Jumat, Maret 29, 2024

Krisis Akut Pendidikan Keadaban Kita

Mohammad Khairul Huda
Mohammad Khairul Huda
Wakil Bendahara Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Brondong Lamongan

Beberapa hari ini viral video dan pemberitaan siswa sebuah Sekolah Dasar di Serdang Bedagai, Sumatera Utara yang dihukum gurunya dengan cara menjilat WC. Hukuman keji ini diberikan karena sang murid tidak membawa tugas sekolah. Tindakan hukaman guru ini berujung ketidak-terimaan wali murid dan si guru dimutasi.

Di waktu yang bersamaan, ramai pemberitaan seorang mahasiswa perguruan tinggi negeri di Yogyakarta melakukan pelecehan seksual terhadap rekan mahasiswinya saat Kuliah Kerja Nyata. Kasus ini berkonsekuensi si mahasiwa ditunda proses wisudanya, sedang keluarga mahasiswi korban pelecehan seksual tersebut menuntut si pelaku didrop out dari status akademiknya.

Sementara di Sukabumi, murid Sekolah Dasar dihukum gurunya dengan cara merokok. Dan di Pare-Pare Sulawesi Selatan seorang murid SMP dipukul gurunya hingga dirawat di IGD rumah sakit setempat selama 5 hari.

Rentetan kasus-kasus mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi ini menunjukkan buram dan kritisnya pendidikan keadaban kita. Pendidikan yang masih mengandalkan sisi pengajaran dan pelatihan dan menomor-akhirkan pendidikan keadaban nyata, tidak mampu membangun karakter disiplin dan tanggung jawab moral pendidik dan peserta didik.

Menonjolnya karakter pengajaran di kurikulum bisa ditunjukkan dengan banyaknya beban materi pelajaran yang harus dipikul anak didik mulai sekolah dasar. Termasuk beban administratif pendidik dalam kewajiban profesionalnya. Beban ini tentu tidak mudah dijalani dan bisa berujung kejenuhan dan kepenatan dalam rutinitas tinggi.

Sedangkan sisi pelatihan terang dalam pandangan kita dengan ditonjolkannya jargon peningkatan live skill berbasis kebutuhan lapangan kerja. Ini misalnya bisa dengan mudah kita pahami sebagai imbas pesatnya industrialisasi dan upaya-upaya mengintegrasikan pendidikan dengan kebutuhan tenaga kerja yang mumpuni.

Metode ini berusaha meningkatkan kemampuan fungsional yang sesuai dengan perkembangan industri terutama kemampuan-kemampuan berbasis fungsi produksi. Namun pada dasarnya, pendidikan model ini mengandung persoalan eksistensial akut berupa mekanisasi manusia, artinya menurunkan kualitas kemanusiaan pada fungsi-fungsi mekanis layaknya robot berpikir. Pada ujungnya adalah proses dehumanisasi.

Kasus-kasus di atas, dan sangat banyak kasus di dunia pendidikan kita selama ini yang berbasis pada tindakan penghukuman dengan model-model yang zalim, bodoh, bahkan mengandung unsur kegilaan sudah sangat sering terjadi. Bukan hanya yang dilakukan oleh pendidik/guru/dosen kepada anak didiknya saja. Tetapi kasus yang dilakukan oleh murid terhadap guru juga banyak dan sering membuat kita bergumam “kegilaan apa yang sedang terjadi?”

Terus munculnya kasus-kasus kekerasan, kezaliman, bahkan kegilaan ini juga menunjukkan pada kita bahwa pendidikan keadaban kita mengalami krisis akut. Kita sebagai bangsa timur seakan tercerabut dari akar kearifan budaya kita sendiri dengan banyaknya kasus di dunia pendidikan ini.

Budaya ketimuran yang menekankan sifat moralis berakar pada spiritualitas dan tanggung jawab kemanusiaan yang beradab, seakan diabaikan begitu saja bak sampah bagi modernitas yang sedang dipinang dan berusaha direngkuh.

Pendidikan keadaban, sebagaimana diinisiasi oleh Syed M. Naquib Al-Attas didirikan setidaknya di atas empat pilar utama. Pertama, kedisiplinan ditanamkan sejak tingkatan pikiran dan jiwa. Disiplin ditanamkan melalui proses-proses berkelanjutan dengan kesadaran akan keteraturan dan humanisasi dalam bentuk komunal. Disiplin bukan hanya ditekan melalui aturan, namun juga ditanamkan sebagai moralitas. Sehingga dalam wujud konkretnya, pendisiplinan bukan diidentikkan dengan penghukuman.

Kedua, tanggung jawab moral ilmu dan orang berilmu. Bahwa ilmu memiliki konsekuensi moral sejak dalam proses penalaran dasar hingga produk-produk turunannya yang berbentuk teknologi semata sebagai proses humanisasi dan perbaikan kualitas kemanusiaan.

Demikian halnya tanggung jawab moral orang berilmu. Ibarat dua sisi mata uang, keduanya, ilmu dan orang berilmu memiliki tanggung jawab moral dalam proses peningkatan kualitas hidup manusia, keberlangsungan kemanusiaan yang beradab dan berbudaya, harmonisasi manusia dan alam. Hal ini bisa menghindarkan seseorang dari tindakan bodoh dan kegilaan.

Bodoh dalam arti melakukan sesuatu yang salah. Sedangkan kegilaan diartikan sebagai melakukan secara sistematis atau mengusahakan/memperjuangkan sesuatu yang salah dan dengan cara-cara yang salah secara ilmiah dan atau secara moral.

Ketiga, pengenalan, pengakuan dan penerapan kedudukan sesuatu dan memperlakukannya secara benar dan sesuai. Artinya bahwa pendidikan keadaban menanamkan posisi sesuatu berdasar kedudukannya berikut tanggung jawab moral dari suatu kedudukan itu.

Misalnya, seorang guru sebagai pendidik sekaligus teladan bagi murid. Dan juga memperlakukan sesuatu sesuai kedudukannya. Sehingga guru, murid dan segenap pembelajar bisa terhindar dari tindakan zalim; dalam arti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.

Keempat, menerapkan keadilan sebagaimana tercermin dalam hikmah. Pendidikan mesti menekankan penanaman sifat adil sejak dalam pikiran dan pembiasaan di kehidupan sehari-hari. Sehingga sifat adil menjadi karakter hidup berdamping dengan tanggung jawab moral orang berilmu. Sehingga berperan sebagai apapun nantinya seseorang mampu untuk berlaku adil dan bijaksana.

Dengan demikian, mendesak kiranya penerapan dan pengarus-utamaan pendidikan keadaban dalam sistem pendidikan kita. Walaupun pemerintah sudah punya inisiatif baik dalam hal ini dengan Perpres No. 87 Tahun 2017 tentang Peningkatan Pendidikan Karakter yang sebenarnya memiliki tujuan yang sama dengan karakter pendidikan keadaban.

Namun dalam pelaksanaannya, baik dalam pentunjuk pelaksaannya maupun di tingkat lapangan, masih berkutat pada bentuk-bentuk formalnya saja. Belum mengakar pada pemahaman masif pada tingkat pendidik di tingkat satuan pendidikan tentang substansi pendidikan keadaban dalam ikhtiar pemerintah itu.

Tentu bukan hanya tugas pemerintah dan satuan pendidikan saja sistem pendidikan keadaban mesti dibebankan. Tapi di lingkungan keluarga juga mesti menerapkan hal yang sama. Selain bertujuan untuk sinkronnya pola didik sekolah dan rumah, tapi juga konsistensi penanaman nilai-nilai tanggung jawab moral, disiplin, dan adil dalam diri anak didik. Karena sejatinya pendidikan itu bukan hanya tanggung jawab sekolah, tapi keluargalah lingkungan pendidikan terdekat dengan anak.

Pada akhirnya kita terus berharap agar kasus-kasus kekerasan, pelecehan, dan kasus amoralitas lainnya tidak lagi ada di lingkungan pendidikan kita. Karena sejatinya pendidikan adalah proses humanisasi, memanusiakan manusia, dan harmoni demi kelestarian kehidupan manusia dan alam.

Mohammad Khairul Huda
Mohammad Khairul Huda
Wakil Bendahara Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Brondong Lamongan
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.