Banyak yang gelisah kenapa dari dulu jenis usaha koperasi, kalau tidak simpan pinjam ya konsumsi. Belum pernah tersiar ada bisnis kafé, hotel, bengkel, atau kedai kopi yang asyik buat nongkrong yang dikelola secara koperasi. Bahkan penjual pecel lele, nasi goreng, atau angkringan pinggir jalan juga tidak pakai konsep koperasi.
Di Indonesia koperasi itu kadang lebih mirip ormas ketimbang sebuah perusahaan. Usaha milik orang banyak dengan pengurus yang sudah tua dan ringkih. Kebanyakan dikelola sambilan (samben), karena pekerjaan utamanya karyawan atau pegawai negeri. Sehingga secara kapasitas bisnis tetap semenjana, anggotanya banyak tapi tak sejahtera. Kecuali pengurusnya.
Usia gerakan koperasi di negera ini sudah lebih setengah abad, lebih dua kali lipat dari usia saya. Tapi tak ada perubahan yang berarti. Tak ada semacam refleksi, belajar pada kekeliruan praktik di masa silam. Langgam koperasi dari dulu nadanya tetap sama. Misal, membangun usaha kolektif untuk kesejahteraan bersama. Tapi faktanya apakah begitu? Nehi.
Koperasi dianggap cocok karena ia selaras dengan budaya gotong royong yang sudah ada di masyarakat. Modalitas sosial, dalam bentuk gotong royong, bisa dikonversi menjadi modalitas ekonomi, kira-kira begitulah asumsinya. Jadi, bayangkan orang sekampung gotong royong membangun bisnis. Mengumpulkan modal, menggunakan layanan lalu akhirnya sejahtera bersama.
Terdengar mulia sekali bukan? Tapi praktiknya tak seindah rencana.
Karena pada praktiknya, budaya kerjasama atau gotong royong tidak cocok digunakan sebagai modalitas bisnis. Alasan orang mau membantu tetangga menanam padi, atau membangun masjid atau jalan di desa, itu karena ingin membantu saja. Iklhas, tanpa pertimbangan untung rugi. Atau bisa juga karena takut kena sanksi sosial jika mangkir kerja bakti.
Sementara koperasi adalah bisnis, bukan lembaga sosial. Membangunnya tidak bisa dengan motif enggak enakan, karena ikut-ikutan atau tanpa pamrih. Masuk koperasi tidak mengharap apa-apa kecuali ridha Tuhan misalnya. Namun sayangnya, justru itulah potret alasan orang berkoperasi hari ini. Jadi anggota koperasi bukan karena paham apa untung dan ruginya, tapi karena diajak pengurus yang juga tetangganya. Gak enak kalau gak ikut.
Selain itu, koperasi sering dipahami sebagai kumpulan orang yang memiliki usaha bersama. Kumpulan itu artinya banyak orang, ada massa disana. Jadi bisnis koperasi dibangun dari paham kerumunan semacam, Jenis usaha apa yang kira cocok untuk orang banyak. Sehingga yang muncul jenis usahanya kalau tidak konsumsi ya simpan pinjam.
Bisnis dealer mobil, salon kecantikan, bengkel atau bahkan start-up tidak akan bisa muncul dengan paham koperasi semacam itu. Maka wajar jika koperasi dari dulu bisnisnya itu itu saja.
Salah satu karakter masyarakat Indonesia, selain gotong royong, adalah musyawarah. Kita punya pijakan budaya yang kuat untuk yang satu ini, sama seperti gotong royong. Setiap daerah punya budaya ini dengan nama yang berbeda, semisal rembug atau karapatan nagari. Dan ini adalah modalitas sosial yang pas untuk bisnis, sebabagai mekanisme tata kelola.
Koperasi, sebagai perusahan yang dikelola secara demokratis, relevan dengan budaya musyawarah yang sudah ada masyarakat. Sehingga bagaimana proses produksi dilakukan, seperti apa mekanisme pembagian upah, dan kemana perusahaan akan di arahkan dilakukan dengan cara musyawarah, atau dalam bahasa modern, melalui mekanisme demokrasi.
Namun sayangnya budaya musyawarah ini yang kerap diabaikan, tak dilihat sebagai modalitas sosial yang penting. Di Bali saja misalnya, 79 koperasi dibekukan karena tidak menyelenggarakan Rapat Anggota Tahunan (RAT), yang notabene adalah forum musyawarah tertinggi koperasi. Itu baru dibali, di tempat lain insyaallah lebih banyak.
Definisi koperasi yang tepat, menurut saya, bukan kumpulan orang yang memiliki usaha, tapi perusahaan yang dikelola secara demokratis yang dikendalikan dan dimiliki bersama. Untuk bikin perusahaan yang demokratis tidak harus mengajak ornag satu kampung, berdua saja seharusnya sudah cukup. Jumlah keanggotan bisa bertambah seiring pertumbuhan bisnis.
Sehingga kalau mau buka dealer mobil, bisnis café, salon kecantikan, bahkan bikin warung pecel lele di pinggir jalan sangat memungkinkan. Toh bisnis semacam itu tak butuh banyak orang, dua atau tiga pun jadi.
Di Amerika Serikat, mereka yang jengah dengan bisnis konvesional mendirikan bisnis yang dikelola secara demokratis. Mereka menamakannya worker cooperative (koperasi pekerja). Tapi bukan koperasi karyawan lho ya. Koperasi pekerja itu adalah perusahaan dimana orang mendapat penghasilan di perusahan yang ia miliki sendiri. Jadi ia berperan sebagai pekerja sekaligus pemilik.
Salah satu contohnya adalah Up and Go, start up yang bergerak di bidang Home care dan berbasis di New York. Perusahaan itu dimiliki dan dikelola secara demokratis oleh para pekerjanya. Ada juga stocksy, start –up yang mirip seperti shutterstock.com, flatform jual beli foto dan video di Internet. Bedanya flatfrom ini dikelola secara demokratis oleh para fotografer yang menjadi anggotanya. Selain mendapat fee dari hasil penjualan, para seniman foto juga bisa kecipratan dividen dari flatformnya.
Lalu mengapa di Indonesia tak ada jenis bisnis koperasi semacam Up and Go dan Stoksy? Apakah orang Indonesia tak secerdas orang Amerika? Oh, tidak. Nadiem Makariem itu orang Pekalongan. Ahmad Zacky juga bukan orang Amerika. Soal jenis bisnis koperasi dari selalu simpan pinjam dan konsumsi adalah akibat dari sistem. Sistemlah yang membuat wajah gerakan koperasi tetap seperti hari ini, dan sialnya tdak pernah diperiksa ulang.
Seperti kata Socrates, “hidup yang tak pernah diperiksa tak layak dijalani”.Begitu juga dengan sebuah gerakan, jika tak pernah diperiksa, ia tak layak diikuti. Selamat hari koperasi!