Minggu, 04 April 2021, umat Katolik sejagat merayakan hari raya Paskah. Paskah adalah peristiwa kebangkitan. Karena itu merayakan Paskah berarti merayakan kemenangan Kristus atas maut. Kristus telah bangkit dari antara orang mati. Kini Ia telah hidup kembali. Maut tidak berkuasa lagi atas Dia.
Paskah tentu tidak terlepas dari kisah sengsara Tuhan Yesus. Jalan salib yang harus dilalui Kristus menuju puncak Golgota. Via dolorosa: jalan kesengsaraan. Jalan penderitaan. Di jalan salib ini Yesus Kristus menderita, memikul salib hingga ke bukit Kalvari. Dan di puncak Golgota Yesus meregangkan tanganNya di palang penghinaan.
Namun di ujung jalan penderitaan ini ada sukacita kebangkitan. Inilah inti iman Kristiani. Setiap orang Kristen percaya bahwa Yesus Kristus yang wafat di kayu salib bangkit pada hari ketiga. Hari Paskah. Sebagaimana dikatakan Santu Paulus dalam suratnya kepada orang Korintus, “Dan jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sailah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosa” (1 Kor.15:17).
Kebangkitan adalah bagian terpenting dari iman Kristen. Dan bukti kebangkitan Yesus adalah kubur Yesus yang kosong. Dan kisah kubur kosong ini dalam Injil ditemukan pertama kali oleh wanita-wanita. Penginjil Yohanes melukiskan bahwa “Pada hari pertama minggu itu, gi-pagi benar ketika hari masih gelap, pergilah Maria Magdalena ke kubur itu dan ia melihat bahwa batu telah diambil dari kubur itu” (Yoh. 20:1). Kubur telah kosong. Yesus sudah bangkit.
Kubur kosong adalah fakta kebangkitan. Kubur kosong merupakan tanda kemenangan. Kubur kosong adalah bukti Tuhan sungguh telah hidup. Ya kubur kosong itu artinya Tuhan telah mengalahkan maut.
Di saat umat Katolik merayakan Paskah, hampir sebagian besar wilayah Nusa Tenggara Timur dilanda bencana alam. Banjir, tanah longsor, angin kencang, ombak besar terjadi dalam dua hari terakhir ini. Bencana alam ini tidak hanya menimbulkan kerugian material tetapi juga menelan korban jiwa. Paskah yang menjadi moment merayakan sukacita kebangkitan berubah menjadi ratap pilu kesedihan.
Di kampung halaman saya Leuwayan, Kedang, Lembata juga tidak luput dari terpaan bencana alam. Sekitar dini hari, ketika masyarakat sedang tertidur dengan pulas, tanpa disangka-sangka dari puncak gunung Uyelewun banjir bandang datang melanda.
Banjir bandang yang terjadi di perbatasan antara desa Leuwayan dan Leudanung ini melewati tempat pekuburan umum desa Leuwayan. Raq Utuq nama tempat pekuburan umum ini. Di tempat ini Kakek, Nenek, Bapa, Mama, Om, Tanta, Bibi, Kaka, Ade dan semua keluarga desa Leuwayan yang telah meninggal dikuburkan.
Akibat banjir badang ini, kubur-kubur semua keluarga yang telah meninggal tertimbun material banjir. Juga hanyut tersapu banjir ke laut. Semua rata dengan tanah. Kubur kosong.
Di saat perayaan Paskah kubur kosong merupakan kabar sukacita. Namun kubur kosong yang tersapu banjir bandang di kampung kami saat ini adalah kabar dukacita. Bila peristiwa kebangkitan Kristus yang ditandai dengan kubur adalah berita gembira, peristiwa banjir bandang yang menyapu bersih kubur-kubur keluarga di kampung kami adalah berita sedih.
Kubur atau makam bagi masyarakat Indonesia pada umumnya sering dijadikan tempat ziarah. Di makam merekalah kita bertemu (walau tidak dalam rupa secara langsung) dengan keluarga yang sudah meninggal. Di kubur itu pula kita saling mendoakan. Kita mendoakan mereka agar bahagia di alamnya. Sembari meminta keluarga yang sudah meninggal mendoakan kita di dunia ini.
Karena itu ketika menemukan kubur yang kosong, tentu kita akan merasa sedih. Ini adalah kehilangan yang kedua. Kita mengalami kehilangan saat keluarga meninggal. Maka ketika kubur mereka juga hilang, ini adalah kehilangan yang lebih memilukan. Karena tidak ada yang lebih memilukan setelah mengalami kehilangan yang kedua. Sungguh sedih sekali.
Bagi kami orang Leuwayan (tentu juga yang lain) kunjungan ke kubur adalah tradisi pada moment tertentu, hari raya misalnya. Juga sebuah aktivitas wajib ketika kami yang tinggal di luar desa ada kesempatan kembali ke kampung. Berziarah ke makan keluarga membakar lilin sambil berdoa. Sebuah dialog dengan keluarga yang sudah meninggal. Berziarah ke makam juga adalah sebentuk kunjungan, sapaan dan jalinan komunikasi.
Lalu ketika kubur-kubur itu telah kosong, hilang tak berbekas, kemanakah kami akan berkunjung bila pulang kampung nanti? Di manakah lilin ini akan kami bakar di saat kesempatan pulang libur nanti? Untuk semua keluarga yang telah meninggal yang dikuburkan di pekuburan umur Raq Utuq, walau kubur telah kosong tetapi kalian semua masih tetap ada di hati orang-orang Leuwayan.
Dalam terang Kristiani, peristiwa kubur kosong keluarga di Raq Utuq pada hari raya Paskah kami maknai sebagai peristiwa iman. Pada Minggu Paskah ketika perempuan-perempuan yang mengunjungi makam Yesus mendapatkan kubur itu telah kosong; dan orang Leuwayan mendapati kubur keluarga yang telah meninggal di Raq Utuq juga kosong merupakan bukti bahwa mereka telah bangkit bersama Kristus sebagai yang sulung.
Sebagaimana Kristus mendahalui murid-muridNya ke Galilea sesudah bangkit, orang Leuwayan yang terkubur di Raq Utuq yang kini kubur mereka sudah kosong telah mendahului kami ke rumah Bapa. Di rumah Bapa, tempat di mana kita akan kembali, bersama Kristus yang telah mempersiapkan tempat bagi semua orang percaya kepadaNya, kelak kita akan bertemu. Sebagaimana dikatakan Kristus, “Di rumah Bapa banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu ” (Yoh.14: 2-3).