Ada dua ironi yang amat disayangkan judul tulisan ini. Pertama akibat budaya dominan, vigilante yang berasal dari kata bahasa inggris lebih mudah dipahami dari pada arti yang sebenarnya dalam bahasa Indonesia. Kedua, ironi maknawi dari kata itu sendiri.
Konsep vigilante, main hakim sendiri, sudah sangat populer dalam dunia komik. Misalnya Batman, kehidupan batman di satu sisi sebagai vigilante dan di sisi lain, seorang yang diwariskan kekayaan yang sangat berlimpah.
Tapi amat disayangkan seorang Bruce (tokoh Film Batman) tak bisa mengubah Gotham, kota yang dihidupinya, dengan kekuatannya sebagai seorang miliuner. Artinya kejahatan di kota yang dia tinggali sudah sangat akut sampai dia sendiri harus memakai topeng dalam melakukan aksi keadilan yang dia miliki.
Hak angket yang dulu selalu saja dijadikan bahan nyinyiran oleh beberapa anggota DPR, sekarang mungkin menjadi ciut ketika Setya Novanto sudah menjadi tersangka. Hak angket mungkin juga sebagai bahan pertanyaan kita mengenai negara ini. KPK terbilang memiliki kekuasaan yang lebih. Itu terdapat dalam kolom sekilas KPK dalam halaman dimilikinya:
“Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diberi amanat melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan mana pun.”
Inilah yang menjadi bahan penyerangan buat yang tidak menyukai KPK. Di sisi lain, ini juga bisa diartikan sama dengan konsep vigilante. Konsep vigilante itu sendiri sudah diungkapkan dalam tulisan ini secara tersirat pada paragraf ke-2. Keadilan hanya terdapat di dalam hukum.
Artinya hukum yang berlaku menjadi standar kita dalam melihat keadilan. Namun, yang menarik adalah apakah di luar dari hukum itu sendiri adalah keadilan? Di sinilah hukum itu diuji. Jika seseorang melakukan tindak kejahatan namun tak didapati bukti bahwa dia melakukan kejahatan, maka hukum pun dapat bekerja, tapi tidak dengan keadilan.
Vigilante inilah yang berjalan sendiri secara outlaw (di luar hukum) menjalani keadilan. Jadi tak salah jika seorang miliuner seperti bruce tak dapat menegakkan keadilan, sedangkan sebagai batman dia dapat menjalankan keadilan yang dia yakininya. Hal yang menarik lagi ketika batman datang menjadi seorang vigilante yang kerap kali ada di malam hari, orang-orang yang berniat jahat menjadi ciut dalam melakukan tindak kriminal.
Namun, apakah itu sama dengan apa yang terjadi dengan KPK? Tentulah tidak. Hal tersulit bagi KPK walaupun sebagaimana telah terungkap “wewenangnya bebas dari kekuasaan mana pun” tetap masih dalam tahap prosedural. Jika KPK memang sepenuhnya vigilante, dia bisa saja secara langsung menghakimi para tersangka korup itu.
Hal yang jadi permasalahannya jika memang KPK memiliki kekuasaan semena-mena adalah penilaiannya terhadap konsep keadilan. Batman seorang vigilante tentu memiliki pemikiran tersendiri tentang keadilan yang juga pada dasarnya berbeda dengan vigilante lainnya seperti Punisher, seorang eks militer yang sakit hati dengan kejadian yang tertimpa di dalam militer: korup merajalela, narkoba juga berjalan.
Batman menjalankan vigilante tetapi tidak membunuh pelaku tindak kriminal dan malah, dia memberikan pelaku tersebut kepada pihak yang berwajib. Sedangkan Punisher, terkesan akan brutalnya. Dia bahkan membunuh pelakunya.
Artinya setiap seorang vigilante memiliki kesan keadilan yang subjektif. Lantas bagaimana dengan KPK, KPK dengan jelasnya memperlihatkan dalam situsnya, bagaimana prosesi keadilan yang diungkapkannya.
“Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK.”
Jika kita melihat secara berkala dalam kejadian baru-baru ini, KPK sudah melaksanakan tugasnya. Yaitu keterbukaan. Para pelaku korupsi itu sendiri bisa dikatakan bermain drama di publik, tapi artinya berbeda bagi KPK. Dia (KPK) berusaha menjalankan keterbukaan itu.
Apakah kita butuh KPK untuk keadilan?
Penulis merasa ini merupakan pertanyaan yang selalu berputar-putar ditemukan di film-film heroik. Keadilan bisa berjalan tergantung pada diri kita secara pribadi. Hukum itu sendiri bersifat tidak pribadi, lantas bagaimana keadilan itu bisa berjalan jika itu bergantung pada kita secara pribadi?
Kata “tergantung” itu merujuk kepada sesuatu kata yang dapat diungkapkan secara sederhana adalah “konsensus”, atau persetujuan. Jadi hukum itu sendiri bersifat pribadi dan juga tidak pribadi, atau lebih tepatnya, intersubjektif. Hukum yang membawa keadilan itu sangat bergantung kepada kita, apakah kita mau menerimanya atau tidak. Jika iya, maka kita harus mengambil risikonya, dan jika tidak, entah keadilan bagi kita itu seperti apa.
Dalam buku Filsafat Fragmentaris yang ditulis oleh F. Budi Hardiman mengungkapkan bagaimana seharusnya keadilan bekerja. Salah satu tokoh filsuf besar yang diungkapkan di dalam bukunya, Derrida, melihat bahwa keadilan itu sangat bergantung pada hukum. Namun, apakah di luar hukum itu bukan sebuah keadilan?
Jika selama ini kita menganut hukum rasional positivistik, apakah keadilan itu juga bersifat rasional? Sehingga yang tak rasional kita hapuskan. Jika kita mendapati sekelompok suku yang hidup di daerah yang sangat terpencil namun masih di dalam negeri kita melakukan sebuah ritual yang bisa dikatakan tidak rasional, misalnya memakan laba-laba, meminum darah hewan, apakah itu bisa dikatakan keadilan atau tidak? Dan kita mungkin melabel tindakan ritual itu.
Contohnya juga bisa didapati di rumah sakit. Sebagaimana diketahui Descartes memiliki andil dan juga dosa terbesar yaitu hukum rasional pada dunia. Rumah sakit mana pun dipastikan harus memiliki standar “masuk akal”, lantas yang tak masuk akal seperti korban santet, korban jin, dan sebagainya tak dapat dilayani di rumah sakit.
KPK di sisi lain jika kita tidak membutuhkannya, apakah kita sudah siap menjalankan keadilan sejujur-jujurnya dengan ditemani keterbukaan? Di sisi lain kita juga membutuhkan KPK, karena akan ada selalu keadilan di luar hukum yang belum terungkapkan, namun terlebih dahulu kita harus mengenalinya.