Sabtu, April 20, 2024

Kurikulum (Pasca) Pandemi

Ari Ambarwati
Ari Ambarwati
Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI)-Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP)-Universitas Islam Malang Penulis Buku Nusantara dalam Piringku (Gramedia, Juni 2019) Selisik Sastra Mutakhir (Editor; Intelegensia Media, 2019) Membuat Anak Rajin Belajar Mudah Kok (Tangga Pustaka, Mizan Grup, 2009)

I discovered Deborah Ellis’s books in the school library after my head teacher encouraged me to go beyond the school curriculum and look for books I might enjoy (Malala Yosafzai)

Kutipan Malala Yousafzai, aktivis pendidikan dan pemenang Nobel termuda, mengingatkan kurikulum membuka jalan bagi siswa untuk bertindak lebih literat. Kurikulum dalam pengertian umum adalah keseluruhan pengalaman siswa, yang dijalani dalam proses pendidikan. Pada praktiknya, kurikulum mengarahkan semua bentuk kegiatan pendidikan guna mencapai tujuan pendidikan.

Sejak 1947, Indonesia tercatat mengalami dinamika perkembangan kurikulum. Hingga saat ini, Indonesia memiliki setidaknya 11 dokumen kurikulum, yaitu kurikulum 1947, kurikulum 1964, kurikulum 1968, kurikulum 1973, kurikulum 1975, kurikulum 1984, kurikulum 1994, kurikulum 1997, kurikulum 2004, kurikulum 2006, dan kurikulum 2013.

Merdeka Belajar yang digulirkan Menteri Nadiem Makarim tidak secara spesifik mengganti kurikulum 2013 Revisi, tetapi lebih memberi keleluasaan sekolah untuk mengembangkan kurikulum sesuai potensi sekolah dan wilayah masing-masing. Lalu bagaimana kurikulum pendidikan kita di masa dan selepas pandemi nanti?

Rapat Koordinasi Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Kementerian Agama (Kemenag), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yang berlangsung Rabu, 29 April 2020, menelurkan sembilan rekomendasi.

Salah satu rekomendasi adalah menyusun dan menetapkan kurikulum dalam situasi darurat. Delapan rekomendasi lainnya adalah penilaian hasil belajar tahun ajaran 2019/2020 agar memperhatikan keragaman siswa, dengan berbagai kondisinya; daerah membantu guru honorer terdampak Covid-19; relaksasi aturan penggunaan Bantuan Opersional Sekolah (BOS) untuk pembayaran guru honorer; penyederhanaan administrasi untuk pengubahan alokasi penggunaan dana BOS; daerah agar melalukan terobosan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ); penguatan literasi digital; komunikasi intensif selama pemberlakuan PJJ; perhatian khusus PJJ bagi siswa berkebutuhan khusus.

Hemat saya, penyusunan kurikulum dalam situasi darurat bukan sekedar antisipasi terhadap pandemi Covid-19 yang saat ini melanda Indonesia dan dunia, tetapi juga seharusnya menjadi desain besar untuk mendinamisasi kurikulum pendidikan nasional selepas pandemi. Kurikulum seharusnya tidak hanya dipahami sebagai sebuah dokumen yang menjawab persoalan dan tantangan pada masanya semata. Tetapi penyusunan kurikulum juga memampukan sistem pendidikan memprediksi kebutuhan, persoalan, dan tantangan masa depan.

Kurikulum sejatinya dibuat untuk memastikan semua sistem dan komponen pendidikan kompatibel dengan problem dan tantangan masa kini, pun masa depan. Dalam konteks Indonesia, cetak biru profil manusia yang kompatibel dengan problem dan tantangan Indonesia hari ini dan masa depan, sekaligus bermental penyintas pandemi Covid-19 perlu dirumuskan dan diupayakan.

Profil mutakhir manusia Indonesia perlu digagas ulang, sebab kini kita tak lagi cukup menjadi manusia Indonesia yang toleran, suka bergotong royong, dan mengedepankan praktik musyawarah untuk mufakat. Kita juga memerlukan pemutakhiran profil manusia Indonesia yang cakap menghubungkan pengalaman empirik leluhur terkait bencana nonalam maupun bencana alam  dengan pengetahuan terkini, yang memberdayakan manusia untuk mengelola dan mengaktifkan piranti-piranti kemanusiaannya.

Selama masa pandemi Covid-19, kita benar-benar diuji untuk menjadi pribadi yang adaptif, mitigatif, sekaligus altruis. Adaptif karena kondisi sekitar memaksa kita berjarak secara fisik dan sosial dengan lingkungan, sekaligus mampu mengatasi kendala atas segala konsekuensi yang mengiringi laku perentangan jarak tersebut.

Kemahiran beradaptasi dengan kondisi pandemi Covid-19 melapangkan jalan bagi kecakapan manusia untuk berkontribusi aktif mengurangi resiko bencana yang ditimbulkan. Kemampuan beradaptasi menjadi kunci dan prasyarat bagi kecakapan mitigasi. Kemampuan beradaptasi dan mitigasi memberdayakan manusia menolong dirinya sendiri. Setelah kedua kemampuan itu dikuasai, maka manusia difasilitasi dan didorong agar cakap dan mampu bertindak altruis.

Kurikulum darurat yang disusun di masa pandemi, sejatinya bukan hal yang luar biasa. Sebab kurikulum adalah dokumen, yang bisa diubah kapanpun dan diselaraskan dengan kebutuhan dan tantangan terkini. Tetapi kurikulum juga bukan dokumen tertulis, yang hanya dibuat untuk kepentingan saat itu saja. Kurikulum darurat yang dibuat hari ini, harus mampu meletakkan landasan yang kokoh guna mengembangkan kurikulum pascapandemi.

Selepas pandemi, apakah kita masih memerlukan sekolah dengan frekuensi enam atau lima hari dalam seminggu? Selepas pandemi masihkah durasi belajar di sekolah sama dengan durasi sebelum pandemi menerjang? Selepas pandemi masihkah kita memerlukan gedung-gedung sekolah berikut sarana pendukungnya dengan biaya perawatan yang relatif mahal, jika pembelajaran bisa dilaksanakan dengan merentang jarak? Apakah selepas pandemi, rutinitas bersekolah masih sama dengan sebelum masa pandemi? Perlukah wajah pendidikan kita bersalin sedemikian rupa untuk menyokong era normal baru yang sekarang ini kita jalani?

Saya pikir pertanyaan-pertanyaan itu perlu jawaban yang memadai dengan melihat fakta yang saat ini kita hadapi. Penyusunan kurikulum darurat di masa pandemi adalah keniscayaan. Keniscayaan yang memampukan manusia Indonesia mengakuisisi mental penyintas dan kompatibel dengan tantangan Indonesia dan dunia pascapandemi. Pandemi Covid-19 memberi pesan kuat bahwa dunia menginginkan manusia yang sehat dan mampu menjalani perilaku hidup sehat, agar bisa berkompetisi dalam seleksi alam yang kian ketat.

Kita perlu kurikulum yang tidak biasa dan begini-begini saja, agar segera keluar dari jerat pandemi yang berkapanjangan. Seperti yang dinyatakan Malala di awal tulisan ini, bahwa kurikulum memampukan manusia berikhtiar lebih baik dari yang sudah disuratkan.

Ari Ambarwati
Ari Ambarwati
Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI)-Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP)-Universitas Islam Malang Penulis Buku Nusantara dalam Piringku (Gramedia, Juni 2019) Selisik Sastra Mutakhir (Editor; Intelegensia Media, 2019) Membuat Anak Rajin Belajar Mudah Kok (Tangga Pustaka, Mizan Grup, 2009)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.