Menikmati musik rock bagi sebagian orang dapat membangkitkan mood mereka pada saat bekerja bahkan mampu membelalakan mata saat mengantuk. Dentuman drum yang bertalu-talu dengan tempo yang cepat dan distorsi suara gitar yang kadang membuat ngilu telinga namun menciptakan semangat dalam diri pendengarnya.
Tapi, pernahkah anda menyempatkan diri untuk menelisik lebih jauh makna lirik yang terkandung dalam musik rock? Jika belum atau ingin mendiskusikannya bersama penulis, mari kita selami bersama lirik-lirik Nirvana yang bernuansa feminis.
Kurt Donald Cobain, atau yang sering dikenal sebagai Kurt Cobain menjadi salah seorang seniman musik grunge dan pencipta lagu era 90an yang digandrungi oleh generasi muda saat itu dan saat ini, karena ia menyuarakan segala bentuk kritikan atas sikap apatis kaula muda, dan mengajak mereka agar aktif untuk melawan ketidaksetaraan gender, rasisme, dan homofobia, tentunya melalui lirik lagu.
Tumbuh dan besar di Seattle, sebuah kota di barat laut Amerika Serikat, Kurt bersama band-nya, Nirvana, menciptakan sebuah karya-karya fenomenal dan timeless, yang agaknya masih belum bisa dicerna seluruh maknanya oleh masyarakat pada saat itu. Dalam sebuah pernyataannya, Kurt pernah memberi warning kepada para penggemarnya, bahwa jika ada seorang dan beberapa fans-nya yang membenci orang-orang kulit berwarna, homoseksual, dan wanita, maka ia melarang mereka untuk membeli kaset Nirvana.
Di salah satu lagunya yang berjudul Territorial Pissings, Kurt mencoba untuk menggambarkan dirinya sebagai antitesis dari penyanyi rock yang identik dengan seksisme dan menghormati kaum wanita melalui penggalan lirik, “Never met a wise man, if so it’s a woman.”
Pemahaman penulis terhadap penggalan lirik tersebut, wanita digambarkan oleh Kurt sebagai sosok yang bijaksana, karena wanita menempati posisi vital pada strata masyarakat sebagai agen sosialisasi primer (keluarga), khususnya perannya saat membentuk karakter seorang anak yang toleran dan penuh kasih sayang. Tanpa didikan seorang wanita (ibu) secara intens, anak tidak akan mampu bergaul dan beradaptasi di lingkungan sosial yang lebih luas yaitu masyarakat, hal itu bisa dikaitkan dengan adanya sikap paternalistik yang sering diidentikan dengan sikap mendominasi dan memposisikan derajat wanita dibawah kaum pria.
Perspektif Kurt terhadap fenomena sosial, yaitu pemerkosaan yang melanda kaum wanita, menurutnya selalu menyudutkan dan menyalahkan mereka. Padahal, dalam pemikiran Kurt tentang fenomena pemerkosaan, seharusnya yang menjadi pangkal permasalahan dari peristiwa tersebut adalah kaum pria yang semestinya diedukasi agar tidak melakukan perkosaan terhadap wanita, dan bukan tentang masalah wanita tersebut harus diajarkan bela diri atau pemerkosaan diakibatkan oleh penampilannya. Hal ini, ternyata sejalan dengan pendapat Mansour Fakih di dalam bukunya, yang sering penulis gunakan pada saat kuliah:
Banyak sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, yang bersumber dari penandaan (stereotipe) yang dilekatkan kepada mereka. Misalnya, penandaan yang berawal dari asumsi bahwa perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotipe ini. Bahkan jika ada pemerkosaan yang dialami oleh perempuan, masyarakat berkecenderungan menyalahkan korbannya. (Fakih, 2013, hlm. 17)
Kurt Cobain bukan hanya seorang seniman yang giat dalam aktivitas bermusik dan aktivis kesetaraan gender yang selalu menyuarakan aspirasi melalui lagu-lagunya, namun menurut saya ia juga merupakan seorang pecinta literasi. Jika anda pernah menonton tentang film berjudul Perfume, maka anda akan teringat dengan tokoh bernama Jean-Baptiste Grenouille.
Sebenarnya, film tersebut diangkat ke layar kaca berdasarkan cerita dari novel yang berjudul serupa karya Patrick Suskind. Novel Perfume merupakan novel kesukaan dari Kurt, sampai-sampai ia membaca dan menamatkannya berulang-ulang, setidaknya kurang lebih sepuluh kali serta kisah novel tersebut diabadikan melalui lagu berjudul Scentless Apprentice.
Selain itu, masih ada kaitannya dengan kegemaran Kurt terhadap literasi khususnya mengenai sejarah, lagu Nirvana yang berjudul Frances Farmer Will Have Her Revenge on Seattle, berkisah tentang kehidupan Frances Farmer (bukan tentang anaknya), seorang penulis wanita, aktris Hollywood dan tentunya sosialis.
Mungkin bagi anda yang sudah pernah membaca biografi Frances, tentunya tahu bahwa ia merupakan seorang kolumnis surat kabar atau majalah, karya tulisnya yang terkenal adalah God Dies. Artikel yang ia buat sontak menjadi kontroversi, disebabkan situasi pada saat itu (tahun 50-an) masih memanas, karena Amerika Serikat mengalami fobia terhadap komunis dan tulisan dari Frances tersebut dianggap sebagai representasi dari atheisme.
Singkatnya, kondisi masyarakat Amerika masa itu masih konservatif dan tidak dapat menerima ide-ide masyarakat luar, khususnya Uni Soviet. Sisa hidup dari Frances dijalani di sebuah rumah sakit jiwa, karena dianggap telah di-brainwash oleh paham-paham ke-kirian.
Hal tersebut, mempertegas kembali bahwa Kurt Cobain mencitrakan dirinya sebagai seorang rocker yang pro feminis karena ia mengapresiasi perlawanan yang ditujukan Frances di dalam mempertahankan prinsip dan ideologinya dan tulisannya yang memperjuangkan hak-hak buruh.
Akhir kata, sebagai kesimpulan, musisi jenius bernama Kurt Cobain memiliki sifat empati yang sangat besar terhadap penyetaraan gender dan perjuangan hak-hak wanita. Ia menulis dan mencipta lirik lagu dengan tidak melupakan pentingnya literasi sehingga menghasilkan karya yang bisa menggerakan masyarakat agar tidak berpikiran sempit.
Sumber Referensi:
- Fakih, M. (2013). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- R. Cross, Charles. (2005). Havier Than Heaven : Biografi Kurt Cobain. Yogyakarta : Alinea