Ampel, Surabaya, dan Denyut Kebangsaan
Surabaya tidak hanya dikenal sebagai “Kota Pahlawan” karena dentuman senjatanya di 10 November 1945, tetapi juga karena denyut spiritual dan intelektual yang lahir dari kawasan tua bernama Ampel. Di sanalah, dalam lorong-lorong sempit dan rumah-rumah bersejarah, tumbuh pemikiran Islam yang dinamis sekaligus nasionalis. Dari Ampel, lahir para ulama dan pemimpin pergerakan yang tidak hanya membela agama, tetapi juga menanamkan kesadaran kebangsaan.
Dua nama yang patut dikenang dalam konteks ini adalah Kyai Mas Mansoer dan Kyai Hasan Gipo. Keduanya berasal dari akar yang sama—tradisi keilmuan Islam di Surabaya—tetapi tumbuh menjadi dua poros yang berbeda arah gerak, namun satu tujuan: Indonesia merdeka yang berkeadaban.
Kyai Mas Mansoer: Modernis dari Peneleh
Kyai Mas Mansoer, lahir di Surabaya pada 1896, dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah yang membawa semangat rasionalisme Islam. Ia menempuh pendidikan di Mekkah dan kemudian di Mesir, menyerap pemikiran modernis dari Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Ketika kembali ke tanah air, Surabaya menjadi ruang eksperimentasi gagasannya tentang kemajuan umat Islam.
Di bawah kepemimpinannya, Muhammadiyah cabang Surabaya tumbuh menjadi gerakan sosial yang aktif: mendirikan sekolah, rumah sakit, dan wadah diskusi kaum muda. Mas Mansoer menolak taklid buta dan menyeru agar umat Islam berpikir kritis terhadap zaman. Namun, yang lebih penting, ia menegaskan bahwa Islam tidak boleh berhenti di masjid; Islam harus hidup di jalan-jalan Surabaya.
Dalam pandangan Mas Mansoer, iman tanpa aksi sosial hanyalah retorika. Itulah sebabnya, ketika bangsa ini mencari bentuk perjuangan, ia tidak ragu bergabung dalam Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dan kemudian Masyumi, bersama para ulama lintas ormas. Baginya, kemerdekaan adalah bagian dari ibadah sosial—jihad dalam arti kebangsaan.
Kyai Hasan Gipo: Tradisionalis yang Teguh di Jalan Umat
Berbeda dengan Mas Mansoer, Kyai Hasan Gipo adalah figur kuat di kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Ia lahir dari keluarga pedagang Arab di Surabaya dan menjadi saksi hidup dinamika perdagangan, kolonialisme, dan kebangkitan Islam di Ampel. Sebagai Ketua Umum PBNU pertama (1926–1937), Hasan Gipo berperan besar dalam mengonsolidasikan ulama pesantren dan santri di tengah tekanan modernisme dan kolonialisme.
Ia meyakini bahwa kekuatan Islam Nusantara justru terletak pada tradisi, bukan pada penolakan terhadapnya. Ia menolak pandangan bahwa modernisasi harus menghapus akar budaya. Bagi Hasan Gipo, agama harus membumi di tengah rakyat, bukan hanya mengawang di langit ide-ide.
Meski berangkat dari tradisi yang berbeda, Hasan Gipo dan Mas Mansoer sama-sama berpandangan bahwa Islam harus menjadi sumber moral perjuangan kebangsaan. Bedanya, Hasan Gipo menguatkan akar, sementara Mas Mansoer membentangkan cabang.
Dua Jalan, Satu Tujuan
Seringkali orang menempatkan NU dan Muhammadiyah seolah dua kutub yang tak bersentuhan. Namun, kisah Mas Mansoer dan Hasan Gipo di Surabaya membuktikan sebaliknya. Mereka berdua sama-sama membela rakyat kecil, sama-sama menolak penjajahan, dan sama-sama mengajarkan Islam sebagai kekuatan pembebasan.
Pada masa pergerakan nasional, kedua tokoh ini kerap berinteraksi di forum-forum kebangsaan, termasuk dalam MIAI yang berpusat di Surabaya. Dari forum inilah lahir semangat persatuan Islam yang kemudian turut menyemai gagasan kemerdekaan.
Mereka berbeda dalam metode dakwah dan ekspresi keagamaan, tetapi bersatu dalam cita-cita kebangsaan: membangun manusia Indonesia yang beriman, cerdas, dan merdeka.
Ampel Sebagai Ruang Spiritual dan Intelektual
Ampel bukan sekadar kompleks makam Sunan Ampel yang diziarahi ribuan orang setiap tahun. Ia adalah simbol perjumpaan antara keislaman dan kebangsaan, antara spiritualitas dan praksis sosial. Dari Ampel, lahir tokoh-tokoh yang memahami bahwa agama tidak boleh berhenti di mihrab, tetapi harus turun ke jalan, ke pasar, ke ruang publik.
Mas Mansoer dengan gagasan modernisasinya, dan Hasan Gipo dengan keteguhan tradisionalnya, adalah dua wajah dari satu cermin besar: Islam Nusantara yang progresif sekaligus berakar. Dari Ampel, mereka menyalakan lentera untuk Surabaya, dan dari Surabaya, cahaya itu menyinari Indonesia.
Refleksi: Menyambung Napas Kebangsaan
Kini, di tengah derasnya arus globalisasi dan menguatnya polarisasi sosial, warisan Mas Mansoer dan Hasan Gipo menjadi sangat relevan. Keduanya mengajarkan bahwa perbedaan jalan tidak berarti perpecahan, dan bahwa modernitas tidak harus memutus tradisi.
Kita bisa belajar dari keduanya: menjadi muslim yang terbuka seperti Mas Mansoer, dan tetap teguh berakar seperti Hasan Gipo.Ampel adalah metafora bagi Indonesia—tempat di mana berbagai tradisi, ide, dan iman bertemu, lalu bersatu dalam semangat kemanusiaan.
Di Surabaya, mereka berdua pernah menyalakan bara perjuangan. Tugas kita hari ini adalah menjaga apinya agar tidak padam. Apalagi buat Arek Suroboyo atau generasi muda kota pahlawan, tentunya harus belajar kembali dari kedua tokoh tersebut. Belajar tidak hanya berhenti pada sejarah secara kronologis, tetapi perlu untuk mengambil esensi dari kehidupan dari dua Arek Ampel. Wallahu A’lam