Kasus HIV-AIDS di Indonesia hingga saat ini belum menunjukkan indikasi penurunan. Berdasarkan data Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia hingga pertengahan 2017 tercatat sekitar 36,7 juta jiwa masyarakat Indonesia hidup dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV). Jumlah tersebut terindikasi terus meningkat hingga saat ini.
Oleh sebab itu, dibutuhkan upaya penanganan yang tepat guna menanggulangi penyebaran virus HIV-AIDS di Indonesia. Sebelumnya, Indonesia memliki suatu lembaga bernama Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2006 Tentang Komisi Penanggulangan AIDS yang juga memiliki kepanjangan tangan di daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Dilihat dari tugas pokok dan fungsinya, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) secara umum berkewajiban untuk menetapkan kebijakan dan rencana strategis nasional serta pedoman umum pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan AIDS. Kebijakan dan rencana strategis tersebut yang kemudian dilaksanakan pada tataran daerah oleh KPA Daerah bekerjasama dan berkoordinasi dengan organisasi perangkat daerah (OPD) terkait.
Tujuannya adalah, proses penanggulangan HIV-AIDS mulai dari tahapan pencegahan hingga penanganan dapat dilaksanakan tepat sasaran. Namun sangat disayangkan, disaat indikasi penyebaran HIV-AIDS di Indonesia semakin meningkat dan KPAD diberbagai daerah sedang menjalankan tugasnya bersama organisasi perangkat daerah (OPD) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) lainnya, pemerintah justru memilih untuk menghentikan tugas Komisi Penanggulangan AIDS.
Secara khusus, penghentian tugas KPAN disebutkan dalam Peraturan Presiden Nomor 124 tahun 2016 pasal 17a yang berbunyi; Ayat 1 : Komisi Penanggulangan AIDS Nasional menyelesaikan tugasnya paling lambat tanggal 31 Desember 2017.
Ayat 3: Dengan berakhirnya masa tugas Komisi Penanggulangan AIDS Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), segala aset Komisi Penanggulangan AIDS Nasional menjadi aset milik negara yang selanjutnya diserahkan kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan setelah dilakukan audit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Peraturan tersebut sontak mendapat tanggapan negatif dan kritik keras, terutama dari kalangan penggiat penanggulangan HIV-AIDS maupun masyarakat yang peduli terhadap upaya pencegahan HIV-AIDS.
Kritik pertama, lahirnya peraturan tersebut dirasa tidak secara intens melibatkan Komunitas, LSM, dan Sekretariat KPAN yang selama ini dirasa paling memahami kondisi real terkait dengan kasus HIV-AIDS di Indonesia.
Dampak dari tidak dilibatkannya stakeholders tersebut tentu saja melahirkan peraturan yang kontra produktif terhadap upaya penanganan HIV-AIDS yangs selama ini sudah dilakukan. Peraturan yang diharapkan dapat menguatkan lembaga KPA justru terbalik dan bahkan dianggap meniadakan peran KPA dalam upaya penanggulanagn HIV-AIDS.
Kritik kedua, dengan dihentikannya tugas KPAN dan KPAD, maka tugas penaganan HIV-AIDS akan berada dibawah kendali dan tanggung jawab Kementerian Kesehatan RI, dimana Sekretariat KPAN berpindah ke Kementerian Kesehatan RI dan sebagai Sekretarisnya adalah Dirjen P2PL Kemenkes RI.
Di daerah, tanggung jawab akan dialihkan kebidang P2P Dinas Kesehatan. Hal ini kemudian menimbulkan kekhawatiran baru, jika hanya ditangani oleh P2PL Pusat dan Daerah dikhawatirkan penanganan HIV-AIDS hanya akan ditangani dari sudut pandang kesehatan saja. Padahal, perlu diketahui bahwa selama ini pendekatan penanganan kasus HIV-AIDS juga harus memperhatikan dan melibatkan pihak yang memahami permasalahan ranah sosial, ekonomi, bahkan psikologi dari masing-masing penderita.
Kritik ketiga, dengan penghentian tugas KPAN dan KPAD secara otomatis kehilangan sumber daya manusia (SDM) yang selama ini bertugas dilembaga tersebut. Padahal selama ini (terutama di KPA Daerah), meskipun SDM yang ada mayoritas bertatus pegawai kontrak, merekalah yang secara konsisten melakukan upaya koordinasi dengan OPD terkait dalam upaya penanganan kasus HIV-AIDS.
Menjadi masalah baru ketika lembaganya dibubarkan, eks-SDM KPAD akan kehilangan pekerjaan dan SDM yang berada di P2P Dinas Kesehatan juga akan memiliki beban baru karena harus mem-back up dan menjalankan pekerjaan baru terkait HIV-AIDS.
Kritik keempat, penghentian tugas KPAN dan KPAD tentu akan menghambat upaya penanganan kasus HIV-AIDS yang juga melibatkan kerjasama dengan lembaga donor lain. Berdasarkan pernyataan KPA Nasional, sebagai akibat dari Perarturan Presiden Nomor 124 tahun 2016, program penanggulangan AIDS se-Indonesia tidak dapat berjalan sesuai rencana. Bantuan luar negeri senilai sekitar 150 milyar Rupiah dari Global Fund dan USAID juga tidak bisa dioperasionalkan, serta hampir semua kegiatan yang tersusun dengan donor terhenti. Hal tersebut tentu saja menghambat upaya penanganan HIV-AIDS secara menyeluruh.
Dari berbagai kritik tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa sesungguhnya keberadaan dan peran KPA, baik tingkat nasional maupun daerah masih tetap dibutuhkan sebagai upaya dalam proses pencegahan HIV-AIDS di Indonesia. Mereka memiliki peran sentral, dimana fokus utamanya mengkoordinir berbagai pihak terkait guna mensukseskan tujuan utama yakni mengetahui, mencegah, dan menangani penderita HIV-AIDS di Indonesia.
Meskipun peraturan sudah diketuk dan sulit untuk dirubah kembali, setidaknya para stakeholders dapat mendorong pemerintah pusat untuk segera menerbitkan Permenkes terkait teknis penanganan HIV-AIDS. Dengan adanya Permenkes, nantinya akan muncul kejelasan, utamanya terkait porsi operasional “siapa melakukan apa” dan “bagaimana cara melakukannya” sehingga penanganan HIV-AIDS menjadi jelas baik bagi pemerintah pusat hingga daerah, maupun bagi masyarakat terutama yang riskan tertular dan para penderita HIV-AIDS.