Jumat, April 26, 2024

Korupsi dalam Perspektif Budaya

Ari Putra Utama
Ari Putra Utama
Penulis adalah Mahasiswa S1 Ilmu Politik FISIP UI.

“Apa itu korupsi?”Hingga kini, belum ada definisi baku mengenai istilah “korupsi” itu sendiri, sehingga masih menjadi perdebatan di kalangan para ahli. Pada dasarnya, korupsi adalah konsep yang amat sulit untuk dijelaskan, apalagi untuk dimengerti. Mungkin yang menjadi salah satu masalah utama dari maraknya korupsi di berbagai sektor adalah karena banyak orang tidak tahu persis apa arti kata korupsi.

Beberapa ahli dan lembaga telah banyak merumuskan apa itu arti dari korupsi. Samuel P. Huntington, mengemukakan bahwa korupsi adalah penyakit demokrasi dan modernitas. Sedangkan, Rose-Ackerman mendefinisikan korupsi sebagai: “Pembayaran ilegal kepada pejabat publik guna mendapatkan keuntungan, dan seterusnya”.

Bank Dunia mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan wewenang penyelenggara negara untuk meraih keuntungan pribadi dan atau kelompoknya. Berdasarkan defisini ini, secara spesifik menyatakan bahwa korupsi adalah tindakan yang dilakukan oleh pegawai/penyelenggara negara.

Mayoritas definisi yang dikemukakan di luar sana, padanan katanya mirip dengan pendefinisian yang diberikan oleh Bank Dunia ini. Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah hanya pejabat publik/pegawai pemerintah atau pihak-pihak yang berhubungan dengan mereka saja yang dapat dikatakan korupsi? Jika iya, pertanyaan selanjutnya adalah apakah korupsi itu sesuatu yang mutlak atau relatif di dalam masyarakat?

Menarik untuk diperhatikan, bahwa seiring dengan adanya gelombang demokratisasi di pertengahan abad ke-20, peradaban manusia sudah mulai berjalan di arah yang lebih baik. Dalam artian, bahwa cara-cara lama, sudut pandang, dan pola pikir kolot sudah semakin ditinggalkan oleh sebagian besar umat manusia.

Sebagai bukti, kehidupan demokrasi semakin dijunjung tinggi, meninggalkan cara-cara kekerasan dan gaya feodal dalam memimpin ataupun menduduki tampuk kekuasaan. Emansipasi wanita dan kesetaraan gender menjadi frase yang didengungkan di berbagai negara, sebagai bentuk dari kemajuan pola pikir umat manusia yang tidak mensubordinasi gender lain, dalam hal ini wanita.

Meskipun dalam prakteknya, di setiap negara mempunyai perkembangan dan kemajuan yang berbeda-beda. Di sisi lain, perbudakan yang dahulu adalah lumrah, saat ini -moral dan hukum- menjadi sebuah hal yang diharamkan oleh dunia internasional karena melanggar hak asasi manusia.

Kemajuan-kemajuan semacam itu, memang patut disyukuri dan ditingkatkan. Namun di sisi lain, ketika beberapa variabel dari penyokong peradaban manusia sudah mulai berkembang ke arah yang lebih baik, kesadaran terhadap sikap anti-korupsi belum tercermin secara universal, berbeda dengan hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya.

Kesadaran akan sikap anti-korupsi dapat hadir, apabila didukung dengan pola budaya masyarakat yang juga anti terhadap korupsi. Penting halnya bagi masyarakat dan penyelenggara negara mendapatkan edukasi yang baik mengenai istilah korupsi dan perilaku-perilaku yang merujuk pada tindak korupsi, yang penulis katakan di awal adalah sesuatu yang sulit didefinisikan. Mengapa hal ini penting?

Karena yang terjadi di beberapa kasus adalah seseorang/sekelompok orang melakukan tindak pidana korupsi diakibatkan yang bersangkutan tidak mengetahui bahwa yang dilakukannya adalah termasuk korupsi. Atau di kasus lain, seseorang/kelompok melakukan tindak korupsi, karena hal itu sudah dianggap lumrah dan wajar di lingkungan sekitarnya.

Menurut Haller dan Shore, korupsi dapat dimulai dari pemahaman tentang konsep, cara memandang apakah tindakan tertentu termasuk korupsi atau tidak. Cara pandang masyarakat tentang apa yang boleh dan tidak boleh, benar atau salah, baik atau buruk, korupsi atau tidak, menjadi landasan dalam bersikap dan berperilaku.

Penulis berikan contoh sebagaimana yang tertera di buku Prof. Etty Indriati, Ph.D yang membahas soal cara pandang ini. Beliau mengutip beberapa pertanyaan yang diajukan untuk mengetahui cara pandang seseorang dan masyarakat terhadap tindakan korupsi sebagai berikut.

  1. Memberikan rincian program dan harga kepada beberapa pegawai perusahaan tertentu sebelum lelang dimulai termasuk korupsi?

2. Apakah memotong sekian persen dari anggaran yang dicairkan untuk anggota parlemen yang menyetujui anggaran termasuk korupsi? Apakah ini yang disebut “commitment fee” dan pemerintah/birokrasi harus menolak atau justru bekerja sama berbagi hasil?

3. Apakah mencantumkan kegiatan yang sebenarnya tidak dijaklankan termasuk korupsi?

4. Apakah memberi diskon sesudah pemenang lelang ditentukan termasuk korupsi?

5. Apakah menerima hadiah lebaran, hadiah natal, hadiah ulang tahun dari pebisnis/perusahaan pemenang lelang termasuk korupsi yang disebut gratifikasi?

6.Apakah dengan memberikan sedikit uang kepada pegawai negeri sebagai imbalan atas kerjanya yang cepat dan tangkas, tidak bertele-tele, juga merupakan tindak korupsi yang dianggap sebagai gratifikasi atau bahkan suap?

Hasil dari jawaban yang diberikan oleh responden beragam, ada yang menjawab “ya, tidak, tergantung, hal itu wajar, dsb.” Inilah yang menjadi masalah utamanya. Korupsi seringkali didefinisikan dengan mengacu pada standar nilai yang ditentukan oleh masyarakat itu sendiri. Sedangkan standar nilai dalam satu masyarakat, tentu akan berbeda dengan standar nilai di kelompok masyarakat lainnya. Artinya apa yang bagi seseorang adalah korupsi, bagi orang lain dianggap sebagai hal yang wajar, ataupun bentuk silaturahmi atau cara agar relasi/hubungan lebih intim.

Selain perkara cara pandang yang masih abu-abu, tindakan korupsi yang merajalela juga merupakan suatu proses enkulturasi, yaitu interaksi sosial saat orang-orang belajar, memahami, dan mempraktekkan serta membangun kebiasaan yang berkembang di sekitar menjadi kebudayaannya.

Kultur korupsi di masyarakat terbentuk karena adanya kondisi yang memungkinkan atau terkadang memaksa untuk melakukan hal tersebut. Pola-pola yang ada di masyarakat berupa kesenjangan ekonomi, krisis kepercayaan, buruknya pelayanan birokrasi, penegakan hukum yang lemah, minimnya edukasi dan pendidikan anti-korupsi, menjadikan perilaku korupsi adalah hal yang dianggap lumrah sebagai bentuk jawaban atas kesulitan yang sering masyarakat hadapi.

Penulis berikan contoh, suatu ketika ada sekelompok orang ingin membuat KTP Elektronik sebagai bentuk kepatuhan mereka pada peraturan yang telah dicanangkan pemerintah. Di tengah proses berjalan, muncul berita di media bahwa dana proyek E-KTP telah diselewengkan oleh anggota parlemen, sehingga proses pembuatannya tidak kunjung selesai, dengan kata lain dikorupsi.

Padahal, mereka sangat membutuhkan kartu itu untuk keperluan administrasi lainnya. Maka, mereka melakukan hal yang mungkin disebut “sogokan” atau memberi uang pelicin kepada petugas kelurahan/dinas kependudukan sipil agar E-KTP mereka cepat jadi. Hal inilah yang penulis katakan sebagai hal memaksa, sehingga perilaku-perilaku korup masih terus tumbuh subur di kalangan masyarakat.

Sehingga tidak mengherankan, apabila banyak pejabat dan penyelenggara negara yang notabene memiliki wewenang dan kekuasaan untuk melakukan tindak pidana korupsi. Mengingat, bahkan di kehidupan masyarakat awam yang tidak mempunyai kuasa, wewenang, atau alat-alat pendukung lainnya, perilaku semacam itu sudah membudaya.

Kenyataan yang sedemikian rupa, tentulah menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi penegak hukum, penyelenggara negara, dan masyarakat awam dalam menyikapi budaya korupsi yang secara sadar ataupun tidak, telah dilestarikan sekian lama. Namun, menjadi sesuatu yang sulit, jika mengupayakan membasmi budaya korupsi hanya dengan pendekatan hukum pidana semata.

Cara mengatasi sesuatu yang muncul karena enkulturasi adalah dengan membangun pemaknaan baru atau cara pandang baru, dan melakukan enkulturasi yang serupa atas pemakaan baru tersebut. Jika merujuk kepada budaya korupsi, maka harus dibangun pemaknaan baru, yaitu sikap dan semangat anti-korupsi.

Sikap anti-korupsi ini ditularkan melalui enkulturasi budaya melalui lembaga-lembaga sosialisasi yang ada, semisal keluarga, media massa, tokoh masyarakat dan tokoh agama, apparat penegak hukum, dan lain sebagainya. Penanaman nilai anti-korupsi yang utuh dan seragam, sehingga universalitas dari sikap anti-korupsi akan sama besar dan pengaruhnya, seperti sikap anti totaliter/otoriter, anti diskriminasi gender, dan anti perbudakan yang telah diadopsi di seluruh dunia.

__________________

REFERENSI

Huntington, SP. 2009. “Modernization and Corruption”. In Heidenheimer and Johnston (Eds.) Political Corruption, Concepts, and Contexts. New Jersey: Third Ed. Transaction Publisher. pp. 253.

Indriati, Etty. 2014. Pola dan Akar Korupsi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Rose-Ackerman. 1999. Corruption and Government. Causes, Consequences and Reform. Cambridge: Cambridge University Press.

Siahaan, Monang. 2013. Korupsi: Penyakit Sosial yang Mematikan. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Suradi. 2017. Pendidikan Anti Korupsi. Yogyakarta: Gava Media.

Wattimena, Reza. 2012. Filsafat Anti-Korupsi: Membedah Hasrat Kuasa, Pemburuan Kenikmatan, dan Sisi Hewani di Balik Korupsi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Ari Putra Utama
Ari Putra Utama
Penulis adalah Mahasiswa S1 Ilmu Politik FISIP UI.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.