“Berapa cescius?” begitulah guyonan dari salah satu pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang menanggapi manuver beku-bekuan ala parlemen di Senayan. Manuver beku-bekuan dari DPR ini sudah pernah muncul sebelumnya ketika KPK-Polri menolak menghadirkan tersangka pemberian keterangan palsu dalam kasus megakorupsi KTP elektronik, Miryam S. Haryani, di hadapan Pansus Angket. Pada waktu itu DPR mengancam anggaran KPK-Polri akan dibekukan.
Sekarang, isu pembekuan sementara waktu KPK yang terlontar dari salah seorang politisi PDI-Perjuangan, Henry Yosodiningrat, semakin menjadi liar di mata publik. Wacana itu sempat mendapat respons dari salah satu pimpinan parlemen yang malah ingin KPK dibubarkan.
Tentu Henry mengucapkan hal tersebut dengan melihat temuan pansus; bukti bahwa KPK tidak melaporkan barang sitaan hasil korupsi ke Rumah Penyimpanan Barang Sitaan dan Rampasan Negara (Rupbasan) dan pengadilan. Kemudian, Pansus juga mendapatkan laporan soal adanya tekanan dan penyanderaan yang dilakukan KPK terhadap beberapa orang, salah satunya saksi kasus suap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, Niko Panji Tirtayasa.
Gencarnya berbagai upaya operasi tangkap tangan (OTT) dan penyidikan KPK dalam membongkar berbagai kasus korupsi yang melibatkan para pejabat, termasuk dari parlemen, membuat lembaga anti-rasuah tersebut selalu mendapat serangan keras dari berbagai arah. Wajar saja wacana seperti itu menjadi bagian unjuk kekuatan untuk menekan KPK.
Dalam kutipannya usai isu pembekuan KPK dilontarkan, Henry menilai bahwa ia menginginkan KPK yang bersih dan berwibawa. Bukan KPK yang kotor dengan pemerasan, penindasan, dan kesewenangan. Pemberitaan media pun dianggap bersikap parsial melihat kutipan Henry, bahwa ia sebenarnya tetap menginginkan Indonesia bersih dari korupsi dengan menyerahkan sementara kewenangan pemberantasan korupsi kembali ke tangan Polri dan Kejaksaan.
Pembekuan KPK dimaksudkan agar lembaga tersebut bisa ditata kembali sesuai dengan semangat reformasi.
Terlebih dari upaya pelurusan pernyataan tersebut, publik sudah telanjur marah ketika KPK sebagai lembaga yang menurut survei adalah lembaga paling dipercaya oleh publik harus mendapat tekanan dari DPR yang notabene tercatat sebagai lembaga yang paling tidak dipercaya oleh publik.
Apa yang sudah telanjur menjadi bukti bahwa pesan komunikasi tidak bisa ditarik, begitulah prinsip dasar yang diutarakan dalam ilmu komunikasi. Isu pembekuan KPK membuat publik mulai tak main-main menghadapi berbagai sikap dagelan yang ada di parlemen.
Upaya ralat yang telah disampaikan dianggap tak bisa menepis lagi rasa marah yang sudah tertanam di benak masyarakat. Setelah isu ini mencuat, netizen pun mengancam bahwa masyarakat tentu akan mengingat para anggota DPR yang terlibat dalam pansus angket KPK agar mereka dan partai asalnya tidak dipilih lagi, dalam pemilu berikutnya.
Risiko tersebut disadari betul oleh PDI-P yang beberapa kadernya ikut dalam pansus angket. Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristyanto menegaskan pernyataan soal pembekuan KPK bukan mewakili sikap partai. Ia pun menyebutkan partai akan menindak tegas para kadernya. Tentu ini menjadi bahan pelajaran bagi PDI-P dan partai lainnya untuk bersikap tegas terhadap manuver-manuver nyeleneh para kadernya yang sedang menjadi ‘wakil rakyat’.
Bentuk manuver “ancaman” yang sering dilakukan oleh pansus menjadi bukti tersendiri bahwa mereka sudah melecehkan harapan rakyat, karena berani merecoki kinerja KPK yang sedang gencar membongkar berbagai kasus korupsi di Indonesia.
Wajar saja jika manuver nyeleneh terhadap KPK kerapkali mendapat perlawanan keras dari berbagai kalangan, baik masyarakat sipil bahkan Presiden Jokowi sekalipun.
“Perlu saya tegaskan bahwa saya tidak akan membiarkan KPK diperlemah. Oleh sebab itu, kita harus sama-sama menjaga KPK,” begitu kata Jokowi.
Melalui pernyataan tersebut ada keinginan kuat dari Jokowi bahwa KPK sebagai lembaga independen didesain untuk berperan strategis dalam mengawasi kekuasaan negara dari tindak korupsi, kolusi dan nepotisme.
Proses evaluasi terhadap suatu lembaga seperti KPK bukanlah dilakukan dengan unjuk “ancaman” maupun tekanan. Di satu sisi, harusnya pansus bisa menghasilkan langkah bijak nan jernih dalam membenahi KPK. Hal itu mengingat citra buruk tim pansus telah melekat sejak mereka dibentuk.Tendensi buruk itu terus bergulir ketika sejumlah anggota di dalam pansus asal nyablak dalam menyikapi persoalan terkait pembenahan KPK. Publik juga melihat pembentukan pansus dianggap cacat hukum, berlawanan dengan undang-undang, dan kental dengan urusan balas dendam.Para elite di Senayan harusnya tak lupa oleh pernyataan Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri yang menyatakan bahwa KPK adalah lembaga yang dibentuk secara ad hoc, lahir dan bergerak karena masih ada korupsi di Indonesia.Pernyataan itu harusnya menjadi pengingat secara jelas bahwa selama ada korupsi di negeri ini, gerak-gerik KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi harus dikawal bersama. Merecoki langkah atau mempreteli kewenangan secara perlahan KPK secara otomatis sudah memancing perlawanan dari rakyat. Oleh karena itu, wacana membubarkan atau membekukannya selama korupsi masih ada di negeri ini tak bisa dijadikan alasan yang bisa diterima oleh publik dalam kondisi apapun.