Tengah bermula pada tahun 2000. Geologis yang berafiliasi pada perusahaan Agip dari Italia menemukan cadangan minyak mentah di Kashagan, Kazakhstan dengan potensi 50 milyar barel. Jumlah cadangan ini hanya kalah dari ladang minyak Ghawar di Saudi Arabia yang sebesar 90 milyar barrel.
Meskipun demikian, tak mudah untuk menyalurkan pipa minyak keluar dari Kashagan. Kazakhstan menolak keinginan Rusia agar pipa minyak melewati teritori Rusia dari titik Pelabuhan Novorisiik di Laut Hitam. Kazakhstan lebih melihat kemungkinan Afghanistan dan Iran untuk dilewati. Disamping itu, kondisi geografis Laut Kaspia dengan atol dan kegempaan dasar lautnya yang fluktuatif juga menjadi tantangan tersendiri.
Di sisi lain, AS menginginkan penyaluran minyak dengan pengapalan tanker ke Baku, Azerbaijan, terlebih dahulu. Dari Baku, penyaluran lebih mudah dengan keberadaan pelabuhan Ceyhan di Mediterania. Opsi paling “murah” secara jarak adalah lewat Iran. Namun, konflik Iran dengan AS tidak bisa ditengahi.
Dalam kontestasi ini, pada 1997 Tiongkok telah membentuk konsorsium Chinese National Petroleum Company (CNPC) yang pada kelanjutannya berhasil membeli 60% saham ladang minyak Aktubinsk, ladang minyak ketiga terbesar di Kazakhstan setelah Kashagan dan Tengizchevron. Tiongkok seperti menyiapkan sebuah pondasi penting eksplorasi dan cadangan minyak masa depannya dengan program CNPC.
Pada konstelasi ini, semua pihak yang berkepentingan dengan minyak di Asia Tengah, khususnya Kashagan, memainkan perannya masing-masing. Kazakhstan dan Asia Tengah terlihat seperti putri cantik yang memesona kekuatan adidaya untuk merengkuhnya. Para negara adidaya yang bergerak di Asia Tengah terlihat seperti apa yang Thomas Hobbes katakan sebagai bellum omnia contra omnes, upaya total dengan segenap kemampuan yang dimiliki untuk meraih tujuan masing-masing.
Rusia seperti tengah membangunkan memori publik tentang kekuatan militer mereka, kali ini dengan memanfaatkan momen pandemi.