Jumat, Maret 29, 2024

Korupsi Kepala Daerah: Mentalitas dan Modal Politik

Yustinus Oswin
Yustinus Oswin
Alumni Universitas Merdeka Malang 2015 Jurusan Administrasi Publik - Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
http://(Nuvolanevicata/Depositphotos)

“Korupsi” merupakan sebuah kata yang menjadi musuh bersama seluruh anak bangsa dan sangat menyakitkan apabila mendengar atau menyaksikannya. Masalah korupsi bahkan terus menjadi berita utama (headline) dalam setiap lembaran pemberitaan media. Korupsi kini menjadi sebuah masalah yang sangat mengkhawatirkan serta menjadi penyakit politik yang selalu menghantui sikap dan moralitas para penyelenggara negara dan elit politik negeri ini. Tingginya tingkat korupsi yang terjadi selama ini membuat korupsi seakan menjelma menjadi sebuah budaya yang terus dipelihara dalam kehidupan bangsa ini.

Fenomena korupsi yang terjadi selama ini pun masih menempatkan negeri ini pada level dan tingkatan negara terkorup di dunia. Berdasarkan data laporan tahunan Badan Anti-Korupsi Dunia (Transparency Internasional) pada rabu 25/01/2017, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia masih berada pada peringkat ke 90 dengan skor 37 dari 176 negara. Indonesia tertinggal jauh dari negara-negara tetangga seperti, Malaysia yang berada di peringkat 55 dengan skor 49, Brunei Darusalam yang berada di peringkat 41 dengan skor 58, dan Singapura yang berada pada peringkat ketujuh dengan skor CPI 87 sebagai negara di Asia yang dinilai paling bebas korupsi. (Sumber: VOAIndonesia.com 26/01/2017)

Di tengah Indeks Persepsi Korupsi yang masih tinggi di atas, perilaku korup dikalangan penyelenggaraan negara dan elit politik bukan menurun tetapi malah semakin menemukan sisi buruknya. Hal ini dapat dilihat dari berbagai Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belakangan ini khususnya terhadap kepala-kepala daerah di Indonesia yang melakukan tindak pidana korupsi. Deretan kepala-kelapa daerah yang terjerat dalam pusaran masalah korupsi pun tidak sedikit dan menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terdapat 18 gubernur dan 343 bupati/wali kota terjerat kasus korupsi. Sepanjang tahun 2017 ini setidaknya terhitung sudah enam kepala daerah yang tertangkap karena tindakan korupsi diantaranya, Samsu Umar Abdul Samiun (Bupati Buton), OK Arya Zulkarnaen (Bupati Batubara), Ahmad Syafii (Bupati Pemekasan), Siti Masitha Soeparno (Walikota Tegal), Ridwan Mukti (Gubernur Bengkulu), dan Eddy Rumpoko (Walikota Batu).

Kualitas Mental 

Banyaknya kepala daerah yang terlibat korupsi memunculkan sebuah pertanyaan besar publik, kira-kira apa sebenarnya yang menyebabkan pejabat publik kita terlibat kasus korupsi? Dan mengapa sulitnya melenyapkan perilaku korupsi ini? Korupsi merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extraordinary crime) yang memberikan hambatan terhadap setiap pertumbuhan dan kemajuan peradaban pembangunan bangsa. Praktik korupsi pada dasarnya tidak hanya menyangkut masalah kerugian negara dan pelanggaran hukum, tetapi juga menyangkut perampasan hak sosial rakyat dan merusak tata kelola pemerintahan. Korupsi timbul karena mentalitas dan sikap keserakaan yang muncul ketika ada sebuah kesempatan dan kebebasan dalam menentukan kebijakan.

Begitu banyak pembangunan di daerah yang terhambat karena mentalitas para pejabat publik yang korup dan memiliki monopoli tersendiri terhadap kekuasaan penyalagunaan anggaran dalam pembangunan daerahnya. Sehingga, tidak jarang ditemukan banyak anggaran dan belanja kebutuhan pembangunan daerah yang diselewengkan atau diputuskan secara sepihak demi memuluskan tindakan korupsi yang dilakukan. Selain itu, suap menyuap proyek-proyek pembangunan pun kerap memberikan sebuah stimulus untuk para pejabat daerah dalam mengesahkan peraturan dan perijinan yang memberikan keuntungan lebih secara ekonomi serta politik terhadapnya.

Tantangan terhadap mentalitas dan integritas pejabat dan elit lokal di daerah menjadi sorotan utama karena sulitnya menemukan pemerintahan daerah yang bebas serta bersih dari praktik-praktik korupsi. Berbagai langka strategis, kebijakan, serta mekanisme hukum yang diatur seolah-olah tak mempan bagi pejabat dan elit lokal untuk melakukan tindakan korupsi. Publik akhirnya kehilangan kepercayaan terhadap mentalitas, sikap dan perilaku pejabat daerah yang hanyak berorientasi pada kepentingan pribadi tanpa memperhatikan berbagai permasalahan pembangunan yang ada.

Dalam kondisi seperti ini, dibutuhkan sebuah kesadaran penuh dan kemauan politik (political will) dari para pejabat dan elit politik lokal untuk menumbuhkan kembali kualitas mental kepemimpinan yang benar-benar memiliki orientasi pada peningkatan daya saing serta kemajuan daerah. Kesadaran orientasi dan perbaikan kualitas mental ini harus dimulai dari cara pandang, pola pikir (mindset), sikap, serta perilaku yang mengarah kepada semangat anti korupsi.

Evaluasi Politik

Faktor lain yang mempengaruhi tingkat korupsi pejabat dan elit politik lokal di daerah meningkat karena mahalnya biaya atau modal politik dalam Pilkada. Mulai dari Pra-pilkada (verifikasi pencalonan di partai politik guna mendapatkan dukungan, logistik kampanye dan team pemenangan) hingga puncak pelaksanaan pilkada, tidak sedikit biaya atau modal yang dikeluarkan pejabat atau elit politik lokal guna mencapai sebuah kemenangan dalam pilkada. Sehingga untuk memuluskan langkah politik pada pelaksanaan pilkada, salah satu jalan pintas yang dilakukan pun yakni tindakan penyuapan dan korupsi. Selain itu, apabila donasi dan modal pribadi tak cukup untuk mengikuti serta membiayai proses pilkada, biasanya elit politik atau pejabat lokal mencari donatur yang sifatnya mengikat dan jikalau nanti mencapai kemenangan akan mendapatkan ganti rugi atau imbalan melalui proyek-proyek tertentu.

Inilah menjadi pemicu mengapa dikatakan sulit untuk memutuskan mata rantai korupsi di daerah. Dengan melihat kenyataan demikian, dibutuhkan sebuah “evaluasi politik” bersama antara elit politik lokal, partai politik baik di tingkat pusat maupun daerah, dan Kementrian Dalam Negeri untuk memperkuat Inpektorat Daerah dalam melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan daerah sehingga mampu mengatasi maraknya praktik korupsi yang dilakukan oleh kepala-kepala daerah di Indonesia. Partai politik dan elit politik memiliki tanggung jawab moral untuk melaksanakan seleksi kepemimpinan daerah serta meminimalisir biaya politik yang tinggi pada saat pelaksanakan pilkada.

Menjelang pilkada serentak pada tahun 2018 yang sedianya akan dilaksanakan oleh 171 daerah di Indonesia, diharapkan partai-partai politik bisa melahirkan calon pemimpin daerah yang memiliki kualitas kepemimpinan dan komitmen terhadap pemberantasan korupsi. Selain itu, partai politik diharapkan bisa berperan untuk menekan angka dan biaya politik pada saat pilkada 2018 nanti agar korupsi di tingkat elit politik dan pejabat lokal di daerah bisa terhindarkan. Moment Pilkada serentak 2018 juga diharapkan mampu memperbaiki kualitas sistem demokrasi politik lokal di Indonesia, sebab demokrasi lokal melalui pilkada yang selama ini dijalankan masih penuh dengan praktik-praktik manipulasi dan kecurangan.

Yustinus Oswin
Yustinus Oswin
Alumni Universitas Merdeka Malang 2015 Jurusan Administrasi Publik - Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.