“Garam adalah hak seluruh rakyat Indonesia, oleh sebab itu kelangkaan garam harus segera diatasi”
Indonesia merupakan Negara yang menyimpan potensi sumber daya alam yang melimpah, baik di darat maupun di laut. Khususnya di sektor kelautan, terbilang lebih dari cukup untuk membangun perekonomian dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Menurut data terbaru dari penelitian Badan Informasi Geospasial (BIG) menyebutkan, total panjang garis pantai Indonesia adalah 99.093 kilometer. Dengan panjang garis pantai seluas ini, dapat dimanfaatkan untuk mengelola sumber daya yang ada semaksimal mungkin. Predikat sebagai Negara kepulauan terbesar yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, tidak menjamin perkembangan ekonomi dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.
Krisis garam menjadi pertanyaan bersama, di Negara yang memiliki potensi besar seperti Indonesia masih saja terjadi hal seperti itu. Sebuah ironi di negara ini, selalu mengalami kelangkaan, padahal tersedia sumber daya alam yang melimpah. Sebenarnya apa yang salah dengan Negara ini.
Sejak bulan lalu harga garam konsumsi tinggi, belakangan bahkan tiga kali lipat dari harga normal. Hal ini terjadi karena kurangnyapasokan sejak 2016. Padahal, juli hingga desember seharusnya musim panen. Tahun lalu, musim kemarau basah menyebabkan produksi garam rakyat turun drastic. Produksi garam konsumsi hanya 137.600 ton atau hanya sekitar 4 persen dari target 3 juta ton.sebagian besar garam konsumsi dipasok garam rakyat yang berasal dari pengeringan air laut. Di beberapa Negara, garam berasal dari tambang. (Tajuk Rencana, Kompas,7/28.)
Krisis garam berdampak pada hampir seluruh sektor perekonomian. Semua industri yang membutuhkan garam sebagai bahan utama produksi, terpaksa harus putar haluan. Industri ikan asin di Maluku mengalami kekurangan pasokan garam yang berujung pada terhambatnya proses produksi. Selain itu, beberapa karyawan di Bengkulu terpaksa di rumahkan oleh perusahaan karena bahan baku garam tidak mencukupi untuk produksi. Krisis garam ini menghambat roda perekonomian rakyat, khususnya golongan menengah ke bawah.
Hal semacam ini terus terjadi di Indonesia, ketika produksi dalam negeri mengalami kemacetan, maka keran impor menjadi solusi terakhir, nyatanya juga tidak efektif. Belum lagi pihak terkait yang mengurus kebijakan impor garam hampir selalu bermasalah. Di sini pemerintah dengan lembaga terkait, selalu lupa menyediakan payung sebelum hujan. Artinya selalu gagap dalam menghadapi masalah klasik seperti krisis garam, karena tidak belajar dari pengalaman sebelumnya.
Ketika keran impor dibuka, petani garam selalu menjadi tumbal dari kejamnya sistem perekonomian yang diterapkan. Biasanya keran impor dibuka hampir bertepatan dengan musim panen, sehingga garam petani lokal dihargai murah. Saat seperti ini lah petani garam semakin terkcekik dengan kebijakan impor.
Sejauh ini kesejahteraan petani garam belum mendapat perhatian serius dari pemerintah, padahal peran dan sumbangsih petani garam begitu besar. Bukan salah petani jika belum mampu menghasilkan garam dengan kulitas tinggi dan produksi yang banyak, tapi kekurangan alat produksi yang menjadi soal utama.
Cuaca yang tidak menentu dan petani, selalu menjadi korban ketika terjadi kelangkaan atau krisis garam di pasaran.
Padahal cuaca dan petani adalah subyek yang paling berperan dalam memproduksi garam, sedangkan alat penunjang produksi hampir tidak ada. Ketika terjadi kekurangan produksi, yang perlu dievaluasi adalah alat produksi yang digunakan petani itu sendiri.
Selama ini petani garam hanya dan masih menggunakan alat produksi tradisional yang itu kurang efektif dan efisien.
Perlu adanya revolusi industri garam di Indonesia dengan melibatkan pihak yang professional yang tidak melupakan peran petani. Penggunaan teknologi ramah lingkungan sudah seharusnya mulai diterapkan demi memenuhi kebutuhan dalam negeri tanpa harus mengimpor lagi. Pemerintah bisa menggalakkan metode produksi backyard yang terkenal mampu menghasilkan garam dengan metode yang sederhana.
Dari sisi tehnologi proses produksi garam beryodium dengan sistim backyard tidak membutuhkan suatu tehnologi yang canggih, hanya dengan metode yang sederhana dan dibutuhkan pengetahuan pada tahapan tertentu, sehingga produksi garam beryodium dengan sistim backyard tersebut dapat dilaksanakan oleh masyarakat pesisir, dan hal ini adalah sebuah sektor produksi kelautan yang dapat dijadikan sebagai mata pencaharian alternative nelayan, bahkan sebagai sumber pendapatan utama. Pembuatan garam beryodium dengan sistim back yard adalah pembuatan garam konsumsi yang sederhana tanpa memerlukan lahan tambak yang sangat luas tetapi hanya memanfaatkan pekarangan rumah sebagai lahan produksi garam. (sumber:http://www.bppp-tegal.com/v1/index.php?option=com_content&view=article&id=178:pembuatan-garam-beryodium-dengan-sistim-backyar&catid=44:artikel&Itemid=85)
metode di atas merupakan salah satu yang terbaik yang dapat dilakukan oleh seluruh petani garam di Indonesia.
Menyerahkan segalanya pada petani bukanlah solusi yang tepat dalam memenuhi kebutuhan garam dalam negeri. Pemerintah harus terlibat secara langsung dalam proses produksi garam, dalam hal ini dengan membantu menyediakan alat produksi dan pembinaan terhadap petani. Pemerintah melalui lembaga terkaitnya kalau memang serius berupaya mewujudkan cita-cita swasembada garam, harus terlibat dalam proses produksi itu sendiri.
Tidak hanya terlibat langsung dalam proses produksi, pemerintah juga harus mengontrol proses distribusi agar harga dapat dijangkau oleh masyarakat maupun industri yang mebutuhkan garam. Tetapi yang paling penting adalah upaya pemerintah dalam membina petani garam agar mampu memproduksi garam dalam jumlah yang banyak. Tak lupa pula kesejahteraan petani garam harus di prioritaskan setara dengan yang lainnya.