Semenjak pandemi Covid-19 ditetapkan sebagai bencana nasional, seluruh sendi kehidupan bangsa berhadapan dengan situasi yang mahapelik. Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ditempuh sebagai sebuah langkah taktis oleh pemerintah pusat guna menghambat penyebaran dan penularan virus korona yang semakin masif terjadi. Meski penerapan dan pencanangan awal PSBB menunai kontroversi, pada akhirnya langkah ini tetap diterapkan dengan berbagai macam persoalan di lapangan.
Persoalan tersebut muncul kepermungkaan di saat kebijakan PSBB diselenggarakan dengan berbagai aturan. Di saat publik menuntut pemerintah untuk mengambil kebijakan yang tangkas dan menjamin rasa aman kepada setiap masyarakatnya, justru publik malah disungguhkan kenyataan yang memperlihatkan betapa tidak tertatanya komunikasi dan hubungan antarkelembangaan dalam penanganan pandemi ini.
Tampak terlihat dengan jelas bahwa hubungan kelembagaan antar Kemenkes, BNPB, Kemenhub, Kemenkeu dan beberapa lembaga negara lainnya belum terbangun menjadi satu kesatuan yang utuh dan solid dalam mengatasi Covid-19. Persoalan pun juga menjadi semakin pelik ketika lembaga-lembaga negara ditingkat pusat tersebut harus bersinergi dengan pemerintahan daerah provinsi, dan kabupaten/kota.
Pemerintah daerah seolah hanya menerima bola dari pemerintah pusat untuk mengatasi pandemi di wilayahnya. Seolah ruang gerak bagi pemerintah daerah terbatas dan harus menunggu instruksi dari pusat terlebih dahulu. Padahal ditengah kondisi darurat saat ini, pemerintah daerah layaknya diberi suatu diskresi untuk mengatasi rentetan dampak ekonomi maupun sosial yang diakibatkan pandemi Covid-19 tersebut.
Selain itu, persoalan yang harus dihadapi di lapangan adalah apakah status penanganan pandemi Covid-19 merupakan urusan bidang kesehatan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan atau urusan bencana sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Jika kita mengacu pada Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 maka urusan konkuren kesehatan ialah bersifat sentralistis dibawah kementerian kesehatan dan dilaksanakan dengan melibatkan pemerintahan daerah melalui tugas pembantuan yang ada pada pemerintahan daerah tersebut. Namun apabila kita mengacu pada Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 maka urusan tanggap darurat bersifat sentralistis melalui presiden (BNPB) dan dilaksanakan oleh pemerintah daerah provinsi beserta kabupaten/kota dengan memperhatikan asas desentralisasi.
Adanya dualisme kelembagaan dan peraturan tersebut membuat kebijakan beserta status penanganan seolah sumir meskipun dalam tataran praktisnya BNPB tampil mendominasi dalam pelaporan kepada publik terkait dengan kondisi terkini persebaran Covid-19 di Indonesia. Namun implikasi dari dualisme peraturan tersebut berujung pada ketidakjelasan status penanganan yang berimplikasi secara langsung terhadap kurang maksimalnya kinerja dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah di wilayahnya masing-masing.
Akhirnya, pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak mampu bersinergi dengan baik. Hal ini terlihat ketika beberapa wilayah di indonesia sebelum PSBB diberlakukan telah mengeluarkan kebijakan “semi lockdown” yang jelas saja ditentang pemerintah pusat kala itu. Disadari atau tidak seolah terjadi ketidaktaatan, inkonsistensi dan ketidakharmonisan antara pemerintah pusat dan daerah yang bermuara pada tidak maksimalnya penerapan asas desentralisasi dan tugas pembantuan yang diemban pemerintah daerah tersebut.
Lemahnya koordinasi kelembangaan yang berujung pada lambannya eksekusi program strategis pemerintah jelas merupakan suatu kekurangan yang berimbas pada tersanderanya kepentingan publik guna mendapat jaminan kesehatan dan jaminan sosial yang baik.
Salah satu dampak yang paling dirasakan publik akibat lambannya eksekusi program strategis tersebut ialah tidak meratanya Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dibagikan kepada warga. Bahkan disejumlah daerah BLT tersebu diterima oleh warga dengan jumlah yang tidak sesuai dengan apa yang telah dijanjikan sebelumnya.
Keadaan ini terjadi salah satunya disebabkan ketidaksinkronan data yang dimiliki oleh pemerintah pusat dan daerah. Adalah suatu hal yang ironis ketika pemerintah dengan gencarnya menggaungkan revolusi industri 4.0 yang menyandarkan basis utama perekonomian pada akurasi data, justru malah data-data tersebut yang tidak akurat sebagaimana yang diharapkan.
Optimalisasi Peran Pemerintah Daerah
Mengingat adanya serangkaian norma hukum serta ketidakjelasan garis hierarkis dan koordinasi antar kelembagaan tersebut kiranya penting untuk dipertimbangkan untuk memperkuat urusan pemerintahan umum sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah.
Urusan pemerintahan umum adalah urusan yang menjadi kewenanangan presiden sebagai kepala pemerintahan dan dilaksanakan oleh gubernur ditingkat provinsi dan bupati/walikota ditingkat kabupaten/kota. Dengan demikian sinergisitas dan kerjasama yang terbangun antar pemerintah pusat daerah dapat berjalan dengan baik.
Otonomi daerah sejatinya memberikan ruang kepada pemerintah daerah untuk membuat suatu kebijakan yang berkesesuaian dengan kebutuhan yang ada pada wilayahnya. Pemerintah daerah harus diberi ruang untuk memberlakukan kebijakan yang bersifat strategis sesuai dengan kekhasan dan karakteristik wilayah tersebut.
Setiap tingkatan pemerintahan tidak boleh berjalan sendiri-sendiri. Seluruh usaha yang telah dilakukan pemerintah pusat maupun daerah harus saling mengisi untuk tercapainya hasil yang optimal sebagaimana yang diharapkan.
Pandemi Covid-19 bisa menjadi batu uji sekaligus sebagai media perbaikan dan pembelajaran terkait dengan pola relasi kekuasaan yang ada di pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Jangan sampai hanya karna persoalan proses birokrasi, kita mengesampingkan keselamatan dan kesejahteraan warga negara.