Saat ini para netizen sedang ribut dengan persoalan pemboikotan perusahaan kopi terkemuka, Starbucks. Rupanya kegaduhan di dunia maya ini muncul, lantaran dipicu oleh statemen seorang aktivis Muhammadiyah. Menurutnya, Starbucks telah mendukung kampanye LGBT. Karenanya, haram hukumnya bagi kaum Muslim negeri ini, untuk membeli produk-produknya.
Tidak ada yang keliru dengan pemboikotan yang berlatar argumen perbedaan identitas seperti itu. Bahkan telah menjadi hal yang dianggap wajar di dunia bisnis, yang seringkali memang tidak bersih. Misalnya untuk barang-barang elektronik, ada banyak pihak yang berkampanye negatif bahwa, produk Cina tak sebagus buatan Eropa atau Amerika. Secara obyektif, tentu hal ini tidak selamanya benar. Namun yang jelas, demi kepentingan ekonomi, maka stereotyping terhadap identitas tertentu, kerap dilakukan oleh rival bisnisnya.
Walau tidak keliru, upaya tersebut juga tidak luput dari kritik. Pemboikotan yang berbasis argumentasi yang demikian, dinilai tidak efektif. Melawan dominasi pasar kopi oleh Starbucks, akan lebih konstruktif apabila kita membangun, memberdayakan dan mempromosikan pelbagai bisnis kopi rakyat. Dengan demikian, argumentasi perlawanan terhadap neoliberalisme industri kopi, berbasis kepada prinsip-prinsip keberpihakan terhadap ekonomi kerakyatan.
Perlu diketahui bahwa, biji kopi yang diolah oleh Starbucks berasal dari Sumatera. Mereka memahami betul bahwa kita memiliki kualitas kopi yang bagus. Di samping itu, pelbagai ragam kopi yang ada di sepanjang tanah Nusantara ini, tidak sebanding dengan kopi-kopi lainnya dari seluruh dunia. Tentu karena kualitas produk kita, jauh di atas dari yang lainnya.
Sederet nama-nama kopi kita yang terkenal adalah Kopi Aceh Gayo, Mandheling, Sidikalang, Lintong, Kopi Lampung, Kopi Dampit, Kopi Lanang Banyuwangi, Kopi Bali Kintamani, Kopi Flores Bajawa, Kopi Papandayan, Kopi Madu Hitam Ciwidey, Kopi Madu Puntang, Kopi Toraja Sapan, Talosi, Minanga, Enrekang, Kopi Wamena, Kopi Baliem dan seterusnya.
Kalau kita bandingkan Starbucks dengan Kopi Lanang Banyuwangi misalnya, jelas tidak ada apa-apanya. Starbucks terlalu encer, rasanya kurang “nendang”, aroma tak terlalu sedap dan jelas tidak lanang (jantan). Di samping itu, kopi-kopi Nusantara ini ditanam dengan ketulusan, dirawat dengan keringat cinta, dan dipanen dengan kesabaran dan jerih payah yang penuh makna.
Sayangnya semua itu seperti tidak berdaya dihadapan pasar per-kopi-an. “Kopi kita”, belum memberikan kontribusi yang optimal terhadap pembangunan ekonomi kerakyatan. Masih banyak sekali para petani dan pengusaha kopi, yang miskin betul. Selain itu, di hadapan konteks konstalasi ekonomi global, industri kopi kita, tidak diperhitungkan.
Memang kebijakan-kebijakan ekonomi yang ada, belum memihak pembangunan ekonomi kerakyatan. Di samping itu, industri kopi lokal (kecil dan menengah) juga tidak mendapatkan dukungan politik dari pelbagai kalangan. Termasuk pula oleh organisasi keagamaan. Sepertinya mereka sama sekali tidak menganggap penting masalah keberpihakan terhadap bisnis kopi orang-orang kecil dari pelbagai pelosok kampung di negeri ini.
Artinya, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk secara lebih serius bekerja demi rakyat, membangun ekonomi kerakyatan. Harus ada kebijakan-kebijakan ekonomi, yang pro-rakyat, terutama rakyat miskin.
Lantas bagaimana dengan pelbagai pihak, terutama organisasi keagamaan? Mereka harus lebih kritis dalam menerjemahkan doktrin-doktrin keagamaan yang pro-kemanusiaan. Dengan begitu, mereka akan mampu memperhatikan secara lebih seksama, masalah ekonomi orang-orang miskin. Agama sejatinya juga membicarakan pentingnya pemberdayaan, pembangunan ekonomi dan perjuangan demi kesejahteraan umat, terutama mereka yang termarginalkan.
Para pembaca yang budiman, jalan alternatif untuk melawan Starbucks, bisa dilakukan dengan cara meminum, menikmati dan mencintai kopi-kopi kita sendiri. Kita juga harus berkampanye, memperkenalkan kepada dunia, mengenai kopi yang kita miliki. Itu semua kita lakukan, karena secara tulus dan ikhlas, kita sedang memihak dan memperjuangkan rayat yang sejak lama bergelut dengan dunia per-kopi-an, namun tak kunjung menuai hasil yang memuaskan.
Kita bisa meminum kopi setiap pagi di rumah, bersama keluarga, di saat bercengkrama ria. Juga di warung-warung di pinggir jalan, kita bisa duduk berlama-lama, mengobrol ngalor-ngidul (panjang lebar) dengan teman atau sahabat, bahkan dari pagi sampai pagi lagi, menghayati hidup, merasakan indahnya kebahagiaan, persahabatan, persaudaraan dan welas asih.
Kita juga bisa bertanya, berdiskusi dan bahkan merancang rencana-rencana, agenda-agenda, program-program tentang kesejahteraan petani dan pedagang kopi, kelangsungan hidup mereka, tunjangan kesehatan mereka, apakah anak-anak mereka bersekolah dengan baik tanpa halangan biaya dan seterusnya.
Satu hal yang juga perlu kita pikirkan adalah, menikmati kopi berkualitas dunia dengan harga murah, tidak akan menurunkan derajat kita sebagai manusia. Menjadi penikmat kopi berkelas tinggi, hanya cukup merogoh kocek Rp. 5000 – 10.000, untuk secangkir salah satu kopi Nusantara. Mari kita menghayati makna kopi dengan cara yang lebih bersahaja. Mari, sekali lagi, memihak kopi kita sendiri, memihak ekonomi kerakyatan dan memihak kaum miskin.