Gunung Bromo, ikon pariwisata Indonesia yang memukau dengan lanskap vulkaniknya, kini tercoreng oleh temuan mengejutkan: ladang ganja seluas 1,5 hektare ditemukan di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), tepatnya di Desa Argosari, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang. Temuan ini mengundang pertanyaan besar—bagaimana mungkin sebuah kawasan konservasi dan wisata internasional menjadi lokasi budidaya narkotika?
Penemuan ladang ganja ini tidak hanya mencoreng citra Gunung Bromo sebagai destinasi wisata dunia, tetapi juga membuka tabir persoalan yang lebih kompleks: lemahnya pengawasan kawasan konservasi, keterlibatan oknum lokal, dan jaringan distribusi narkotika yang kian canggih. Polisi menemukan sekitar 48 ribu batang ganja yang ditanam secara parsial di sudut-sudut tebing, tersembunyi di antara semak belukar yang lebat . Apakah ini kasus tunggal, atau puncak dari praktik ilegal yang lebih luas?
Kronologi Serta Titik Lokasi ditemukannya Ladang Ganja
Penemuan ladang ganja di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) bermula dari pengungkapan peredaran ganja di Kecamatan Tempursari, Lumajang, pada akhir September 2024. Saat itu, Polres Lumajang menyita lebih dari satu kilogram ganja kering, yang memicu kecurigaan adanya lokasi penanaman di sekitar kawasan tersebut. Setelah penyelidikan selama satu setengah bulan, polisi menemukan ladang ganja tersembunyi di hutan Desa Argosari, Kecamatan Senduro, yang masih dalam wilayah TNBTS. Di lokasi tersebut, petugas menemukan sekitar 41 ribu batang tanaman ganja yang ditanam di 59 titik berbeda, tersembunyi di antara semak belukar yang lebat .
Faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya penanaman ganja di kawasan konservasi ini antara lain adalah letaknya yang terpencil dan akses yang terbatas, menjadikan area ini ideal bagi kegiatan tersembunyi. Selain itu, tekanan ekonomi pasca-pandemi, terbatasnya lapangan pekerjaan, dan potensi keuntungan besar dari penjualan ganja turut mendorong sebagian orang untuk mengambil jalan pintas. Celah dalam sistem pengawasan kawasan konservasi juga memperparah situasi.
Dalam persidangan, terungkap bahwa ada sosok bernama Edy yang diduga sebagai aktor intelektual di balik ladang ganja ini. Edy disebut oleh para terdakwa sebagai penyedia bibit, pemberi upah, dan penampung hasil panen ganja. Hingga saat ini, Edy masih dalam daftar pencarian orang (DPO)
Keresahan dan Spekulasi Warganet
Temuan ini juga memicu spekulasi di kalangan warganet mengenai keterkaitan antara sejumlah peraturan di kawasan wisata TNBTS dengan upaya menyembunyikan keberadaan ladang ganja. Misalnya, pembatasan penerbangan drone dan aturan wajib menggunakan pemandu bagi pendaki gunung dianggap sebagai cara untuk menghindari kemungkinan ladang ganja terpantau atau ditemukan oleh pendaki
Kasus ini semestinya menjadi momentum reflektif bagi pemerintah dan masyarakat. Penindakan hukum memang penting, tetapi pencegahan jauh lebih krusial. Kita perlu membangun sistem yang memperkuat kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan konservasi, sekaligus memperketat pengawasan berbasis teknologi dan partisipasi warga. Gunung Bromo bukan sekadar aset pariwisata, melainkan warisan budaya dan alam yang wajib dijaga dari segala bentuk eksploitasi, baik legal maupun ilegal.
Ladang ganja di Gunung Bromo seharusnya menjadi alarm keras bagi seluruh elemen bangsa. Di balik keindahan yang menenangkan, bisa jadi tersembunyi persoalan yang mendalam. Sudah saatnya kita menjaga Bromo bukan hanya dari erupsi alam, tetapi juga dari letusan moral akibat keserakahan manusia.