Dunia telah mengalami guncangan krisis energi dalam beberapa hari terakhir. Sejumlah negara pun merasakan dampak signifikan dari kegawatan tersebut. Jutaan rumah di China mengalami pemadaman listrik berskala besar. Hal yang serupa pun terjadi di Inggris dengan keterbatasan Bahan Bakar Minyak (BBM). Antrean kendaraan bermotor di beberapa stasiun pengisian BBM mengular selama beberapa hari.
Demi mengatasi krisis BBM yang terjadi, Pemerintah Inggris telah mengeluarkan sejumlah strategi. Pada 27 September 2021, Pemerintah Inggris memastikan pengemudi truk tangki BBM dari Angkatan Darat Inggris akan diterjunkan untuk mengatasi kedaruratan tersebut. Hal ini dilakukan sebagai dampak dari jumlah sopir truk untuk alat transportasi BBM di Inggris yang semakin merosot dalam beberapa tahun terakhir.
Kelangkaan BBM di Inggris dipicu akibat langkah Brexit oleh Inggris beberapa tahun yang lalu. Banyak sopir truk di Inggris berasal dari negara-negara Eropa yang kini sulit mendapatkan akses visa kerja lantaran Brexit. Akan tetapi, peran tenaga kerja transportasi ternyata amat krusial dalam rantai pasok industri di Inggris. Tanpa kehadiran pekerja transportasi, jalur-jalur distribusi barang dan bahan pokok menjadi terhambat.
Di Indonesia, tenaga kerja di sektor transportasi memang seringkali terabaikan. Berbagai kabar soal minimnya kesejahteraan mereka bukan hal yang asing lagi. Kasus-kasus, seperti tingginya jam kerja, sudah jadi pemandangan sehari-hari. Hal ini pun diperparah dengan kondisi pagebluk yang kian mendesak mereka bekerja lebih keras. Di situasi seperti ini, para pemegang kebijakan telah mengabaikan posisi penting tenaga kerja di sektor transportasi.
Selama pandemi COVID-19, sektor transportasi sebetulnya tidak berhenti bergulir. Pekerja sektor transportasi berperan penting dalam menggerakkan logistik selama pandemi. Peran mereka bisa disetarakan dengan tenaga kesehatan. Meskipun begitu, sebagian dari tenaga kerja transportasi menerima kenyataan pahit lantaran diberhentikan dari pekerjaan. Fakta ini jelas terjadi karena sektor transportasi benar-benar terpukul oleh pandemi.
Demi menyelamatkan pekerja transportasi, bantuan sudah diberikan oleh sejumlah pihak termasuk pemerintah. Rencana pemberian bantuan langsung tunai (BLT) oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub) layak diapresiasi. Sopir-sopir transportasi darat, seperti sopir bus antarkota, akan menikmati BLT tersebut. Bantuan dari Kemenhub sebelumnya sudah muncul dalam bentuk sembako sejak Juli 2021 sebanyak lebih dari 2.000 paket.
Hanya saja, bantuan BLT atau semacamnya bersifat temporer. BLT memang bisa menyambung hidup para pekerja transportasi, tetapi tidak untuk melanggengkan kesejahteraan mereka. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah bagaimana roda industri transportasi darat bisa berputar kembali sehingga mereka bisa bekerja. Tanpa langkah jangka panjang, peran krusial pekerja transportasi akan terganjal oleh urusan perut belaka.
Sejumlah strategi juga sebenarnya sudah disampaikan oleh pemerintah demi menggejot sektor transportasi termasuk pekerja di dalamnya. Peningkatan infrastruktur transportasi yang terus berjalan selama pandemi merupakan bukti konkret perhatian pemerintah terhadap sektor transportasi. Meskipun demikian, anggaran untuk memulihkan kesejahteraan pekerja transportasi tentu tidak sebesar anggaran pembangunan infrastruktur.
Isu kesejahteraan pekerja transportasi bukan masalah baru di Indonesia. Berdasarkan pernyataan International Transport Workers’ Federation pada 2019, upah pekerja transportasi amat terbatas jika dibandingkan dengan risiko pekerjaan yang tinggi. Sejumlah perusahaan bahkan tidak membayar pekerja transportasi sesuai peraturan upah minimum dari pemerintah. Ini jelas memperparah kondisi pekerja transportasi yang sudah merana.
Di sisi lain, industri logistik sesungguhnya berkembang sebelum pandemi menyerang. Berdasarkan data dari BPS, pada 2019, jumlah mobil barang yang beroperasi di Indonesia telah mencapai 5.021.888 unit. Angka pada 2019 ini naik lebih dari 10.5% jika dibandingkan dengan dengan jumlah mobil barang pada 2017. Hal ini menunjukkan betapa pesatnya perkembangan industri logistik yang ditopang oleh pekerja transportasi.
Selain itu, industri logistik ternyata meroket selama pandemi. Sesuai informasi dari Asosiasi Logistik Indonesia (ALI), arus pengiriman barang naik hingga 40% sejak COVID-19 tiba di Indonesia sampai Juli 2021. Kita pun merasakan langsung kondisi ini seiring semakin bertambahnya transaksi kita di beberapa marketplace. Akan tetapi, tren positif industri logistik ternyata tidak diimbangi oleh lapangan pekerjaan sektor transportasi yang memadai.
Sesuai data yang dirilis oleh BPS, jumlah lapangan pekerjaan di sektor transportasi mengalami penurunan terbesar jika dibandingkan dengan sektor lain. Pada Februari 2021, sekitar 0,3 persen lapangan pekerjaan di sektor transportasi lenyap. Angka ini setara dengan 393 ribu lapangan kerja yang hilang sejak Agustus 2020. Fakta ini cukup menjelaskan mengapa pekerja transportasi memang tertekan sejauh pandemi berlangsung.
Penurunan lapangan pekerjaan di sektor transportasi dapat mengindikasikan adanya beban yang berlebih pada pekerja transportasi. Pada saat mereka bertindak selayaknya pekerja krusial semasa pandemi, mereka tidak terbantu dengan adanya pekerja baru lantaran lapangan pekerjaan yang kian menipis. Kondisi-kondisi overwork adalah nyata bagi para pekerja transportasi yang masih menjalankan pekerjaan esensial mereka selama pagebluk.
Minimnya kesejahteraan serta tingginya beban kerja tentu mencekik kondisi pekerja transportasi di Indonesia. Apabila kondisi mengkhawatirkan ini terus berjalan, pekerja transportasi akan semakin tereksploitasi baik secara fisik maupun mental. Ujung dari penanganan buruk ini tentu kembali ke industri yang didukung oleh pekerja transportasi. Momentum kebangiktan industri logistik akan luluh lantah tanpa pekerja transportasi.
Kita mungkin tidak akan mengalami krisis BBM seperti di Inggris, tetapi masalah pekerja transportasi yang pelik ini bisa menggelembung dengan cepat. Permasalahan yang sudah berlarut bisa makin terakselerasi karena pandemi yang belum benar-benar reda. Andai para pemegang kepetingan tidak berbuat banyak, krisis BBM atau bahan baku lain bukan tidak mungkin terjadi. Sikap abai terhadap pekerja transportasi akan segera membawa badai.