Sabtu, April 20, 2024

Lagi, Kemunduran Negara

ariq.andarmesa
ariq.andarmesa
Anggota Partai Hijau Indonesia dan Mahasiwa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran 2013.

Indonesia telah memasuki 20 tahun masa reformasi, namun hingga saat ini proses demokratisasi yang terjadi pasca-reformasi menggantikan rezim kediktatoran militeristik Orde Baru mengalami kemunduran.

Pemerintahan sipil yang terbentuk belum mampu melaksanakan sungguh-sungguh agenda demokratisasi yang substansial di Indonesia. Dari data indeks demokrasi Indonesia yang dikeluarkan oleh BPS, Indonesia mengalami penurunan kualitas demokrasi jika dilihat dari aspek-aspek kebebasan sipil, aspek -aspek politik, dan aspek lembaga demokrasi dari tahun 2015 menuju 2016.

Penurunan ini diakibatkan oleh adanya hambatan didalam kebebasan sipil untuk berkumpul dan berorganisasi, kriminalisasi terhadap kelompok masyarakat sipil, dan kekerasan yang dilakukan baik oleh aparatur negara terhadap masyarakat sipil serta kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat sipil itu sendiri.

Sedangkan data dari Economist Intelligence Unit indeks demokrasi Indonesia mengalami kemunduran yang sangat signifikan. Peringkat Indonesia turun dari 48 di tahun 2016 menjadi 68 di tahun 2017. Kemunduran ini diakibatkan oleh terhambat nya kebebasan sipil, penegakan HAM dan juga kebebasan pers yang selalu ingin dikontrol oleh Negara. Penurunan peringkat tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara dengan demokrasi nya yang terhambat (flawed democracy) . 

20 tahun reformasi berlalu justru pemerintahan sipil tidak dapat menghilangkan warisan-warisan atau instrumen politik dari rezim otoritarianisme sebelumnya sehingga proses demokratisasi yang terjadi belum dapat menciptakan demokrasi yang substansial melainkan sebatas demokrasi prosedural atau formal.

Pemerintahan sipil pasca-reformasi belum mampu menjalankan agenda demokratisasi dan penegakan HAM sesungguhnya. Karena terhambat oleh kepentingan elit-elit oligarki yang membajak proses demokratisasi untuk melayani kepentingan ekonomi politik mereka saja. Dan reformasi justru melahirkan agenda neoliberalisasi yang dimanfaatkan oleh oligarki kapitalis yang parasit tersebut untuk membuka proses deregulasi, komersialisasi, dan liberalisasi segala macam aspek kehidupan kita dan juga privatisasi atas barang publik yang membuka peluang bagi korporasi-korporasi untuk menguasai sumber daya alam Indonesia.

Sedangkan massa-rakyat (common peoples) hanya akan selalu terhimpit oleh krisis sosial-ekologis  akibat logika destruktif dari model pembangunan ekstraktivis  yang kapitalistik dan krisis ekonomi dimana laporan Oxfam menyatakan ketimpangan ekonomi yang tinggi di Indonesia  karena kekayaan 1 persen orang Indonesia memiliki 45 persen dari kekayaan nasional.

Agenda utama reformasi seperti desentralisasi pun dalam proses nya hingga saat ini justru melahirkan masalah-masalah baru dalam bidang politik melahirkan aktor-aktor institusional yang parasit meminjam istilah Vedi Hadiz melahirkan oligarki kapitalis daerah dan juga didalam pengelolaan sumber daya alam melahirkan konflik-konflik sumber daya alam baik antara negara dengan masyarakat, masyarakat dengan perusahaan dan juga korporasi yang didukung negara tentunya dengan masyarakat.

Dalam laporan Tinjauan Lingkungan Hidup Walhi 2018 di tahun 2017 sedikitnya terdapat 220 kasus konflik lingkungan hidup yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam di 13 provinsi hal tersebut berujung kepada terjadinya kekerasan dan kriminalisasi. Menurut laporan tersebut sudah terdapat 152 orang mengalami kekerasan dan kriminalisasi yang melibatkan aktor negara dan juga korporasi yang didukung oleh negara.

Pendekatan yang dilakukan oleh negara di dalam menangani konflik tersebut meminjam istilah Nancy Lee Peluso yaitu menggunakan pendekatan premanisme yang dilaksanakan oleh aparat negara sendiri atau menggunakan jaringan sipil nya didalam masyarakat.

Permasalahan tersebut menjadikan negara Indonesia tidak berada didalam jalur yang benar untuk menuju tujuan konstitusi yaitu masyarakat adil dan makmur serta menjalankan amanat reformasi sesungguhnya untuk membangun sebuah negara demokratis yang bebas dari segala macam kontrol atau belengu negara terhadap masyarakat sipil melalui penegakan HAM.

Baru-baru ini, kebijakan negara kembali membuat kemunduran dari proses demokratisasi Indonesia dengan kemunculan instrumen politik yang bertendensi otoritarian seperti Perppu Ormas No 2/2017 yang merupakan langkah negara untuk mendominasi dan mengkontrol kekuatan masyarakat sipil dengan dalih kebangkitan politik ekstrimisme dan radikalisme.

Negara dengan kebijakan ini justru menghambat partisipasi warga secara penuh untuk dapat terlibat didalam urusan publik ataupun mengorganisir diri untuk menjadi kekuatan politik yang menandingi kuasa negara yang cenderung korup dan otoritarian.

Selanjutnya adalah RUU KUHP yang sedang dibahas oleh DPR merupakan sebuah pelanggaran terhadap HAM karena intervensi negara terhadap tubuh individu yang seharunsya menjadi ranah privat dan juga diskriminasi terhadap LGBT yang dapat mengkriminalisasikan mereka. Hal tersebut bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 dan juga Pancasila sila kedua “kemanusiaan yang adil dan beradab”.

Kemunduran yang terakhir adalah dengan munculnya nota kesepemahaman (MOU) antara Polisi dengan TNI tahun 2018 yang merupakan sebuah pintu masuk untuk bangkitnya kembali militerisme di Indonesia. Agenda politik pasca- reformasi untuk membangun agenda supremasi sipil dan menghapus campur tangan militer didalam urusan sipil melalui perjuanganya menghapus dwifungsi militer justru gagal.

Pemerintahan saat ini memberikan lampu hijau untuk kembalinya militer bekerjasama dengan Polri dengan dalih operasi militer selain perang yang berhak untuk merepresi demonstrasi dan mogok massa. Hal ini berpotensi dapat melanggar kebebasan untuk berkumpul, kemerdekaan mengemukakan pendapat dan hak untuk mogok kerja seperti yang dijamin didalam UUD 1945 pasal asal 28, pasal 28E ayat (2) dan (3) dan juga Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Konvenan Hak Sipil dan Politik.

Apa yang harus kekuatan masyarakat sipil lakukan? selain dengan menjalankan perjuangan melalui jalur advokasi diranah politik penekan yang berada di ranah politik informal  kita harus bersatu didalam politik formal yaitu membangun jejaring kekuasaan alternatif dari masyarakat sipil.

Membangun kekuatan kontra-hegemoni yang dapat menyatukan berbagai macam agenda perjuangan demokrasi dan juga perjuangan isu-isu sektoral yang ada dengan menjadi simpul untuk perjuangan politik mereka. Kita butuh institusionalisasi politik dari kekuatan politik masyarakat sipil yang ide  politik nya non-divisive.

Institusionalisasi politik ini harus berus berbentuk sebuah gerakan sosial-politik yang dapat masuk keranah politik kekuasaan melalui sebuah partai politik alternatif karena kita tidak dapat menghindar dari realpolitik saat ini. Tetapi, partai politik tersebut haruslah mempraktikan demokrasi partisipatoris yang berlandaskan selalu kekuatan politik masyarakat sipil.

Melihat partai politik yang menjadi oposisi sekarang ini didalam pemerintahan sudah tercerabut dari konstituenya dan menggunakan agenda-agenda politik identitas yang sangat merusak. Kita sangat membutuhkan sebuah harapan dan imajinasi yang baru didalam berpolitik untuk membangun Indonesia yang bersih, adil dan lestari.

ariq.andarmesa
ariq.andarmesa
Anggota Partai Hijau Indonesia dan Mahasiwa Ilmu Politik Universitas Padjadjaran 2013.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.