Jumat, April 26, 2024

Kredo Tauhid

Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq
Editor dan penulis lepas | Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna

Malam mulai gelap. Langit bertabur bintang-bintang. Ibrahim melihat sebuah bintang bersinar terang. “Inilah tuhanku,” ucapnya membatin. Tak lama, sinar bintang itu memudar, lalu hilang ditelan malam. Batinnya berkata, “Aku tak suka yang pudar.”

Malam beranjak larut. Dari kejauhan tampak berkas-berkas cahaya semburat di kaki langit. Bulan datang sambangi malam, menabur cahaya keindahan ke seantero alam. Ibrahim membatin, “Ini tuhanku.” Namun begitu pagi mulai menyapa, cahaya bulan itu pun pudar. “Jika tak ada petunjuk Tuhanku, pasti aku akan menjadi orang yang tersesat,” ucapnya.

Malam berlalu, dan siang pun datang. Matahari muncul. Gagah perkasa. “Nah, ini dia tuhanku,” kata Ibrahim. “Ini lebih besar.” Raja siang itu menyinari jagat raya, seakan berkuasa. Namun ternyata kemudian ia juga tenggelam. “Wahai kaumku,” serunya, “Sungguh, aku berlepas diri dari segala sesuatu yang kalian persekutukan.”

Al-Quran menceritakan sedikit dari banyak dialektika perjalanan spiritual Nabi Ibrahim as tersebut dalam surah al-An‘âm (6) ayat 76-78, diikuti sebuah “kredo tauhid” pada ayat berikutnya (79): “Innî wajjahtu wajhiya li-alladzî fathara al-samâwâti wa al-ardha hanîfan wa mâ ana min al-musyrikîn—Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan hanif, dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik.”

Pada bagian lain—juga terkait dinamika perjalanan spiritual Nabi Ibrahim as—diceritakan dalam surah al-Baqarah (2) ayat 260 bahwa ia memohon kepada Allah Swt agar diperlihatkan kepada dirinya suatu bukti kuasa-Nya. “Tuhanku,” kata Ibrahim, “perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang yang sudah mati.” Allah berkata, “Apakah kamu belum percaya?” Kata dia, “Aku sudah percaya. Akan tetapi agar hatiku merasa tenang.”

“Ambillah empat ekor burung. Cincanglah semua olehmu,” kata Allah Swt mengarahkan. “Lalu letakkan di atas tiap-tiap bukit satu bagian dari potongan-potongan burung itu. Kemudian panggillah mereka… Niscaya burung-burung itu akan datang kepadamu dengan bersegera.”

Mufasir al-Qurthubi mencatat bahwa Nabi Ibrahim as melakukan sesuai apa yang diperintahkan Allah Swt. Syahdan, setelah dicincang dan bagian-bagian dari burung-burung itu diletakkan di atas tiap-tiap bukit, lalu dipanggil, mereka benar-benar datang dengan segera.

Bapak Agama Tauhid

Mengutip ulama salaf, mufasir al-Qurthubi menyebut Nabi Ibrahim as lahir di zaman Raja Namrudz bin Kan‘an. Jarak masa kelahirannya dengan peristiwa banjir besar yang terjadi di era Nabi Nuh as sebelumnya diperkirakan 1263 tahun, atau sekitar 3330 tahun setelah Nabi Adam as diciptakan. Ia dikenal sebagai bapak para nabi (ab al-anbiyâ’), dan bisa disebut juga sebagai bapak agama tauhid (monoteisme)—yakni agama yang meyakini Tuhan Esa—atau bapak agama wahyu—yakni agama yang tuntunannya didasarkan pada wahyu Tuhan—mencakup Yahudi, Nasrani, dan Islam.

Melalui dua putranya, Nabi Ishaq as dan Nabi Ismail as, turun nabi-nabi utusan yang mengemban misi Ilahi. Masing-masing nabi diberi wahyu, dan di antara mereka dibekali Kitab Suci sebagai tuntunan juga bagi umatnya. Nabi Musa as dibekali Taurah, Nabi Dawud as dibekali Zabur, dan Nabi Isa as dibekali Injil—Nabi-nabi ini dari keturunan Nabi Ishaq as. Sedangkan Nabi Muhammad Saw—nabi terakhir dari keturunan Nabi Ismail as—dibekali al-Quran.

Dua istilah terkait monoteisme kerap diasosiasikan kepada Nabi Ibrahim as, yaitu “hanif” dan “tauhid.” Istilah hanîf dalam bahasa Arab terambil dari kata kerja ha-ni-fa, artinya lurus, tidak bengkok atau tidak menyimpang. Istilah ini biasa dimaknai sebagai orang yang mengikuti agama Nabi Ibrahim as. Adapun “tauhid” artinya ketunggalan atau keesaan, merupakan konsep utama dalam ajaran keyakinan (akidah) Islam yang menyatakan akan keesaan Allah Swt. Hubungan antara “hanif” dengan “tauhid” bisa digambarkan dengan sebuah jalan lurus yang ditempuh oleh seseorang menuju satu tujuan.

Beragama berarti menempuh jalan lurus menuju satu tujuan, yaitu Allah Swt. Cara inilah yang ditempuh Nabi Ibrahim as dalam seluruh kehidupannya. Dialah prototipe Muslim Pertama. Maka dinyatakan dalam surah al-Nahl (16) ayat 163, Tsumma awhaynâ ilayka an-ittabi‘ millata ibrâhîma hanîfan, wa mâ kâna min al-musyrikîn—Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), hendaklah engkau mengikuti agama Ibrahim secara hanif, dan dia tidak termasuk orang-orang musyrik.

Makrifat Tauhid

Seluruh ajaran beragama (Islam) bertolak dari akidah, dan konsep utamanya adalah tauhid. Akidah secara bahasa berarti ikatan atau perjanjian, dan secara istilah merupakan ajaran keyakinan yang mengikat hati seseorang. Akidah Islam adalah pokok-pokok keyakinan yang diajarkan oleh Islam berdasarkan al-Quran dan Hadits Nabi Saw.

Secara umum, para ulama mengklasifikasi tauhid sebagai ilmu ke dalam tiga cabang, yaitu Rubûbîyah, Ulûhîyah, dan Asmâ’ wa shifât. Ketiga cabang ini diisyaratkan dalam surah Maryam (19) ayat 65, Rabb al-samâwâti wa mâ baynahumâ fa-‘budhu wa ishthabir li-‘ibâdatihî hal ta‘lamu lahû samîyâ—(Dialah) Tuhan langit dan bumi serta segala yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan teguhlah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah engkau mengetahui ada sesuatu yang sama dengan-Nya?

Pernyataan “(Dialah) Tuhan langit dan bumi serta segala yang ada di antara keduanya” mengisyaratkan Tauhîd Rubûbîyah. “Sembahlah Dia dan teguhlah dalam beribadah kepada-Nya” merupakan penegasan Tauhîd Ulûhîyah. Kalimat tanya, “Apakah engkau mengetahui ada sesuatu yang sama dengan-Nya?” menggiring pada pemahaman akan Tauhîd Asmâ’ wa shifât.

Rubûbîyah” dibentuk dari kata “rabb,” artinya Tuhan sebagai Dzat Pengatur. Bahwa hanya ada satu Tuhan yang memelihara dan mengatur alam semesta ini. Perputaran siang dan malam, konstruksi tata surya, struktur langit dan bumi, regenerasi umat manusia, tegaknya hukum kausalitas serta semua sistem dan mekanisme yang terjadi pada alam semesta berada dalam satu kendali Rabb al-‘âlamîn atau Tuhan Pengatur alam semesta.

Dari kata “ilâh” terbentuk istilah “ulûhîyah,” artinya Tuhan sebagai Pemilik sah segala bentuk pengabdian, penyembahan, dan peribadatan. Kata ini masuk dalam rumusan kalimat tauhid Lâ ilâha illâ Allâh, tiada tuhan selain Allah. Inilah kredo tauhid umat Muslim, yang mencakup penyangkalan atau negasi dan penetapan.

Kalimat “lâ ilâha” berarti menyangkal, menegasikan, meniadakan ketuhanan apa pun, lalu dikonfirmasi dengan kalimat penetapan “illâ Allâh,” yakni hanya Allah, nama dari satu-satunya Dzat ketuhanan.

Sedangkan asmâ’ adalah jamak dari ism, nama yang menyatu dengan segala sifat kesempurnaan. Dialah Allah, nama Tuhan yang memiliki sifat al-Rahmân-al-Rahîm, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, sifat terutama yang melatari penciptaan, pemeliharaan, dan pengaturan segala yang Dia ciptakan, diikuti nama-nama terbaik, representasi dari kesempurnaan-Nya. Dengan ini, ucapan Bismillâhirrahmânirrahîm merupakan kredo tauhid dalam konteks asmâ’ wa shifât. Wallâhu a‘lam

Hadiri Abdurrazaq
Hadiri Abdurrazaq
Editor dan penulis lepas | Menjelajah dunia kata | Merangkai kalimat | Menemukan dan menyuguhkan mutiara makna
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.