Minggu, November 24, 2024

Korupsi Kepala Daerah dan Noktah Demokrasi

Andi Alief
Andi Alief
Andi Muhammad Alief, S.H.| tergabung dengan Barisan Anti Koroepsi Ahmad Dahlan (BAKAD UAD)| CCLS FH UAD|
- Advertisement -

Secara konseptual, pada abad-18, Abraham Lincoln secara singkat mendefinisikan demokrasi sebagai konsep pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Seiring waktu berlalu, konsep demokrasi bertransformasi menjadi salah satu bentuk sistem pemerintahan yang berciri penghormatan atas kedaulatan rakyat.

Tak butuh waktu lama sistem demokrasi menjadi primadona dan diadopsi oleh berbagai negara, termasuk Indonesia yang tercermin di dalam Pasal 1 (2) UUD 1945. Sebagai suatu sistem maka terdapat beberapa unsur yang wajib diaktualisasikan. Salah satunya adalah asas otonomi daerah (Otoda). Asas ini menjelaskan bahwa daerah otonom (kabupaten, kota, provinsi) memiliki kewenangan, hak, dan kewajiban untuk mengurus sendiri daerah dan kepentingan masyarakatnya (Vide Pasal 1 Angka UU 32/2004).

Hal ini berkonsekuensi dibuatnya wadah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebagai instrumen demokrasi untuk melahirkan kepala daerah yang berintegritas dan dapat memainkan peran sentral dalam mengerjakan urusan pemerintahan daerah yang berorientasi pada berbagai inovasi kebijakan yang dapat meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat daerah.

Alih-alih Pilkada melahirkan kepala daerah yang berintegritas nan inovatif, malah sejak tahun 2004 tercatat kurang lebih 343 kepala daerah yang terlibat kasus korupsi. Bahkan di masa pandemi sekalipun korupsi kepala daerah tak juga usai. Contoh kecil, eks Bupati Banjarnegara, eks Bupati Probolinggo, eks Wali Kota Tanjung Balai.

Menyoal relasi kesejahteraan dengan korupsi, dosen FEB UGM, Rimawan Pradiptyo mengatakan, korupsi yang dilakukan kepala daerah tak hanya berdampak pada pembangunan yang kurang optimal.

Lebih dari itu, Sukawarsini Djelantik menjelaskan bahwa korupsi juga dapat merusak prinsip-prinsip adil dalam dunia bisnis. Dengan itu korupsi kepala daerah akan menimbulkan efek domino mulai dari investor tidak tertarik mengembangkan usaha di daerah, kemudian berpengaruh pada minimnya lapangan pekerjaan yang bermuara pada kemusykilan menunaikan kesejahteraan umum sebagaimana janji konstitusi (Vide alinea IV preambule UUD 1945). Kali ini penulis spesifik hanya mendaras korupsi kepala daerah setingkat Kabupaten dan Kota.

Musabab korupsi kepala daerah

Mengetahui musabab korupsi menjadi penting untuk menemukan treatment yang pas untuk mengatasinya. Terdapat dua teori yang bisa digunakan. Pertama, teori GONE, teori ini menjelaskan bahwa salah satu musabab korupsi adalah faktor kebutuhan (Need).

Dalam konteks korupsi kepala daerah, faktor kebutuhan (Need) berkelindan dengan problem  Pasal 40 UU 10/2016 “Partai politik dan gabungan partai bisa mendaftarkan pasangan calon kepala daerah jika memperoleh paling sedikit 20 % dari kursi DPRD...”  Dikatakan problem sebab pasal 40 UU a quo mensyaratkan  seseorang bisa maju  sebagai calon kepala daerah apabila telah mendapatkan rekomendasi dari partai yang minimal memiliki kursi 20% dari keseluruhan anggota DPRD.

No free lunch, ada mahar yang harus dibayar untuk memperoleh rekomendasi partai. Kesaksian Ahmad Yunus, dirinya gagal menjadi calon bupati kabupaten Sumenep pada Pilkada 2020, dikarenakan ia tidak mampu membayar mahar partai. Nominal mahar ditentukan jumlah kursi anggota DPRD suatu partai, semakin banyak kursi partai semakin mahal pula maharnya. Ahmad Yunus mengatakan harga satu kursi DPRD maksimal satu miliar rupiah.

Contoh Kabupaten Sumenep, anggota DPRD di kabupaten ini berjumlah 50 kursi. Sesuai Pasal 40 UU 10/2016, untuk menjadi calon bupati di Kabupaten Sumenep, maka seseorang minimal harus mendapat dukungan dari 10 kursi anggota DPRD. Sepuluh kursi dikalikan satu miliar rupiah. Maka dibutuhkan sepuluh miliar rupiah untuk membeli tiket maju sebagai calon bupati di Kabupaten Sumenep.

- Advertisement -

Bila dikaitkan kembali dengan Teori GONE, besaran mahar partai ini meningkatkan kebutuhan (Need) seseorang yang telah terpilih menjadi kepala daerah (Bupati Wali Kota). Kebutuhan yang dimaksud disini ialah kebutuhan untuk mengembalikan modal mahar partai terdahulu dan  kebutuhan untuk mempersiapkan mahar partai untuk Pilkada berikutnya.

Bupati dan Walikota tentu tidak dapat memenuhi dua kebutuhan ini jika hanya mengandalkan gaji pokok dan tunjangan perbulan. Dalam PP 59/2000, gaji pokok bupati/walikota hanya Rp. 2. 100.000,00 per-bulan. Sedangkan tunjangan bupati hanya sebesar 3.800.000,00 per-bulan (Vide Perpres 68/2001). Dengan kata lain kepala daerah berpotensi menempuh jalan pintas korupsi untuk memenuhi kebutuhan ongkos politiknya (Cost of political needs).

Kedua, teori Cost Benefit Model. Teori ini menjelaskan bahwa sebelum melakukan korupsi, manusia terlebih dahulu melakukan kalkulasi sebagai ciri khas makhluk berhitung (felitio calculus). Pun dengan konteks para Bupati dan Walikota,  sikap mereka atas korupsi, baik itu sikap anti maupun sikap pro (ingin) ditentukan oleh hasil kalkulasi untung rugi. Kerugian disini terletak pada ancaman sanksi ekonomi (denda) yang dapat diterimanya sebagaimana diatur di dalam undang-undang. Adapun keuntungan dimaknai sebagai harta kekayaan yang dapat diperoleh dari korupsi.

Mari kita lihat risiko kerugian bagi setiap koruptor potensial sebagaimana diatur di dalam UU 20/2001 jo UU 31/1999. Dari keseluruhan pasal yang termuat pada kedua UU a quo, terlihat maksimum sanksi denda (resiko kerugian) hanya satu miliar rupiah. Nominal demikian sangat kecil dibanding besarnya keuntungan yang dapat diperoleh dari korupsi.

Ironisnya, nominal sanksi denda ini menentukan tercapai tidaknya efek jerah bagi terhukum (koruptor) sekaligus tercapai tidaknya pencegahan umum bagi koruptor potensial. Artinya semakin besar maksimum sanksi denda maka semakin berkurang pula korupsi di suatu negara.

Membersihkan noktah demokrasi

Melihat problem ambang batas pencalonan kepala daerah yang menelurkan ‘mahar partai’ yang fantastis. Dan problem regulasi UU Tipikor yang mengatur sanksi denda amat ringan dan tidak menimbulkan efek jerah sekaligus pencegahan umum. Maka amat jelas dua problem ini yang menjadi musabab fenomena korupsi kepala daerah di Indonesia sekaligus menjadi noktah bagi demokrasi di Indonesia.

Pada hakikatnya demokrasi menjunjung tinggi asas kedaulatan rakyat. Jean Jacques Rousseau menyatakan bahwa kedaulatan rakyat dilandaskan pada kehendak umum (volonte generale). Sudah barang tentu korupsi bukan kehendak umum masyarakat. Dengan kata lain, tindak tanduk kepala daerah yang tidak merefleksikan kehendak umum masyarakat layaknya korupsi, kolusi, nepotisme patut dianggap sebagai noktah demokrasi.

Untuk membersihkan noktah demokrasi sekaligus memutus mata rantai korupsi kepala daerah di Indonesia, ada dua hal yang dapat ditempuh oleh pemerintah (DPR RI dan Presiden): Pertama, merevisi UU 10/2016, dalam hal menghapuskan ambang batas dukungan partai guna memudahkan pencalonan kepala daerah. Kedua, merevisi UU 20/2001 jo UU 31/1999, dalam hal meningkatkan maksimum sanksi denda atas tindak pidana korupsi.

Berhubung tulisan ini mendaras relasi antara korupsi, ekonomi, dan demokrasi. Agaknya segenap masyarakat Indonesia perlu merenungi kalimat Joe Biden “Corruption  is a cancer, a cancer that eats away at a citizen’s faith in democracy, diminishes the instinct for inovatif.”

Andi Alief
Andi Alief
Andi Muhammad Alief, S.H.| tergabung dengan Barisan Anti Koroepsi Ahmad Dahlan (BAKAD UAD)| CCLS FH UAD|
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.