Beberapa hari yang lalu, ketika sedang ingin mengambil bubuk kopi untuk kemudian diseduh, saya tanyakan kepada kawan yang memiliki kopi, “ini kopi mana?” kemudian dengan raut wajah malu ia menjawab, “kopiku sendiri.”
Pertama, mengapa kawan saya yang satu ini menjawab dengan membawa perasaan malu? Bukankah harusnya ia bangga bisa memproduksi kopi sendiri?
Kedua, kopi yang ia miliki memang tidak memiliki label atau merk, mengapa tidak membuat merk sendiri? Mungkinkah jawabannya adalah malu?
Tanah Nusantara yang merupakan surga bagi dunia flora sangat mudah untuk ditumbuhi berbagai jenis tanaman. Kita bisa melihat berbagai macam alasan mengapa tanah Indonesia ini sangat subur.
Mulai dari iklim tropis yang dimiliki, terletak di garis khatulistiwa, hanya memiliki dua musim, hingga banyaknya gunung berapi yang masih aktif. Sepenggal lirik dalam lagu kolam susu, “tongkat kayu dan batu jadi tanaman,” benar-benar nyata adanya. Sehingga potensi tanaman untuk tumbuh di bumi Nusantara ini cukup besar.
Kopi Indonesia memang banyak sekali macam-macamnya. Dari jenis robusta dan arabika saja dapat dipecah lagi menjadi berbagai macam varietas. Belum lagi dari jenis Liberika dan Ekselsa. Menjamurnya kedai-kedai kopi kekinian di berbagai kota semakin membuat pasar kopi menjadi lebih luas.
Entah kapan tradisi ini dimulai, atau mungkin saya saja yang baru mengenal dunia, tapi tradisi minum kopi tanpa gula ini seharusnya benar-benar bisa menjadi pundi-pundi keuntungan bagi petani-petani kopi.
Ada banyak pemilik-pemiilik kopi yang menjelajahi tempat-tempat terpelosok demi mendapatkan kopi-kopi yang masih murni tanpa harus bersaing dengan label-label kopi besar. Namun, banyak juga petani-petani kopi yang masih menjual kopi ke pasar tradisional terdekat.
Potensi kopi yang sangat melimpah di Nusantara ini sebetulnya tidaklah harus berakhir pada cangkir di rumah-rumah, warung, kedai, dan berbagai macam tempat lainnya. Aroma khas yang sudah disediakan Tuhan pada kopi dapat diaplikasikan menjadi bentuk lain. Pada penelitian Ronald P. Mensink, et al yang diterbitkan pada Journal of Internal Medicine tahun 1995 dinyatakan bahwa aroma khas yang keluar dari biji kopi disebabkan adanya senyawa triasigliserol.
Aroma dari biji kopi dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk membuat berbagai macam produk yang mengutamakan aroma wangi semerbak. Sebelum dapat digunakan untuk berbagai macam produk, biji kopi diekstrak terlebih dahulu menjadi minyak. Proses ekstraksi biji kopi memang agak rumit, namun bukan berarti tidak ada cara termudahnya. Minyak yang berasal dari biji kopi meruapakan bagian dari minyak atsiri yang aromanya dengan mudah menguap.
Minyak atsiri dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan parfum, sabun mandi, pasta gigi, sabun cuci, lulur, aromaterapi dan berbagai macam produk kosmetik lainnya. Makanan dan minuman di pasaran yang di dalamnya terkandung senyawa atsiri biasanya dipatok dengan harga yang lumayan tinggi.
Potensi-potensi yang dapat memajukan perkembangan ekonomi Indonesia sebenarnya tersebar dimana-mana. Tidak hanya kopi, rumput-rumputan yang mungkin kita sepelekan dan selalu kita injak-injak pun terkadang memiliki peluang untuk dimanfaatkan sebagai produk-produk terbaru.
Memang butuh kerja dua kali untuk bisa memanfaatkan potensi-potensi tersebut. Mengapa? Jika hanya sebatas bermain pada produksi minyak atsiri saja, perkembangan yang diinginkan mungkin akan sulit terjadi. Perlu diketahui, Indonesia merupakan salah satu penghasil minyak nilam terbesar di dunia. Lalu apa fungsi minyak nilam?
Pada sebuah botol parfum, terdapat 3 lapisan (note) yang terdiri dari top, middle, dan base. Lapisan base adalah lapisan yang mengikat aroma parfum akan bertahan lebih lama. Minyak nilam adalah minyak yang paling sering digunakan oleh industri-industri parfum besar sebagai base note, karena memiliki senyawa patchouli yang baik sebagai pengikat (fixative) aroma.
Selama ini, minyak atsiri yang diproduksi di Indonesia dieskpor keluar negeri sebagai minyak atsiri saja bukan sebagai produk akhir yang memiliki harga tinggi. Dan nantinya kita yang akan mengimpor produk akhir dari olahan minyak atsiri tersebut dengan perbandingan harga yang jauh lebih tinggi.
Mengapa kita tidak mencoba sendiri saja membuat berbagai macam olahan dari minyak atsiri. Dengan maraknya penggunaan YouTube, kebingungan cara-cara pembuatan produk yang dimaksudkan akan dengan mudah teratasi.
Jika dilihat sekilas, pemanfaatan kopi-kopi yang “kalah saing” di dunia perkopian menjadi minyak atsiri mungkin merupakan pekerjaan yang buang-buang waktu saja. Namun, jika melihat jangka panjang pekerjaan ini akan sangat membantu banyak pihak dan pelaku juga banyak mendapatkan keuntungan.
Minyak yang berasal dari biji kopi selama ini memang sudah banyak digunakan sebagai flavor pada makanan seperti permen, kue, pudding, dan aneka makanan yang tercantum rasa kopi pada kemasannya. Minyak dari biji kopi juga sudah dimanfaatkan sebagai flavor pada minuman memiliki rasa kopi. Brand-brand besar yang bergelut di bidang tersebut tentu sudah memiliki penyuplai kopi yang pasti. Petani-petani kopi kecil yang berada di sekitar kita masih sangat banyak yang membutuhkan bantuan.
Aromaterapi dengan jelas ditujukan untuk golongan kelas atas. Dengan penyempurnaan produk lilin aromaterapi yang baik akan dengan mudah menggoda kalangan atas untuk meminang produk-produk yang dihasilkan.
Pembuatan parfum sangat mudah untuk dipelajari. Berbagai macam tutorial sudah tersedia di dunia maya. Pengadaan ciri khas dan penyempurnaan produk akhir akan melahirkan added value pada produk.
Pembuatan sabun pun juga dapat dengan mudah ditemukan cara-caranya.
Ini baru kopi, masih banyak potensi alam di Indonesia yang dapat dimanfaatkan. Namun, yang perlu diingat pemanfaatan-pemanfaatan sumber daya alam seperti ini harus melihat berbagai aspek. Jangan sampai nanti sudah memanfaatkan bahan yang selama ini terabaikan bahkan sampai mendirikan pabrik, tapi limbah-limbahnya tidak diurusi dan akhirnya malah mencemarkan lingkungan!