Minggu, Desember 15, 2024

KPK: Dari Cicak Versus Buaya Sampai E-KTP

Hijrah Ahmad
Hijrah Ahmad
Editor Penerbit Erlangga
- Advertisement -

“Korupsi adalah kejahatan luar biasa yang telah merampas hak asasi rakyat Indonesia dan merendahkan martabat bangsa; KPK merupakan harapan utama rakyat untuk memberantas korupsi; KPK telah menjadi ujung tombak yang efektif dalam memerangi korupsi yang mengakar di negeri ini.”

Begitulah bunyi sepenggal deklarasi komunitas CICAK (Cinta Tanah Air Cinta KPK). KPK begitu diharapkan oleh masyarakat Indonesia yang rasanya hampir putus asa dengan keberingasan koruptor di negeri ini.

Usaha pemberantasan korupsi memang sudah dimulai oleh Presiden Habibie melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Undang-Undang ini kemudian menjadi landasan terbentuknya berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman.

Presiden Abdurrahman Wahid di masa pemerintahannya pun membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, karena terbentur Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, tim TGPTPK ini akhirnya dibubarkan Mahkamah Agung. Melaui judicial review yang sama, KPKPN bentukan Presiden Habibie pun harus bubar dan melebur ke dalam lembaga baru yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Lembaga yang memiliki visi “Menjadi lembaga penggerak pemberantasan korupsi yang berintegritas, efektif, dan efisien” ini untuk pertama kalinya dikomandoi oleh Taufiequrachman Ruki. Lulusan terbaik Akademi Kepolisian 1971 ini mulai meraba-raba benang kusut kasus-kasus korupsi yang tak tersentuh. Di tangan Ruki, Abdullah Puteh dan Syaukani H.R. misalnya, harus rela duduk di meja pesakitan karena menjadi tersangka korupsi.

Pada periode selanjutnya, KPK dipimpin oleh Antasari Azhar. Namun sayang, Antasari Azhar tidak sampai selesai memimpin KPK karena tersandung kasus hukum. Sejak saat ini, KPK hampir kehilangan kreadibilitasnya. Pasca Antasari, KPK seperti memiliki “luka” dan dapat dibilang lembaga yang rentan dipontang-panting oleh kepentingan politik tertentu.

Antasari kemudian digantikan oleh Tumpak Hatorangan Panggabean, seorang mantan Komisaris PT Pos Indonesia, Tumpak menjadi pelaksana tugas sementara menggantikan Antasari. Di penghujung 2010, Busyro Muqoddas dilantik menggantikan Antasari Azhar. Secara kuantitatif, sejak berdiri hingga masa akhir kepemimpinan Buqro Muqadas tahun 2011, KPK baru menuntaskan 228 dari sekitar 50 ribu kasus yang dilaporkan masyarakat. Data ini tentu menjadi PR besar bagi KPK.

Akhir 2011, Abraham Samad terpilih menjadi ketua KPK. Era kepemimpinan Abraham disebut-sebut sebagai era yang cukup berat, sebab lembaga ini semakin mendapat banyak musuh, salah satunya adalah para elite politik. Pemilu 2014 misalnya, KPK seakan menjadi ‘Padang Kurukshetra’ bagi partai-partai politik besar. KPK pada saat itu tak ayal menjadi arena untuk saling menjatuhkan kredibilitas partai dan manusianya. Terungkapnya satu kasus korupsi politikus akan berdampak hilangnya kepercayaan, baik pada politikus bersangkutan maupun partainya. Namun, tugas berat ini dijalani KPK dengan penuh keyakinan bahwa seluruh rakyat Indonesia berani pasang badan di depan.

Di masa kepemimpinannya yang berat itu, Abraham justru berhasil menyeret koruptor-koruptor besar yang bercokol di pemerintahan. Kasus Wisma Atlet, Hambalang, Gratifikasi Impor Daging Sapi, SKK Migas, kasus Pengaturan Pilkada Kabupaten Lebak, adalah kasus-kasus yang sukses menyeret orang-orang seperti Andi Malarangeng, Muhammad Nazaruddin, Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, Akil Mochtar, Ratu Atut Chosiyah, Ahmad Fathanah, Luthfi Hasan Ishaq, Rudi Rubiandini, dan koruptor lainnya.

Namun sayang, tanggal 9 Februari 2015, Kepolisian menetapkan Abraham sebagai tersangka kasus pemalsuan dokumen dan paspor. Beberapa kalangan aktivis menilai penetapan ini bagian dari upaya pelemahan KPK.

- Advertisement -

Yang paling mutakhir, KPK yang saat ini dikomandoi oleh Agus Rahardjo sedang dihadapkan kasus korupsi E-KTP. Fakta-fakta persidangan pada kasus ini menyebutkan bahwa sejumlah aliran dana yang diduga sebagai suap untuk pejabat Negara mengalir ke beberapa perusahaan, bahkan sampai ke luar Indonesia. Seperti kita tahu bahwa Setya Novanto yang saat itu menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar sudah ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan Setya Novanto bukan perkara mudah sebab dalam pengurusan kasus ini KPK dihadapkan dengan situasi yang banyak orang bilang sebagai ‘drama’ di antaranya sakit keras dan yang paling terbaru yaitu kecelakaan tunggal yang saat ini sedang hangat diperbincangkan.[]

Hijrah Ahmad
Hijrah Ahmad
Editor Penerbit Erlangga
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.